KENZIO Malamnya Ben benar-benar datang menjemput. Dia masih mengenakan kemeja, celana formal dan pantofel hitam."Langsung dari kantor?" tanyaku melihat penampilannya."Ya beginilah budak korporat," kekehnya pelan."Budak korporat apaan? Budak korporat nggak gini," balasku."Selagi masih kerja untuk orang artinya masih bawahan, sebesar apa pun gajinya. Ya nggak?""Haha … iya ..."Percakapan kami terjeda sesaat ketika ponsel Ben berbunyi. Dia menerimanya sambil menyetir."Gue udah di luar. Lo atur aja dulu. Hubungi Widi kalau ada yang mau ditanyain." Itu sekilas yang kudengar."Dari tim. Biasalah," katanya memberitahuku setelah selesai menelepon."Tim maksudnya, bawahan?"Ben mengangguk.Aku jadi berpikir iklim kerja di sana sepertinya amat sangat santai. Buktinya tadi kudengar cara Ben bicara seperti pada teman sepermainan."Hehe ... Sama anak-anak kantor emang udah biasa begitu, nggak ada formal-formalnya," jelas Ben seakan mengerti apa yang saat ini tengah kupikirkan. "Biar kita le
KENZIO“Salah satu tim gue.” Ben menjawab tanpa memandang padaku. Perhatiannya tertuju ke arah countdown timer di depan sana.Sesolid itu Ben pada bawahannya. Dia benar-benar tipe pimpinan yang pasti sangat disenangi para karyawannya.“Gue pikir istri lo yang sakit.”“Bisa dibilang begitu.” Kalimat itu masih diucapkan tanpa memandang ke arahku.Aku mengernyit heran. Apa maksudnya ini?Aku ingin bertanya banyak tapi karena melihat Ben yang tampak panik luar biasa maka niat itu terpaksa kuurungkan. Aku menyimpulkan sendiri. Mungkin Ben dan istrinya adalah rekan sekantor. Dan istrinya itu merupakan bawahannya.Ben menekan klakson sekuat yang bisa dilakukannya setelah lampu hijau menyala lalu menekan pedal gas sedalam mungkin hingga hampir saja menabrak sepeda motor yang bergerak pelan di depan mobil.Sepanjang sisa perjalanan aku duduk tanpa suara di sebelah Ben. Melihatnya panik aku ikut tegang. Separah apa keadaan istrinya itu sehingga membuat Ben sampai sepanik ini?Setibanya di rumah
VIOLA Setelah melalui observasi dan kondisiku dinyatakan stabil, aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ada Ben, Widi dan Hani yang saat ini menemaniku."Dia kok nggak ada miripnya sama lo ya, La?" tanya Widi setelah sedari tadi begitu konsentrasi memandangi putri kecilku yang berada di dalam box bayi. Box itu berada tepat di sebelah tempat tidurku."Jangan-jangan dia mirip bapaknya kali ya," celetuk Hani menimpali."Bukan!" sahutku cepat. "Dia memang nggak mirip siapa-siapa. Nggak semua anak harus mirip sama orang tuanya.""Iya deh."Keduanya mungkin menyadari kalau aku nggak suka anak bapak ini disebut-sebut."Ben, temen lo tadi mana?" Widi mengalihkan topik obrolan demi menghindari suasana canggung."Udah pergi.""Temen siapa?" Aku ikut bertanya pada Ben."Temen dari Jakarta. Kebetulan dia lagi di sini. Tadi aku lagi sama dia waktu Hani menelfon. Terus aku ajak dia ke sini sekalian."Oh.""Katanya dia titip salam buat kamu, semoga sehat terus.""Amin ... makasih.""Tadi dia juga se
VIOLABen memandangku dengan tatapan sedih. Sudah sejak kemarin dia menunjukkan tanda-tanda tersebut. Ben yang biasanya ceria dan begitu energic, kali ini seakan kehilangan semangat hidupnya.Bukan hanya aku, tapi gadis kecilku yang cerdas juga bisa merasakan perubahan sikap Ben. Dia lalu berbisik padaku.“Nda, Ayah kenapa sedih?”“Coba deh Kei tanyain sendiri.” Aku membalas bisikannya.Beranjak dariku, Lakeizia menarik langkah menghampiri Ben yang saat ini sedang memeriksa lagi barang-barangku.Seperti yang Ben katakan kala itu, ternyata aku benar-benar dipromosikan. Aku dipercaya untuk memimpin cabang Starnusa di Bali yang berlokasi tepat di kota Denpasar. Bagiku itu adalah pencapaian terbesar selama aku berkarir. Dan aku nggak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja.Sudah sejak dua hari yang lalu aku berada di Jakarta mengurus segala sesuatunya. Ben juga ikut. Dia yang membantuku. Mulai dari packing barang-barang, mengantarku ke Jakarta lalu menemaniku ke kantor pusat, dan masih ban
VIOLA"Lakeizia!" Aku memanggilnya sambil berlari keluar dari pagar.Suasana sore ini cukup sunyi. Nggak ada seorang pun di sekitarku. Orang-orang sibuk di dalam rumah masing-masing atau belum pulang dari tempat aktivitas mereka"Lakeizia! Kei, di mana, Nak?" Aku memanggilnya dengan suara lebih keras sambil memandang ke kiri dan kanan. Tapi nggak ada yang menjawab panggilanku.Aku mulai panik. Lakeizia seperti lenyap ditelan bumi."Lakeizia! Lakeizia!" Aku terus memanggilnya dengan suara keras. Isakku akan pecah. Pelupuk mataku menghangat oleh genangan air mata yang siap untuk tumpah. Aku nggak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada putriku. Dia satu-satunya yang kumiliki. Aku lebih baik kehilangan segalanya asal bukan dia."Kei di mana, Sayang?!" Aku terus memanggilnya sambil terus berjalan.Sampai di ujung jalan langkahku terhenti karena sudah buntu.Aku memutar arah kembali ke arah rumah. Mungkin Lakeizia main keluar dari komplek ini. Mungkin sekuriti di dekat gapur
VIOLA"Ayah jahat, Bunda jahat. Kei malu sama teman-teman. Semua orang punya Ayah, cuma Kei yang nggak punya!"Bulir-bulir air mata menetes mengaliri pipi Lakeizia. Isaknya pecah menjadi tangisan kencang. Setiap kali dia tantrum pasti dia akan mengungkit-ungkit soal ayah kandungnya.Aku mendekati Lakeizia yang kini berguling di lantai sambil terus menangis keras. Kalau sudah begini aku nggak bisa berbuat apa-apa karena semakin dibujuk dia akan semakin ngamuk.Akhirnya aku hanya bisa membiarkan dia melampiaskan emosinya sepuas hati.Sampai keesokan harinya Lakeizia masih bertingkah. Dia nggak mau melakukan apa pun, mulai dari makan, mandi sampai mogok sekolah. Bahkan aku juga dilarang pergi kerja.Aku baru saja menelepon asistenku di kantor untuk mengatakan bahwa hari ini aku masuk agak siang—ketika pintu rumah diketuk.Ternyata Tante Zeline yang datang."Eh, Tante, ayo masuk, Tante." Aku menyilakan.Tante Zeline tersenyum padaku. "Tante pikir kamu sudah berangkat. Tante cuma mau ngasi
KENZIOBukan hanya tatapannya yang lekat di mukaku, tapi tangannya yang melingkari leherku juga begitu kuat, seakan renggang sedikit saja maka dia akan jatuh.“Jadi Kei tinggal di dekat mana, Yang?” tanyaku menagih janji Ayang untuk bercerita.“Persis di sebelah rumah kita.”Dahiku mengernyit membayangkannya. “Yang di sebelah mananya, Yang?”“Yang itu lho, yang bekas rumahnya Pak Ketut. Sekarang rumah itu disewa sama perusahaan buat tempat tinggal kepala cabang mereka. Nah, bundanya Kei ini adalah si kepala cabang itu.”Aku ber ‘oh’ menanggapi penjelasan Ayang.Lalu kupandangi anak di dalam gendongan. Dia balas menatapku.“Kei umurnya berapa?” tanyaku.“Empat, Om,” jawabnya lugas.“Udah sekolah belum?”“Udah, Om.”“Terus hari ini nggak sekolah atau sudah pulang?”Lakeizia yang sedari tadi lancar menjawab tiba-tiba membisu. Membuatku bertanya di dalam hati, apa ada yang salah dengan pertanyaanku?Ayang yang berjalan di sebelahku menyikut lenganku sebagai isyarat.Mengerti kode yang dik
KENZIOAku mengusap kepala Lakeizia yang memandangiku dengan wajah lugunya. Dia masih menanti jawabanku. Aku nggak habis pikir bagaimana cara bundanya mendidik Lakeizia sampai dia sedewasa ini dalam berpikir."Kei nggak usah bayar. Kei nggak berutang apa-apa sama Om Zio. Om membelikannya dengan ikhlas. Dan yang namanya pemberian bukan utang. Oke?”Lakeizia menatapku bimbang. Seakan meragukan kalau aku benar-benar ikhlas.Kuusap kepalanya sekali lagi untuk meyakinkannya. "Kei, nggak usah takut. Yang tadi beneran Om Zio ikhlas beliinnya buat Kei, dan itu bukan utang. Kei tahu kan utang itu apa? Kalau Om meminjamkan uang untuk Kei biar bisa beli coklat, itu namanya utang. Tapi kalau Om yang ngasih, itu artinya bukan utang. Oke, Sayang?”Lakeizia akhirnya mengangguk setelah kuterangkan dengan detail."Boleh Kei makan coklatnya satu, Om?" tanyanya sesaat kemudian yang membuatku lega. Itu artinya dia nggak lagi mempermasalahkannya."Boleh dong. Kei makan aja.""Om mau?" Dia menawarkan padak