***"Mas Arka udah belum? Pegel nih."Sekali lagi, Aludra kembali mengeluh setelah hampir setengah jam dia memijat punggung Arka yang kini terlihat nyaman tertidur dengan posisi telungkup."Sebentar lagi, Lu. Masih enak," jawab Arka dengan mata yang terpejam juga suara yang parau.Mungkin Aludra pikir Arka adalah pria yang sepenuhnya baik. Namun, nyatanya Aludra salah. Meskipun baik, Arka juga punya sisi jahil yang jarang sekali dia tunjukkan karena hanya kedua orang tua juga Aksa—sang kakak saja yang tahu.Dan malam ini, setelah berhari-hari Aludra yang terus mengerjainya, Arka balas dendam. Dia mengerjai Aludra dengan memintanya terus memijat punggung dirinya yang memang terasa sangat pegal setelah siang tadi membawa banyak belanjaan yang dibeli Aludra.Biarlah. Sekali-kali, Aludra harus berolahraga dengan memijatnya."Tangan aku pegal, Mas Arka," keluh Aludra tanpa menghentikan kegiatannya memijat punggung kokoh nan putih milik Arka yang tak terbalut apapun."Pake kaki kalau tangan
***"Supirnya nunggu di mana?"Aludra yang berjalan lebih dulu sambil menggerek kopernya lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang mengikutinya sambil menggerek koper juga menenteng tas berukuran besar berisi oleh-oleh.Terbang dari Seoul pukul enam pagi, pesawat yang ditumpangi Arka dan Aludra mendarat dengan sempurna di bandara pukul satu siang. Dari Bandara—setelah menghubungi orang rumah lebih dulu, rencanya mereka akan mampir untuk makan siang bersama Dewa dan Aurora sebelum pulang ke Bandung nanti sore."Di parkiran," jawab Aludra."Udah ke sini, tapi?""Udah," jawab Aludra."Oke."Kembali melanjutkan langkah mereka, Aludra dan Arka akhirnya sampai di parkiran dan di sana, Pak Walim—supir keluarga besar Pratama sudah menunggu di samping mobil fortunernya."Pak.""Eh, Non Lulu," sapa Pak Walim. "Sampai juga Non.""Iya Pak," jawab Aludra dengan senyuman ramahnya. Satu lagi perbedaan Aludra dan Alula adalah dari segi sikap mereka pada pegawai di rumah. Jika Aludra
***"Hati-hati di jalannya, kenapa enggak nginep aja sih semalam?"Sekali lagi, permintaan menginap itu dilontarkan Aurora ketika Aludra dan Arka berpamitan untuk pulang ke Bandung, karena memang rasanya dia masih merindukan putrinya itu.Sejak kecil merawat si kembar hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik membuat Aurora begitu sulit melepaskan mereka untuk tinggal jauh darinya. Rasanya seperti ada yang hilang, tapi mau bagaimana lagi? Mereka sudah dewasa dan punya pilihan masing-masing dan sebagai ibu, Aurora hanya bisa mendukung pilihan kedua putrinya."Besok Mas Arka harus kerja lagi, karena liburnya udah kebanyakan," jawab Aludra yang langsung melirik Arka untuk meminta persetujuan. "Iya kan, Mas?""Iya Ma," jawab Arka. "Besok Arka kerja lagi.""Dasar menantu rajin," ujar Dewa. "Enggak salah emang Papa pilih kamu buat jadi suami Alula. Kalian sama-sama rajin."Arka tersenyum, sementara hatinya protes tak terima dengan kata 'rajin' yang dilontarkan Dewa, karena setelah seminggu me
"Welcome home ka-""Sssst."Amanda yang kebagian membuka pintu, langsung menutup mulutnya rapat-rapat ketika Arka langsung mendesis agar sang mama menghentikan sambutannya, karena di pangkuan, dia membawa Aludra yang masih tertidur lelap.Tiga jam perjalanan Jakarta-Bandung, Fortuner hitam yang dikendarai Pak Walim sampai di Bandung—tepatnya di Dago Village, salah satu perumahan ellite di kawasan Bandung yang sekarang menjadi tempat tinggal Arka dan Aludra.Membeli rumah di kawasan yang sama dengan Aksa—sang kakak, Arka rela merogoh kocek dalam-dalam dan mengeluarkan tabungannya untuk membeli rumah impian yang sudah sejak lama dia idam-idamkan untuk ditinggali bersama keluarga kecilnya nanti.Rumah dengan panorama pemandangan kota Bandung langsung itu memang cukup membuat para penghuninya nyaman. Beruntung, dengan bantuan sang kakak, Arka bisa mendapatkan salah satu unit rumah di sana karena memang jumlah rumah yang tersedia tidak banyak."Kenapa?" tanya Amanda—setengah berbisik. Tah
***Makan malam pertama bersama keluarga Arka.Selesai mengganti baju dan merapikan penampilan, Aludra dan Arka turun bersama untuk menghampiri Amanda dan yang lainnya di meja makan.Jika tadi ada Ananta—kakak ipar Arka, maka sekarang di meja makan hanya ada Dirga, Amanda, juga Aksa yang sudah menunggu."Lho, Ma. Ananta mana?" tanya Arka saat dia menuntun Aludra menuju meja makan panjang berukuran cukup besar di sana."Ngapain nanyain istri orang?" Bukan berasal dari Amanda maupun Dirga, pertanyaan itu jelas dilontarkan Aksa—sang kakak yang memang terbilang cukup possesive juga cemburuan.Jangankan orang lain, pada Arka saja dia terkadang merasa cemburu karena cinta monyet yang pernah terjalin diantara istrinya dan sang adik."Nanya doang, Kak," ucap Arka. "Sensi amat.""Tenang Aksa, Arka sekarang udah nikah," ucap Amanda sambil terkekeh. "Udah ada pawangnya. Jadi aman.""Iya, lagian pawangnya Arka juga enggak kalah cantik," ucap Dirga menimpali. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian
***"Haus, pengen minum."Aludra membuka matanya perlahan lalu bergumam pelan ketika rasa kering di tenggorokan mengganggu tidurnya. Tidur dengan posisi menyamping, menghadap ke arah meja, dia mengulurkan tangan untuk mencari keberadaan segelas air.Namun, kedua alisnya lantas berkerut ketika Aludra merasa sesuatu melilit di perutnya. Masih berbaring dengan posisi yang miring, Aludra menunduk—memandang perutnya dan jelas saja dia membulatkan mata ketika melihat tangan Arka ada di sana.Arka memeluknya dan kini Aludra pun sadar jika pria itu menempel di punggungnya."Sejak kapan Mas Arka peluk aku?" gumam Aludra.Tadi, setelah bercanda beberapa menit, tepatnya pukul sepuluh malam, Aludra dan Arka pergi tidur. Tak mengambil posisi yang mesra, keduanya tidur seperti biasa di bagian ujung kasur dan saling membelakangi, hingga kini tepat dini hari, ketika terbangun, tangan Arka sudah ada di perut Aludra.Entah melakukannya dengan sadar atau tidak, Aludra tak tahu, karena yang terpenting se
***"Masih tidur juga."Arka yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah hampir lima belas menit membersihkan badan, hanya bisa mengukir senyuman tipis ketika melihat Aludra masih meringkuk di balik selimut, padahal jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, bahkan sinar matahari yang menyelinap lewat jendela yang gordennya sudah dibuka pun sudah nampak.Alih-alih membangunkan sang istri untuk melayani paginya, Arka justru memilih untuk membiarkan Aludra lelap dalam tidurnya karena dia tahu perempuan itu pasti lelah.Bukan laki-laki yang gila dilayani, mandirinya seorang Arkananta membuat dia menyiapkan sendiri pakaian ke kantornya hari ini karena nanti pukul tujuh, Arka harus kembali ke kantor untuk bekerja di perusahaan sang papa sebagai manajer."Dulu aku pernah punya mimpi, setiap pagi sebelum ke kantor, istri aku dengan telaten masangin dasi sambil senyum," oceh Arka ketika kini dia memasangkan dasinya di depan cermin besar yang berada di kamar. Setelah itu d
***Hal yang paling ditakuti seorang perempuan saat tinggal bersama mertua adalah bangun terlambat ketika suaminya tak ada, karena semua itu akan menjadi momen yang paling awkward. Dan sialnya, pagi ini semua itu terjadi pada Aludra. Setelah Arka berangkat kerja pukul tujuh pagi, Aludra baru sadar dari tidur panjangnya pukul sembilan—tepat ketika matahari pagi mulai naik bahkan menerobos masuk ke dalam kamar."Mas Arka," gumam Aludra parau ketika dia yang sejak tadi tidur telungkup membuka matanya. Melirik ke sisi kiri, Aludra meraba kasur dengan tangan kiri untuk mencari keberadaan Arka. Namun, nyatanya orang yang dia cari tak ada.Arka tak ada di kasur dan tentu saja Aludra yang semula malas-malasan membuka mata, langsung beringsut untuk mengubah posisinya menjadi duduk.Dengan wajah bantal juga rambut coklatnya yang berantakan, Aludra menguap sambil mengerjapkan mata beberapa kali. "Mas Arka ke mana ya," gumamnya. "Ini juga jam berapa ya? Kaya udah siang."Turun dari kasur lalu me