"Em, tidak perlu, Mas. Rania bisa sendiri kok." Wanita itu segera berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia benar-benar takut jika Amar curiga ataupun berniat mengulangi lagi di kamar mandi.Amar memegangi kepalanya yang masih terasa berat. Tidak biasanya ia mengalami hal seperti itu."Kenapa rasanya masih ingin tidur lagi. Apa yang terjadi padaku?"Lelaki tampan itu memilih untuk mandi di dekat dapur. Ia tidak ingin nanti Rania menunggunya terlalu lama.***"Mas, semangat banget sih? Memangnya kita mau ke mana? Mas nggak berangkat ke kantor?" tanya Rania setelah mereka selesai sarapan pagi di sebuah rumah makan."Aku yakin kamu pasti menyukainya nanti. Mas sudah ijin buat cuti.""Berapa hari, Mas?" Rania sengaja mengetes. Apakah mungkin suaminya bisa jauh-jauh dari selingkuhannya."Sayangnya cuma boleh libur satu hari saja, Sayang. Tapi Mas janji. Satu hari ini full time untuk kamu."Amar meraih tangan Rania. Kemudian ia kecup cukup lama.'Dasar, pengkhianat! Masih bisa-bisanya Mas bersi
"Sentuh aku, Raf. Jadilah kekasihku."Rania berbicara tanpa menatap wajah adik iparnya. Harga dirinya seolah lenyap begitu saja. Wanita itu telah lepas kendali. Ia tidak peduli lagi akan statusnya.Rafka melepaskan jaketnya dan ia pakaikan di tubuh kakak iparnya. Lelaki itu tidak mau dianggap sebagai lelaki mes*m."Aku tidak mungkin melakukannya, Ran." Rafka merangkul tubuh Rania lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang.Lelaki tampan itu menarik nafas dalam-dalam. "Aku mau jadi kekasihmu. Tapi kita tidak boleh melewati batas."Rania mengangguk pasrah. Hatinya benar-benar merindukan akan sentuhan seorang lelaki. Dan hanya Rafka yang bisa melakukannya."Biar aku ambilkan minum untukmu." Rafka hendak beranjak, namun tangannya ditarik oleh Rania."Jangan pergi, Raf." Rania mendekatkan wajahnya. Bibir itu segera mencium bibir Rafka dengan sangat liar.Rafka tidak pernah menyangka sama sekali jika Rania akan bertindak seberani itu kepadanya. Padahal dirinya sudah mati-matian membunuh hasrat
"Tadi malam kita sudah empat ronde, Raf!" protes Rania kemudian.Kedua mata wanita itu melotot seketika. Ia mengangkat tubuhnya dan kembali duduk di sebelah Rafka.Rafka tertawa terbahak-bahak. "Aku hanya bercanda, Ran. Kamu semakin menggemaskan saat merajuk seperti itu.""Rafkaaa...!!!" Rania berteriak tidak terima. Kata-kata Rafka selalu membuatnya bisa terbang melayang. Begitu manis meski hanya sebuah kalimat sederhana."Maaf, Sayang."Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Rafka. Setelahnya giliran Rania yang menyuapi Rafka dengan makanan yang ada di piringnya tadi."Kamu juga harus makan, Raf. Bukan aku saja."Setelah selesai sarapan, Rafka keluar sebentar untuk membelikan pakaian buat Rania. Sementara wanita itu membereskan area dapur dan mencuci piring yang kotor.Rania baru teringat akan sesuatu. "Mana ponselku? Pasti tertinggal di kamar Rafka."Rania kembali masuk ke dalam kamar setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ia mencari keberadaan handphonenya.Namun tiba-tib
Lelaki itu melangkah cepat menghampiri Rafka. Lau menarik kerah baju adiknya dan langsung memukulinya habis-habisan hingga babak belur."Biadab kamu, Raf! Berani sekali menggoda kakak iparmu sendiri." Amar masih berusaha memukuli adiknya. Sedangkan Rafka hanya diam tanpa membalas sekalipun."Mas Amar cukup! Hentikan!" Rania berteriak dengan kencang. Ia tidak tega melihat Rafka dipukuli seperti itu.Wanita itu berusaha untuk melerai, tetapi justru wajahnya yang tak sengaja terkena pukulan Amar."Augh!" rintih Rania kesakitan."Rania!" teriak Rafka tidak terima. Ia bangkit dan mendorong tubuh Amar hingga jatuh terduduk di lantai."Cukup, kalian! Jangan bertengkar lagi." Rania menangis pilu. "Jadi benar kata Tisa. Kamu memiliki hubungan gelap dengan Rafka!" Amar akhirnya mempercayai ucapan dari sahabat Rania.Rania terkesiap. Ia merasa heran. Tidak menyangka jika Tisa menceritakan hal itu kepada suaminya. "Sejak kapan Mas punya hubungan dengan Tisa, Mas?" tanya Rania."Kamu tidak perlu
"Raf, kamu baik-baik saja 'kan? Ada yang sakit?" Rania meletakkan tangan kanannya pada pipi Rafka."Ada, Ran. Di sini yang sakit." Rafka meraih tangan Rania dan ia letakkan di dadanya. Berharap wanita itu bisa tahu bahwa hatinya yang merasa kesakitan.Rania memandangi wajah Rafka dengan penuh kasih. Semua yang terjadi adalah kesalahan dia. Ia paham akan hal itu."Aku minta maaf, Raf. Aku akan mengobatimu."Rania mencari kotak P3K. Lalu segera membawanya kembali kepada Rafka.Wanita itu membuka baju Rafka. Hingga nampaklah tubuh kekarnya. Tak sengaja netra Rania tertuju pada sebuah tanda di perut sebelah kiri milik Rafka."Raf, ini apa? Jangan bilang kamu—"Wanita itu tidak mampu untuk berkata-kata lagi. Kini Rania tahu bahwa selama ini Amar telah membohonginya. Kejadian waktu itu masih sangat jelas terlintas di pikirannya.Seorang lelaki menyelamatkannya hingga tertusuk sebuah pisau. Ternyata dia adalah Rafka. Seseorang lelaki yang ia benci karena selalu usil kepadanya saat masih sekol
Masih di dekat pintu gerbang Amar terduduk lesu. Rumah pemberian Clayrine telah hangus terbakar bersama semua isi di dalamnya.Lelaki itu teringat akan tadi pagi saat menyalakan rokok. Mungkin karena hal itu rumahnya dilalap si jago merah."Kenapa semua jadi seperti ini?" Amar memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Dengan tangan yang gemetar ia berusaha menghubungi Tisa.Mungkin wanita itu satu-satunya yang bisa ia harapkan. Setelah mencoba menghubungi Tisa berkali-kali Amar merasakan sakit pada perutnya. Hingga tiba-tiba semua terasa gelap gulita.Samar-samar Amar mulai membuka kedua matanya. Cat bernuansa putih menghiasi indera penglihatannya. Lelaki itu sudah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ternyata sakit tipesnya kambuh."Aku di mana?" Amar menoleh ke samping kanan. Sudah ada Tisa di dekatnya. Sementara di tempat agak jauh, ada Rania dan Rafka yang juga menunggu Amar dengan sabar."Kamu di rumah sakit, Mas Amar. Penyakit tipes kamu kambuh."Rania berjalan pe
"Mama bisa tanyakan langsung kepada Mas Amar."Seketika sambungan telepon diputus oleh Rosita. Ia penasaran apa yang sebenarnya telah terjadi. Saat bertanya kepada Amar, lelaki itu tidak mau mengakui.Akhirnya wanita paruh baya itu bertanya kepada Tisa. Ia tahu jika wanita itu adalah sahabat Rania. Tentu hal itu sebuah kesempatan Rosita untuk bertanya sedetail-detailnya.Rania duduk dengan gelisah di kamarnya. Rasa-rasanya waktu berlalu lambat setelah kepergian Rafka. Wanita itu merasakan kesendirian yang membuatnya merasa sedih."Hari ini Rafka bertemu dengan Nina. Semoga wanita itu tidak mencoba untuk menggoda Rafka. Atau meminta balikan."Rania takut ditinggalkan dua lelaki sekaligus dalam hidupnya. Ia merasa baru sekejap saja kebahagiaan rumah tangganya, tetapi kini sudah diambang batas kehancuran."Apakah jalan yang ku ambil ini sudah benar ya, Tuhan? Mungkinkah Rafka lelaki yang terbaik untukku? Atau hanya sekedar ujian dari-Mu?"Wanita itu memilih untuk mandi air hangat. Ia ber
"Nin, di mana papamu? Apakah benar ini tempatnya?" tanya Rafka masih berusaha untuk bersikap tenang.Setelah mengambil uang sebagai tebusan, Rafka dan Nina bergegas menuju tempat yang sudah dijanjikan. Namun Rafka tidak mau gegabah. Ia takut ditipu mentah-mentah oleh Nina."Kita cari di lantai paling atas, Raf. Aku yakin tempatnya memang di sini."Rafka mengangguk sambil mempercepat langkahnya menuju roof top. Lelaki tampan itu baru sadar jika dia belum menghubungi Rania sama sekali.Sambil berjalan Rafka mengecek ponselnya. "Kenapa handphonenya mati? Bukankah tadi baterainya masih banyak?"Rafka melirik ke arah Nina. Tadi wanita itu sempat meminjam ponselnya. Ia jadi curiga dengan gerak-gerik sahabatnya itu. 'Jangan-jangan benar kata Fariz, dia mau menjebakku.'Rafka menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengaktifkan kembali ponselnya. "Tunggu sebentar, Nin. Aku cek dulu handphone aku.""Raf, kita tidak punya banyak waktu." Nina tetap memaksa Rafka."Kamu jalan dulu. Aku akan menyusul