Ini Ela kenapa coba jadi moody kek gini? Coba readers ada yang bisa jelasin? Kayanya cewek kalo nggak iseng ngajak berantem sama cowoknya tuh kurang seru hidupnya kali, ya?
Hello readers, Maaf ya hari ini aku belum bisa update. Dua hari ini nggak tahu kenapa setiap mau nulis cuma bisa bikin 1 paragraf terus hapus lagi, gitu-gitu terus. Makanya author coba rileks sejenak dan istirahat dulu biar bisa balikin mood nulis lagi. Semoga aja besok suasana hati dan lingkungan sudah kondusif untuk melanjutkan cerita Ela dan Dipta yaa. Anyway, jangan lupa cek socmed author untuk cek visual, moodboard dan playlist Ela dan Dipta. Siapa tau sambil dengerin musik dan baca novel ini imajinasinya semakin menggila yaa hahaThanks a lot for your kind understanding and patience. Love you all,Take care dan jaga kesehatan yaa
“Kok pesanan kamu lebih enak, sih, kelihatannya?” Ela melirik piring di hadapan Dipta dengan wajah memelas. Lihat bagaimana satu porsi steak filet mignon itu menggugah seleranya. Perutnya kini tiba-tiba keroncongan. Dia menatap kecut pesanannya–caesar salad dengan dressing on the side yang terlihat menyedihkan. “Mau?” Dipta menawari Ela sambil tersenyum kecil. Belum sempat Ela mencari alasan untuk menutupi rasa malunya, Dipta kembali berkomentar. “Tadi kenapa nggak pesan ini saja?” “Ya aku nggak tahu kalau ternyata pesananmu lebih menarik ketika disajikan,” jawab Ela malu-malu. “Mau tukeran aja?” tanya Dipta sebelum akhirnya pria itu berinisiatif menukar pesanan mereka. “Boleh?” Ela menatap Dipta penuh harap. Senyum pria itu terulas manis dan sukses membuat hati Ela menghangat seketika. Kini terhidang di depan Ela sepiring filet mignon yang wanginya begitu menggoda, dan di hadapan Dipta tersaji semangkuk caesar salad yang terlihat begitu–sehat, jika dibandingkan denga
Ela menatap sebuah kantor minimalis modern tiga lantai yang didapuk sebagai kantor agensi keamanan tempat Dipta bernaung. Noble Safeguard Partners. Begitu sebuah signage elegan yang terpampang di dinding depan sebelum mereka berdua masuk ke dalam dan disambut oleh resepsionis yang begitu akrab dengan Dipta.“Tunggu di sini sebentar ya, aku perlu urus beberapa hal administratif sebelum kita bertemu Mas Sultan, atasanku.” Dipta meremas lengan Ela sejenak sebelum meninggalkan Ela di ruang tunggu tamu. Mungkin sekitar lima belas menit kemudian Dipta datang bersama seorang pria yang Ela taksir berumur sekitar empat puluh tahun yang berjalan penuh kharisma. Sepertinya pria itu adalah atasan Dipta, the famous Sultan Soewarno. Kini Ela mengerti kenapa Dipta memberikan peringatan agar tidak dekat-dekat dengan atasannya yang bernama Sultan Soewarno. Sultan adalah pengejawantahan pria matang, tampan, mapan, menawan, dan berkharisma. Itu adalah kesan yang Ela dapatkan saat dia menjabat tanga
Trigger warning : Revenge Porn, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Harap membaca dengan penuh kebijaksanaan dan pertimbangan pribadi Anda dengan baik. DIPTA “Gue dapat kabar dari anak-anak kalau hotel tetap bersikeras untuk meminta surat dari kepolisian untuk membuka CCTV.” Mas Sultan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tempat Ela dan Dipta duduk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ponsel Mas Sultan baru saja dimatikan dan dia kembali menaruh benda kecil itu ke dalam saku celananya sebelum duduk di hadapan Ela dan menatap lekat gadis itu, sebelum akhirnya memindahkan pandangannya kepada Dipta. “Jadi untuk CCTV masih kita usahakan cari cara legal, jika nggak bisa… kita akan putar otak cari cara lainnya,” ujar Mas Sultan menambahkan. Dipta tahu implikasi dari ucapan atasannya tersebut. Ada jalur ilegal untuk menggali informasi lainnya. Sebuah cara yang timnya jarang gunakan, namun dalam keadaan ekstrim Mas Sultan mengizinkannya demi tercapainya tujuan atau misi mereka di pekerjaa
“Orang dalam?” tanya Ela di tengah perbincangannya dengan Mas Sultan. Wajah Ela masih setengah tenggelam di dalam ceruk leher Dipta, namun gadis itu menoleh ke arah Mas Sultan untuk berbincang lebih serius lagi. Pipi dan hidungnya memerah karena Ela menangis tanpa suara tadi, dan Dipta memeluknya agar gadis itu tak malu terlihat rapuh di tengah-tengah mereka. “Ring a bell, sweetheart?” Suara Sultan melembut. Entah tatapan apa yang ditujukan Mas Sultan kepada Ela, tapi ada rasa tak nyaman yang mulai menggelitik isi hati Dipta dalam diam ketika menyaksikan Mas Sultan bersikap lembut kepada Ela. “Mas Sultan, stop calling her sweetheart. She’s not your sweetheart!” tukasnya tajam. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya tatkala mendengarnya protes demikian. “Ah shoot, sorry, kebiasaan. Saya harap kamu nggak tersinggung, Elaina.” Meskipun demikian, Mas Sultan akhirnya meminta maaf sambil meringis ke arah Ela, berharap tak ada masalah dari kebiasaan playboy Mas Sultan yang tak sengaja te
ELA“Kamu yakin nggak mau tinggal semalam lagi di tempat saya? Daripada ke hotel seperti ini, jujur saya nggak nyaman melepasmu seperti ini.” Dipta menoleh ke arahnya sekilas sebelum kembali fokus mengendarai mobilnya. “Daripada jadi omongan tetanggamu, Mas. Maksudku, aku rasa hatiku sudah cukup babak belur sejak sesi interview dengan atasanmu sejak siang. Rasanya nggak sanggup lagi kalau mendengar selentingan miring tentangku dari orang-orang asing yang begitu kepo dengan kehidupanku,” ucapnya lelah. Jika diingat-ingat bagaimana menguras emosinya percakapannya tadi dengan Mas Sultan tentang malam itu, Ela jadi bergidik sendiri. Untung saja sudah selesai dan dia tak perlu lagi mengingat-ingat malam sialan itu!“Kamu mau check in di mana? Biar sama saya saja.” Pertanyaan Dipta sontak membuat Ela berjengit kaget dan sontak membuat jantungnya berpacu cepat. “Hah?” Ela mengerjapkan matanya dengan cepat. Tidur bareng lagi, begitu?“Saya di kamar lain, maksudnya.” Dipta buru-buru menamb
Mereka berdua berdiri di depan kamar mereka masing-masing, masih dilingkupi kerikuhan–karena jika Ela plus Dipta, ditambah dengan hotel merupakan resep bahaya yang cukup membuat dadanya kembali berdebar karena mengingat malam panas saat Ela dan Dipta menggila dalam pengaruh kabut gairah yang tak terbendung. “Rasanya lebih baik saya cek tempat kamu dulu, untuk berjaga-jaga,” ujar Dipta di sampingnya dengan nada yang lebih yakin dan percaya diri. Tapi tahu apa dia soal prosedur keamanan. Jadi dia membiarkan Dipta melakukan apa yang pria itu ingin lakukan. “Ini bukan kejadian beberapa hari lalu, Mas. Masa sih ada orang yang bisa sampai segitu hebatnya melacak kita sampai ke hotel… uh, apa namanya tadi?” Ela mengernyit ragu dengan usul Dipta. “Princess, stop with your patronizing attitude. Ini jaringan hotel yang cukup dikenal, kok. Jangan pikirin hotel bintang lima semacam Royal Ruby Hotel saja kalau bicara soal hotel.” Keraguan Ela justru dibalas dengan kekehan pelan dari Dipta
“Berhenti memikirkan orang lain, Ela. Yang utama dan paling penting perlu kamu pikirkan adalah dirimu sendiri.” Lagi-lagi ucapan Dipta yang terkesan menggurui menyentil egonya yang sudah babak belur habis-habisan. Rasanya kini Ela semakin jengah dikuliahi layaknya anak sekolah yang bodoh dan bebal. Sekelebat potret masa lalunya yang ingin dia kubur dalam-dalam muncul ke permukaan. Bagaimana guru-guru yang memberikan remark dan sindiran-sindiran halus betapa beruntung dan mudahnya hidup sebagai putri pejabat negara yang bebas melakukan apa saja meskipun kapasitas otaknya pas-pasan. “Iya, sih…” Ela bergumam pelan. Kini mood-nya jadi terjun bebas memikirkan masalah sewa apartemennya. Padahal ini masalah mudah, entah mengapa dia menyabotase dirinya dan membuat hal ini menjadi sulit? “Apa perlu saya yang bicara dengan Ratri? Dengan senang hati saya akan membantumu,” tawar Dipta penuh perhatian. “Nggak deh, sekarang aku malah ngerepotin kamu, Mas.” Ela sontak menolak tawaran Mas D