VIOLASeluruh persendianku bagai terlepas dari tempatnya. Sementara pikiranku bercabang tak menentu bersama wajah Kenzio yang menari-nari di depan mata.Aku baru saja bisa bernapas setelah penderitaan panjang yang nyaris tiada akhir. Namun kenapa aku kembali diuji dengan kenyataan pahit ini?Apa aku nggak boleh bahagia sedikit saja?Apa dosa yang telah kulakukan sehingga cobaan hidup ini tiada henti menimpaku?"Viola! Lo masih lama?"Ketukan di pintu kamar mandi membuyarkan segalanya. Wajah Kenzio, pelukan hangatnya di tubuhku, ciumannya di bibirku, segalanya."Viola!" Suara Widi kembali terdengar lantaran nggak kuberi jawaban."Iya bentar." Aku menyahut.Kutatap wajahku di kaca sebelum keluar dari kamar mandi, hanya untuk meyakinkan bahwa segala kekusutan ini tidak tergambar di sana. Setelahnya kubuka pintu dan memasang tampang biasa."La, lo dicariin Ben tuh."Aku mengangguk lalu masuk ke kamar untuk meletakkan testpack yang kugenggam erat-erat di tangan.Kuhela napas sedalam mungki
VIOLAAku menggeliat pelan. Pinggangku terasa pegal setelah hampir seharian duduk di depan komputer.Masa-masa morning sickness sudah lama berlalu. Saat ini aku berada di fase sakit pinggang dan punggung, apalagi kalau duduk terlalu lama."Sore, Bumil ..." Sapaan itu berasal dari pria berkemeja abu-abu yang baru saja masuk ke ruanganku. Ada segelas susu di tangannya."Sore," jawabku pada Ben yang kemudian mengisi kursi di seberang meja."Minum dulu yuk susunya." Ben meletakkan gelas berisi susu di meja lalu menggeser ke arahku.Ini adalah salah satu tindakan yang rutin Ben lakukan. Setiap sore selama kami berada di kantor Ben akan membuatkan susu hamil untukku."Thanks, Ben." Aku mengangkat gelas susu lalu meniup perlahan uap panas yang mengepul sebelum menyesapnya.Dari balik gelas aku tahu Ben sedang mengamatiku."Nanti jadi kontrol ke dokter?" tanyanya setelah aku meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah di atas meja."Jadi dong," jawabku sambil mengusap perut."Bulan ini udah
VIOLA I’m finally here …Tempat penuh luka dan selalu membuatku untuk meneteskan air mata akhirnya harus kuinjak lagi.Belum sampai setengah tahun meninggalkannya, tapi aku merasa sudah bertahun-tahun pergi dari jakarta. Kalau saja bukan karena tuntutan pekerjaan maka kuyakin nggak akan berada di tempat ini sekarang.Tidak banyak yang berubah dari Jakarta. Tapi saat kakiku menapak setelah turun dari pesawat seolah baru saja menginjak tempat yang benar-benar baru.Dari bandara kami langsung ke head office. Saat taksi yang kutumpangi melintasi Setiabudi mendadak kenangan itu hadir lagi. Padahal aku nggak ingin mengingatnya.Dengan impulsif kepalaku menoleh ke kanan saat lewat di depan kantor Assegaf & Partners. Walaupun nggak begitu lama bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih, namun tempat itu sangat berarti untukku.Gimana kabar Mbak Emma sekarang? Gimana kabar Tedi? Gimana kabar Yogi? Siapa yang menggantikanku setelah aku pergi dari sana?Dan bagaimana kabar ‘orang itu’? Masihk
KENZIO Vio, sayang …Sembilan bulan berlalu, dan aku masih merindukanmu sampai saat ini. Setiap jam, setiap waktu, setiap detik. I miss you so badPesan itu berhasil kuketik lalu kukirim namun hanya centang satu yang keluar.Percaya atau tidak hampir setiap malam sebelum tidur aku mengirim pesan untuk Viola, namun sejauh ini pesanku nggak pernah terkirim.Kuhela napas dalam-dalam setelah melepaskan ponsel dari genggaman hingga tergeletak begitu saja di permukaan kasur di sebelahku.Sudah sekian lama Viola pergi meninggalkanku tapi sampai saat ini aku masih belum bisa melupakannya apalagi menghilangkan perasaan cinta padanya. Meski Yogi berkali-kali mengatakan bahwa Viola sengaja menghilangkan jejak karena sudah berhenti mencintaiku tapi aku terus berharap agar bisa bertemu dengannya. Ini baru sembilan bulan, belum sembilan tahun.Yogi juga sudah berkali-kali mengenalkanku pada wanita yang berbeda yang katanya perempuan baik-baik sama seperti Viola, tapi nggak satu pun dari mereka ya
KENZIO Malamnya Ben benar-benar datang menjemput. Dia masih mengenakan kemeja, celana formal dan pantofel hitam."Langsung dari kantor?" tanyaku melihat penampilannya."Ya beginilah budak korporat," kekehnya pelan."Budak korporat apaan? Budak korporat nggak gini," balasku."Selagi masih kerja untuk orang artinya masih bawahan, sebesar apa pun gajinya. Ya nggak?""Haha … iya ..."Percakapan kami terjeda sesaat ketika ponsel Ben berbunyi. Dia menerimanya sambil menyetir."Gue udah di luar. Lo atur aja dulu. Hubungi Widi kalau ada yang mau ditanyain." Itu sekilas yang kudengar."Dari tim. Biasalah," katanya memberitahuku setelah selesai menelepon."Tim maksudnya, bawahan?"Ben mengangguk.Aku jadi berpikir iklim kerja di sana sepertinya amat sangat santai. Buktinya tadi kudengar cara Ben bicara seperti pada teman sepermainan."Hehe ... Sama anak-anak kantor emang udah biasa begitu, nggak ada formal-formalnya," jelas Ben seakan mengerti apa yang saat ini tengah kupikirkan. "Biar kita le
KENZIO“Salah satu tim gue.” Ben menjawab tanpa memandang padaku. Perhatiannya tertuju ke arah countdown timer di depan sana.Sesolid itu Ben pada bawahannya. Dia benar-benar tipe pimpinan yang pasti sangat disenangi para karyawannya.“Gue pikir istri lo yang sakit.”“Bisa dibilang begitu.” Kalimat itu masih diucapkan tanpa memandang ke arahku.Aku mengernyit heran. Apa maksudnya ini?Aku ingin bertanya banyak tapi karena melihat Ben yang tampak panik luar biasa maka niat itu terpaksa kuurungkan. Aku menyimpulkan sendiri. Mungkin Ben dan istrinya adalah rekan sekantor. Dan istrinya itu merupakan bawahannya.Ben menekan klakson sekuat yang bisa dilakukannya setelah lampu hijau menyala lalu menekan pedal gas sedalam mungkin hingga hampir saja menabrak sepeda motor yang bergerak pelan di depan mobil.Sepanjang sisa perjalanan aku duduk tanpa suara di sebelah Ben. Melihatnya panik aku ikut tegang. Separah apa keadaan istrinya itu sehingga membuat Ben sampai sepanik ini?Setibanya di rumah
VIOLA Setelah melalui observasi dan kondisiku dinyatakan stabil, aku dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ada Ben, Widi dan Hani yang saat ini menemaniku."Dia kok nggak ada miripnya sama lo ya, La?" tanya Widi setelah sedari tadi begitu konsentrasi memandangi putri kecilku yang berada di dalam box bayi. Box itu berada tepat di sebelah tempat tidurku."Jangan-jangan dia mirip bapaknya kali ya," celetuk Hani menimpali."Bukan!" sahutku cepat. "Dia memang nggak mirip siapa-siapa. Nggak semua anak harus mirip sama orang tuanya.""Iya deh."Keduanya mungkin menyadari kalau aku nggak suka anak bapak ini disebut-sebut."Ben, temen lo tadi mana?" Widi mengalihkan topik obrolan demi menghindari suasana canggung."Udah pergi.""Temen siapa?" Aku ikut bertanya pada Ben."Temen dari Jakarta. Kebetulan dia lagi di sini. Tadi aku lagi sama dia waktu Hani menelfon. Terus aku ajak dia ke sini sekalian."Oh.""Katanya dia titip salam buat kamu, semoga sehat terus.""Amin ... makasih.""Tadi dia juga se
VIOLABen memandangku dengan tatapan sedih. Sudah sejak kemarin dia menunjukkan tanda-tanda tersebut. Ben yang biasanya ceria dan begitu energic, kali ini seakan kehilangan semangat hidupnya.Bukan hanya aku, tapi gadis kecilku yang cerdas juga bisa merasakan perubahan sikap Ben. Dia lalu berbisik padaku.“Nda, Ayah kenapa sedih?”“Coba deh Kei tanyain sendiri.” Aku membalas bisikannya.Beranjak dariku, Lakeizia menarik langkah menghampiri Ben yang saat ini sedang memeriksa lagi barang-barangku.Seperti yang Ben katakan kala itu, ternyata aku benar-benar dipromosikan. Aku dipercaya untuk memimpin cabang Starnusa di Bali yang berlokasi tepat di kota Denpasar. Bagiku itu adalah pencapaian terbesar selama aku berkarir. Dan aku nggak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja.Sudah sejak dua hari yang lalu aku berada di Jakarta mengurus segala sesuatunya. Ben juga ikut. Dia yang membantuku. Mulai dari packing barang-barang, mengantarku ke Jakarta lalu menemaniku ke kantor pusat, dan masih ban