***"Kalau begitu saya pamit. Good luck dan jangan salah orang lagi. Yang terpenting, enggak ada serang Aludra. Sekali lagi kamu buat dia lecet kaya tadi siang, saya bakar apartemen kamu.""Hm, thank you buat informasinya."Damar memandang Raina. "Jadi kapan kamu berangkat?" tanyanya."Ke London?" tanya Raina. "Tentu aja secepatnya. Aku bukan orang yang suka menunda.""Ya sudah," jawab Damar. Satu jam lebih mengobrol bersama Raina di ruang tamu, dia akhirnya beranjak dari sofa empuk yang sejak tadi didudukinya. "Saya pamit pulang.""Silakan," kata Raina. Ikut beranjak, dia mengantar Damar sampai ke pintu."Saya bantu kamu bukan berarti saya menghalalkan kamu menyakiti Alula secara fisik," kata Damar sebelum benar-benar pergi. "Jangan lukain Alula juga di sana.""Hm." Raina bergumam pelan. "Sana pulang.""Ck, tidak tahu berterima kasih," celetuk Damar.Alih-alih menyauti ucapan Damar, Raina justru menutup pintu apartemennya lalu masuk dan menghempaskan tubuh di sofa, sementara Damar be
***"Ish, kamu kenapa sih Alula?"Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi di London hari ini. Alih-alih bersiap untuk segera ke kampus, Alula justru masih sibuk bergelut dengan selimutnya.Bangun sejak setengah jam lalu, Alula rasanya enggan beranjak meninggalkan kasurnya setelah mimpi aneh tiba-tiba saja menghampirinya semalam.Dua bulan tak pernah bertemu setelah pesta pernikahan waktu itu, malam ini—untuk kali pertama, Alula tiba-tiba saja memimpikan Arka, suaminya.Di dalam mimpi itu, Alula yang memakai gaun selutut pergi makam malam bersama Arka yang tampan dengan tuxedonya. Mereka makan bersama bahkan berdansa lalu berciuman.Alula tak paham kenapa mimpi itu tiba-tiba saja menghampirinya. Namun, yang jelas sekarang jantungnya tak aman. Sejak bangun tidur sampai sekarang Alula terus memikirkan Arka bahkan mulutnya beberapa kali menggumamkan nama pria itu."Aneh, kenapa sih aku tiba-tiba mimpiin Arka?" tanya Alula sambil memandangi putihnya langit-langit kamar apartemen yang
***"Ganteng banget kamu, Mas. Makin ke sini makin ganteng."Sekali lagi pujian itu dilontarkan Aludra pada Arka yang hari ini memang terlihat berbeda dari biasanya.Seminggu lebih selalu memakai pakaian pasien, siang ini Arka terlihat cukup modis dengan sweater coklat yang dia pakai juga celana jeans yang melekat di tubuhnya. Sebagai pemanis, Aludra bahkan sengaja memakaikan topi untuk Arka."Gombal?" tanya Arka."Aku serius," kata Aludra. Dia yang sekarang duduk di sofa—berhadapan dengan Arka yang duduk di kursi roda, sekali lagi mengalihkan perhatiannya ke arah pintu. "Kak Aksa lama ya.""Mungkin antri."Kondisi membaik, hari ini Arka bisa pulang dan melanjutkan pemulihannya di rumah lalu minggu depan dan seterusnya harus rutin ke rumah sakit untuk menjalani terapi bersama terapis handal di rumah sakit tersebut yang kebetulan sahabat Aksa bahkan bertetangga dengan Arka di perumahan.Adryan namanya. Terapis muda yang dulu juga pernah menyembuhkan Ananta dari kelumpuhan dalam jangka
***"Ya udah kalau gitu Lulu bawa Mas Arka ke kamar dulu ya, Ma. Kata dokter harus banyak istirahat.""Iya, Lu."Setelah mengobrol sambil makan bersama di pinggir kolam renang, Alula kini mendorong kursi roda yang diduduki Arka masuk ke dalam rumah karena memang hari sudah mulai sore dan sejak pulang dari rumah sakit, Arka belum sempat beristirahat."Kamar kita untuk sementara waktu di sini ya, Mas," kata Aludra ketika dia membuka pintu kamar di lantai satu yang letaknya berada di dekat tangga. "Nanti kalau kamu udah sembuh, kita pindah lagi ke atas.""Iya, Lu."Sebenarnya Arka bisa saja tetap tidur di kamar atas dengan bantuan Joe yang siap menggendong Arka naik atau turun tangga karena badan pria itu memang besar.Namun, tentu saja Aludra memikirkan perasaan Arka. Dia takut suaminya merasa risih karena memang Arka selalu berkata jika dia tak mau terlalu merepotkan orang lain."Minum obat dulu," kata Aludra setelah dirinya duduk di pinggir kasur sementara Arka duduk di depannya. "Mau
***"Enggak tega ya?"Aludra menoleh ketika sebuah pertanyaan tiba-tiba saja terlontar dari mulut seorang perempuan yang datang sambil menggendong balita di tangannya. Agatha. Dia istri dari terapis yang kini sedang menangani Arka."Eh Kak Agatha," panggil Audra sambil mengukir senyum. "Iya Kak, enggak tega banget. Kaya sakit gitu ya.""Begitulah," kata Agatha. "Semoga cepet sembuh ya, dulu juga Ananta enggak lama.""Aamiin, Mbak."Sesuai kesepakatan di awal, selain jadwal terapi di rumah sakit yang dilaksanakan hari rabu, setiap sabtu sore Arka melakukan terapi tambahan di rumah Adryan karena memang di rumahnya dia sengaja menyediakan beberapa alat penopang yang bisa digunakan untuk berlatih jalan seperti yang sedang dilakukan Arka.Terhitung, hari ini sudah empat kali Arka melakukan terapi di rumah Adryan dan itu berarti sudah satu bulan lamanya Arka tak bisa berjalan.Bagi orang lain mungkin waktu sebulan adalah waktu sebentar, tapi bagi Arka waktu tersebut adalah waktu yang lama n
***"Aku ke dapur dulu ya ambil minum, Bi Minah kayanya di kamar."Setelah mempersilakan tamunya masuk, Aludra berpamitan ke dapur—mengambil minum juga kudapan untuk tamu yang sore ini sengaja datang setelah hampir dua minggu lebih tak pernah main.Damar Agra. Tentu saja pria yang sore ini datang ke rumah Aludra adalah Damar—si pria berjasa yang berhasil membuat Raina berhenti mengganggu Aludra sehingga kehidupan Aludra maupun Arka sebulan terakhir ini bisa dibilang cukup aman dan damai."Jangan lama-lama," kata Arka memperingatkan."Iya, Mas."Aludra pergi, Damar dan Arka sempat dilanda kecanggungan untuk beberapa detik, karena memang sejak kejadian itu—ketika Aludra dan Damar makan siang diam-diam tanpa seizinnya, Arka masih kesal pada sahabat Aludra itu."Gimana sekarang, udah membaik?" Tak suka dengan suasana canggung, Damar buka suara—mengawali pembicaraan dengan Arka yang tetap duduk di kursi rodanya."Seperti yang kamu lihat," kata Arka. "Sampai sekarang saya masih duduk di kur
***"Ya udah kalau gitu aku pulang dulu ya, udah malam. Enggak enak."Satu jam mengobrol di ruang tamu, Damar akhirnya beranjak lalu berpamitan untuk pulang karena dia harus segera beristirahat sebelum besok pulang ke Jakarta."Buru-buru banget," kata Aludra."Udah malam, Lu. Kamu sama Arka kan harus istirahat," kata Damar."Benar," ujar Arka. "Habis ini aku emang mau istirahat. Capek.""Ya udah kalau gitu aku pamit ya," kata Damar. Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun, ketika tangannya hampir saja meraih handle, Aludra memanggilnya—membuat dia menoleh."Dam.""Ya, Lu?""Mas." Aludra melirik Arka. "Aku boleh antar Damar sampai ke mobil enggak?""Kenapa?" tanya Arka."Pengen aja, boleh enggak?" tanya Aludra.Untuk beberapa detik, Arka memandang Aludra lalu akhirnya mengangguk—mengizinkan perempuan itu mengantar Damar ke atas."Ya udah boleh," kata Arka."Makasih, Mas," ucap Aludra yang terlihat cukup senang karena diberikan izin. "Kamu tunggu di sini, ya?""Iya, jangan
***"Rara ayo buruan, Ra! Belnya mau bunyi!""Ra jangan mager dong! Aku gendong ya!""Damar gendong aku dong!""Mageran banget kamu, Ra. Untung cantik.""Aku lebih suka kamu daripada Alula, Ra."Aludra yang sedang melangkahkan kaki menuruni tangga menuju rumahnya kembali berhenti lalu terduduk di tangga ketika bayangan masa kecilnya dan Damar kembali melintas di pikirannya.Setelah perpisahan mereka barusan, entah kenapa Aludra tiba-tiba saja merasa bersalah karena sudah menolak cinta Damar. Selama ini Damar selalu ada untuk Aludra, bahkan Damar juga yang selalu sabar dengan segala sikap absurd Aludra yang pemalas.Namun, malam ini Aludra justru merasa jika dirinya sudah menyakiti hati Damar yang nyatanya banyak berjasa dalam hidup Aludra—termasuk menyingkirkan Raina yang sudah satu bulan ini tak mengganggunya."Rara." Aludra mengusap wajahnya kasar lalu memegangi kepalanya yang tiba-tiba saja pusing. "Kok kamu jahat sama Damar, Ra? Selama ini dia baik lho sama kamu.""Non Lula lagi a