VIOLA I’m finally here …Tempat penuh luka dan selalu membuatku untuk meneteskan air mata akhirnya harus kuinjak lagi.Belum sampai setengah tahun meninggalkannya, tapi aku merasa sudah bertahun-tahun pergi dari jakarta. Kalau saja bukan karena tuntutan pekerjaan maka kuyakin nggak akan berada di tempat ini sekarang.Tidak banyak yang berubah dari Jakarta. Tapi saat kakiku menapak setelah turun dari pesawat seolah baru saja menginjak tempat yang benar-benar baru.Dari bandara kami langsung ke head office. Saat taksi yang kutumpangi melintasi Setiabudi mendadak kenangan itu hadir lagi. Padahal aku nggak ingin mengingatnya.Dengan impulsif kepalaku menoleh ke kanan saat lewat di depan kantor Assegaf & Partners. Walaupun nggak begitu lama bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih, namun tempat itu sangat berarti untukku.Gimana kabar Mbak Emma sekarang? Gimana kabar Tedi? Gimana kabar Yogi? Siapa yang menggantikanku setelah aku pergi dari sana?Dan bagaimana kabar ‘orang itu’? Masihk
KENZIO Vio, sayang …Sembilan bulan berlalu, dan aku masih merindukanmu sampai saat ini. Setiap jam, setiap waktu, setiap detik. I miss you so badPesan itu berhasil kuketik lalu kukirim namun hanya centang satu yang keluar.Percaya atau tidak hampir setiap malam sebelum tidur aku mengirim pesan untuk Viola, namun sejauh ini pesanku nggak pernah terkirim.Kuhela napas dalam-dalam setelah melepaskan ponsel dari genggaman hingga tergeletak begitu saja di permukaan kasur di sebelahku.Sudah sekian lama Viola pergi meninggalkanku tapi sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya apalagi menghilangkan perasaan cinta padanya. Meski Yogi berkali-kali mengatakan bahwa Viola sengaja menghilangkan jejak karena sudah berhenti mencintaiku tapi aku terus berharap agar bisa bertemu dengannya. Ini baru sembilan bulan, belum sembilan tahun.Yogi juga sudah berkali-kali mengenalkanku pada wanita yang berbeda yang katanya perempuan baik-baik sama seperti Viola, tapi nggak satu pun dari mereka ya
KENZIO Malamnya Ben benar-benar datang menjemput. Dia masih mengenakan kemeja, celana formal dan pantofel hitam."Langsung dari kantor?" tanyaku melihat penampilannya."Ya beginilah budak korporat," kekehnya pelan."Budak korporat apaan? Budak korporat nggak gini," balasku."Selagi masih kerja untuk orang artinya masih bawahan, sebesar apa pun gajinya. Ya nggak?""Haha … iya ..."Percakapan kami terjeda sesaat ketika ponsel Ben berbunyi. Dia menerimanya sambil menyetir."Gue udah di luar. Lo atur aja dulu. Hubungi Widi kalau ada yang mau ditanyain." Itu sekilas yang kudengar."Dari tim. Biasalah," katanya memberitahuku setelah selesai menelepon."Tim maksudnya, bawahan?"Ben mengangguk.Aku jadi berpikir iklim kerja di sana sepertinya amat sangat santai. Buktinya tadi kudengar cara Ben bicara seperti pada teman sepermainan."Hehe ... Sama anak-anak kantor emang udah biasa begitu, nggak ada formal-formalnya," jelas Ben seakan mengerti apa yang saat ini tengah kupikirkan. "Biar kita le
KENZIO“Salah satu tim gue.” Ben menjawab tanpa memandang padaku. Perhatiannya tertuju ke arah countdown timer di depan sana.Sesolid itu Ben pada bawahannya. Dia benar-benar tipe pimpinan yang pasti sangat disenangi para karyawannya.“Gue pikir istri lo yang sakit.”“Bisa dibilang begitu.” Kalimat itu masih diucapkan tanpa memandang ke arahku.Aku mengernyit heran. Apa maksudnya ini?Aku ingin bertanya banyak tapi karena melihat Ben yang tampak panik luar biasa maka niat itu terpaksa kuurungkan. Aku menyimpulkan sendiri. Mungkin Ben dan istrinya adalah rekan sekantor. Dan istrinya itu merupakan bawahannya.Ben menekan klakson sekuat yang bisa dilakukannya setelah lampu hijau menyala lalu menekan pedal gas sedalam mungkin hingga hampir saja menabrak sepeda motor yang bergerak pelan di depan mobil.Sepanjang sisa perjalanan aku duduk tanpa suara di sebelah Ben. Melihatnya panik aku ikut tegang. Separah apa keadaan istrinya itu sehingga membuat Ben sampai sepanik ini?Setibanya di rumah
VIOLA Setelah melalui observasi dan kondisiku dinyatakan stabil, aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ada Ben, Widi dan Hani yang saat ini menemaniku."Dia kok nggak ada miripnya sama lo ya, La?" tanya Widi setelah sedari tadi begitu konsentrasi memandangi putri kecilku yang berada di dalam box bayi. Box itu berada tepat di sebelah tempat tidurku."Jangan-jangan dia mirip bapaknya kali ya," celetuk Hani menimpali."Bukan!" sahutku cepat. "Dia memang nggak mirip siapa-siapa. Nggak semua anak harus mirip sama orang tuanya.""Iya deh."Keduanya mungkin menyadari kalau aku nggak suka anak bapak ini disebut-sebut."Ben, temen lo tadi mana?" Widi mengalihkan topik obrolan demi menghindari suasana canggung."Udah pergi.""Temen siapa?" Aku ikut bertanya pada Ben."Temen dari Jakarta. Kebetulan dia lagi di sini. Tadi aku lagi sama dia waktu Hani menelfon. Terus aku ajak dia ke sini sekalian."Oh.""Katanya dia titip salam buat kamu, semoga sehat terus.""Amin ... makasih.""Tadi dia juga se
VIOLABen memandangku dengan tatapan sedih. Sudah sejak kemarin dia menunjukkan tanda-tanda tersebut. Ben yang biasanya ceria dan begitu energic, kali ini seakan kehilangan semangat hidupnya.Bukan hanya aku, tapi gadis kecilku yang cerdas juga bisa merasakan perubahan sikap Ben. Dia lalu berbisik padaku.“Nda, Ayah kenapa sedih?”“Coba deh Kei tanyain sendiri.” Aku membalas bisikannya.Beranjak dariku, Lakeizia menarik langkah menghampiri Ben yang saat ini sedang memeriksa lagi barang-barangku.Seperti yang Ben katakan kala itu, ternyata aku benar-benar dipromosikan. Aku dipercaya untuk memimpin cabang Starnusa di Bali yang berlokasi tepat di kota Denpasar. Bagiku itu adalah pencapaian terbesar selama aku berkarir. Dan aku nggak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja.Sudah sejak dua hari yang lalu aku berada di Jakarta mengurus segala sesuatunya. Ben juga ikut. Dia yang membantuku. Mulai dari packing barang-barang, mengantarku ke Jakarta lalu menemaniku ke kantor pusat, dan masih ban
VIOLA"Lakeizia!" Aku memanggilnya sambil berlari keluar dari pagar.Suasana sore ini cukup sunyi. Nggak ada seorang pun di sekitarku. Orang-orang sibuk di dalam rumah masing-masing atau belum pulang dari tempat aktivitas mereka"Lakeizia! Kei, di mana, Nak?" Aku memanggilnya dengan suara lebih keras sambil memandang ke kiri dan kanan. Tapi nggak ada yang menjawab panggilanku.Aku mulai panik. Lakeizia seperti lenyap ditelan bumi."Lakeizia! Lakeizia!" Aku terus memanggilnya dengan suara keras. Isakku akan pecah. Pelupuk mataku menghangat oleh genangan air mata yang siap untuk tumpah. Aku nggak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada putriku. Dia satu-satunya yang kumiliki. Aku lebih baik kehilangan segalanya asal bukan dia."Kei di mana, Sayang?!" Aku terus memanggilnya sambil terus berjalan.Sampai di ujung jalan langkahku terhenti karena sudah buntu.Aku memutar arah kembali ke arah rumah. Mungkin Lakeizia main keluar dari komplek ini. Mungkin sekuriti di dekat gapur
VIOLA"Ayah jahat, Bunda jahat. Kei malu sama teman-teman. Semua orang punya Ayah, cuma Kei yang nggak punya!"Bulir-bulir air mata menetes mengaliri pipi Lakeizia. Isaknya pecah menjadi tangisan kencang. Setiap kali dia tantrum pasti dia akan mengungkit-ungkit soal ayah kandungnya.Aku mendekati Lakeizia yang kini berguling di lantai sambil terus menangis keras. Kalau sudah begini aku nggak bisa berbuat apa-apa karena semakin dibujuk dia akan semakin ngamuk.Akhirnya aku hanya bisa membiarkan dia melampiaskan emosinya sepuas hati.Sampai keesokan harinya Lakeizia masih bertingkah. Dia nggak mau melakukan apa pun, mulai dari makan, mandi sampai mogok sekolah. Bahkan aku juga dilarang pergi kerja.Aku baru saja menelepon asistenku di kantor untuk mengatakan bahwa hari ini aku masuk agak siang—ketika pintu rumah diketuk.Ternyata Tante Zeline yang datang."Eh, Tante, ayo masuk, Tante." Aku menyilakan.Tante Zeline tersenyum padaku. "Tante pikir kamu sudah berangkat. Tante cuma mau ngasi