"Clay, aku harus pulang. Pasti Rania menungguku. Aku sudah berjanji akan makan malam bersamanya," ungkap Amar bernada gelisah. Sedari tadi Clayrine mengeluh jika perutnya sakit. Ia tidak mau ditinggalkan oleh Amar."Kenapa kamu jadi berubah seperti ini, Sayang? Kamu sudah mulai mencintai istrimu itu?" balas janda beranak satu itu balik bertanya.Amar terdiam seketika. Akhir-akhir ini ia lebih sering memikirkan Rania. Entah mengapa wanita lebih terlihat seksi dan menggoda semenjak mengenakan pakaian kurang bahan dan bertindak lebih agresif kepadanya.'Tidak mungkin aku mencintai Rania. Aku menikahinya hanya untuk memanfaatkannya saja.'Amar berusaha meyakinkan hatinya sendiri. Apakah sekarang mulai goyah? Sungguh lelaki itu tidak paham akan jalan pikirannya sendiri.Dulu Amar merasa senang saat mengetahui kelemahan Rafka. Adiknya itu mencintai Rania tetapi tidak mampu untuk mengungkapkannya. Hingga saat Rafka menjadi penolong Rania dan masih tetap menyembunyikan identitasnya, Amar meman
KLINK !KLINK !KLINK !Berderet bunyi pesan masuk di ponsel Rania. Membuat atensi wanita itu kepada Rafka melebur seketika.Rafka mengusap dadanya perlahan. Ia kembali terselamatkan oleh keadaan. Baginya hal itu adalah sebuah keberuntungan. Dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya.Rania mengecek ponselnya. Tentu saja Amar yang telah menghubunginya.Sama sekali suaminya itu tidak terlihat khawatir. Bahkan dia pun tidak pulang ke rumah dan langsung berangkat ke kantor.[Ran, kamu sedang apa?][Maaf Sayang, untuk semalam.][Pagi ini Mas langsung berangkat ke kantor. Kamu hati-hati di rumah.]Rania berdiri dari duduknya. Dadanya terasa sesak. Kini ia yakin jika Amar memang selingkuh dan tidak lagi peduli kepadanya."Raf, aku harus pulang."Rania berlari tanpa menunggu jawaban dari adik iparnya. Ia meninggalkan tas dan sepatunya begitu saja."Rania, tunggu!" teriak Rafka kemudian. "Apa yang telah dilakukan Mas Amar sampai Rania kembali bersedih seperti itu?"Rafka sengaja membiarkan Rania p
"Mas Amar sibuk di kantor, Bu. Dia meminta saya mengantarkan Kak Rania." Kali ini Rafka yang menyahut.Kemudian ia memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya."Ya sudah silahkan duduk. Maaf ya, kalau Rania merepotkan kamu. Ini banyak sekali oleh-olehnya.""Tidak apa-apa, Bu. Saya suka direpotkan." Rafka melirik ke arah Rania yang tampak kesal dengan ucapannya."Oh, ya. Bapak mana Bu? Aluna juga nggak kelihatan," ucap Rania menyahut."Aluna sedang belajar kelompok di rumah temannya. Kalau Bapak, em ... dia ada di sawah bertemu dengan seseorang.""Seseorang? Maksud Ibu?" tanya Rania tidak mengerti.Dewi menggandeng tangan Rania. Mengajaknya ke dapur dengan alasan membuatkan minuman untuk Rafka."Ada Bu, sebenarnya? Tolong kasih tahu Rania."Wanita itu mendadak khawatir. Takut terjadi apa-apa dengan keluarganya."Bapakmu mau menjual sawahnya, Ran. Kita butuh uang untuk biaya sekolah Aluna. Dia 'kan sebentar lagi mau ujian, semua biaya yang belum dibayar harus diselesaikan. Kalau tidak, Alu
Malam itu Rafka tengah disibukkan dengan berbagai berkas penting. Ia juga harus meninjau kembali hasil laporan audit tempo hari.Setelah menandatangani semua berkas yang ditandatangani, Rafka mulai sibuk mengetik di depan laptop. Sesekali ia berkirim pesan kepada Fariz untuk memastikan semuanya baik-baik saja selama ia tidak di kantor.Sementara Rania tengah dikejutkan dengan sebuah amplop yang berisi bukti-bukti perselingkuhan suaminya."Apa ini?" Rania merasa syok. Kakinya mendadak lemas di tempat.Mulai dari foto, video, struk belanja, dan tempat-tempat di mana Amar bersama Clayrine check in.Cukup jelas jika Amar melakukan hal itu sudah sejak lama. Tepatnya saat dia selalu pulang terlambat dan tak lagi menyentuh Rania."Mas Amar! Jadi kamu benar-benar selinhkuh?" Rania terisak. Ia meratapi nasibnya sendiri."Tidak. Aku tidak boleh lemah. Rafka bilang aku harus menjadi wanita yang tangguh."Rania segera memasukkan kembali bukti-bukti yang ada di tangannya. Kemudian ia masukkan ke d
"Em, tidak perlu, Mas. Rania bisa sendiri kok." Wanita itu segera berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia benar-benar takut jika Amar curiga ataupun berniat mengulangi lagi di kamar mandi.Amar memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Tidak biasanya ia mengalami hal seperti itu."Kenapa rasanya masih ingin tidur lagi. Apa yang terjadi padaku?"Lelaki tampan itu memilih untuk mandi di dekat dapur. Ia tidak ingin nanti Rania menunggunya terlalu lama.***"Mas, semangat banget sih? Memangnya kita mau ke mana? Mas nggak berangkat ke kantor?" tanya Rania setelah mereka selesai sarapan pagi di sebuah rumah makan."Aku yakin kamu pasti menyukainya nanti. Mas sudah ijin buat cuti.""Berapa hari, Mas?" Rania sengaja mengetes. Apakah mungkin suaminya bisa jauh-jauh dari selingkuhannya."Sayangnya cuma boleh libur satu hari saja, Sayang. Tapi Mas janji. Satu hari ini full time untuk kamu."Amar meraih tangan Rania. Kemudian ia kecup cukup lama.'Dasar, pengkhianat! Masih bisa-bisanya Mas bersi
"Sentuh aku, Raf. Jadilah kekasihku."Rania berbicara tanpa menatap wajah adik iparnya. Harga dirinya seolah lenyap begitu saja. Wanita itu telah lepas kendali. Ia tidak peduli lagi akan statusnya.Rafka melepaskan jaketnya dan ia pakaikan di tubuh kakak iparnya. Lelaki itu tidak mau dianggap sebagai lelaki mes*m."Aku tidak mungkin melakukannya, Ran." Rafka merangkul tubuh Rania lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang.Lelaki tampan itu menarik nafas dalam-dalam. "Aku mau jadi kekasihmu. Tapi kita tidak boleh melewati batas."Rania mengangguk pasrah. Hatinya benar-benar merindukan akan sentuhan seorang lelaki. Dan hanya Rafka yang bisa melakukannya."Biar aku ambilkan minum untukmu." Rafka hendak beranjak, namun tangannya ditarik oleh Rania."Jangan pergi, Raf." Rania mendekatkan wajahnya. Bibir itu segera mencium bibir Rafka dengan sangat liar.Rafka tidak pernah menyangka sama sekali jika Rania akan bertindak seberani itu kepadanya. Padahal dirinya sudah mati-matian membunuh hasrat
"Tadi malam kita sudah empat ronde, Raf!" protes Rania kemudian.Kedua mata wanita itu melotot seketika. Ia mengangkat tubuhnya dan kembali duduk di sebelah Rafka.Rafka tertawa terbahak-bahak. "Aku hanya bercanda, Ran. Kamu semakin menggemaskan saat merajuk seperti itu.""Rafkaaa...!!!" Rania berteriak tidak terima. Kata-kata Rafka selalu membuatnya bisa terbang melayang. Begitu manis meski hanya sebuah kalimat sederhana."Maaf, Sayang."Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Rafka. Setelahnya giliran Rania yang menyuapi Rafka dengan makanan yang ada di piringnya tadi."Kamu juga harus makan, Raf. Bukan aku saja."Setelah selesai sarapan, Rafka keluar sebentar untuk membelikan pakaian buat Rania. Sementara wanita itu membereskan area dapur dan mencuci piring yang kotor.Rania baru teringat akan sesuatu. "Mana ponselku? Pasti tertinggal di kamar Rafka."Rania kembali masuk ke dalam kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ia mencari keberadaan handphonenya.Namun tiba-tib
Lelaki itu melangkah cepat menghampiri Rafka. Lau menarik kerah baju adiknya dan langsung memukulinya habis-habisan hingga babak belur."Biadab kamu, Raf! Berani sekali menggoda kakak iparmu sendiri." Amar masih berusaha memukuli adiknya. Sedangkan Rafka hanya diam tanpa membalas sekalipun."Mas Amar cukup! Hentikan!" Rania berteriak dengan kencang. Ia tidak tega melihat Rafka dipukuli seperti itu.Wanita itu berusaha untuk melerai, tetapi justru wajahnya yang tak sengaja terkena pukulan Amar."Augh!" rintih Rania kesakitan."Rania!" teriak Rafka tidak terima. Ia bangkit dan mendorong tubuh Amar hingga jatuh terduduk di lantai."Cukup, kalian! Jangan bertengkar lagi." Rania menangis pilu. "Jadi benar kata Tisa. Kamu memiliki hubungan gelap dengan Rafka!" Amar akhirnya mempercayai ucapan dari sahabat Rania.Rania terkesiap. Ia merasa heran. Tidak menyangka jika Tisa menceritakan hal itu kepada suaminya. "Sejak kapan Mas punya hubungan dengan Tisa, Mas?" tanya Rania."Kamu tidak perlu