***"Yes, telur baladonya jadi!"Satu jam bergelut di dapur, Aludra berseru bahagia memandangi meja makan yang kini sudah diisi berbagai menu makanan. Dua hari tanpa Rania, Aludra mulai belajar mandiri. Tak hanya diucapan, Aludra benar-benar merealisasikan niatnya untuk menjadi istri yang lebih baik lagi. Bangun pagi untuk membereskan rumah dan mencuci pakaian. Siang hari mengisi waktu dengan menyetrika baju Arka dan sekarang—sore hari, Aludra memasakan makanan untuk Arka nanti pulang kerja."Aludra, pinter banget kamu," puji Aludra pada dirinya sendiri. Lagi, berbekal resep di google dia berhasil membuat beberapa menu masakan. Tak hanya telur balado, dia membuat menu lain untuk Arka.Puas memandangi masakkannya, Aludra berjalan menuju rice cooker dan lagi, dia mengukir senyuman melihat nasi yang dia buat sudah matang."Perfect!" kata Aludra. "Setelah ini tinggal mandi terus dandan cantik dan tunggu Mas Arka pulang, yuhu!"Berjalan kembali menuju meja makan, Aludra menutup semua maka
***"Ya udah kalau gitu aku pulang duluan ya, Sayang. Aku tunggu di apartemen. Awas nanti kalau selesai kelas langsung pulang. Jangan ke mana-mana dulu.""Iya, Sayangku. Nanti aku langsung pulang."Alula mengukir senyum lalu berjinjit untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipi Marvel. Pukul empat sore, kelasnya selesai. Namun, kali ini dia tak bisa pulang bersama Marvel karena pria itu harus mengambil kelas terakhir sampai nanti jam enam sore.Marvel dan Alula memang kuliah di universitas yang sama, tapi tentunya mereka mengambil jurusan yang berbeda. Alula mengambil design, sementara Marvel mengambil jurusan bisnis karena nantinya dia akan memegang perusahaan sang papa."Aku pulang ya," kata Alula setelah dia kembali seperti semula.Marvel tersenyum lalu mengusap puncak kepala Alula dengan lembut. "Iya Alula, Sayang. Hati-hati di jalan ya," ucapnya."Siap."Di depan kampus, Alula dan Marvel berpisah. Alula berjalan menuju halte, sementara Marvel kembali ke kelas untuk mengikuti pelajar
***"Kamu salah orang, Damar.""Maksud kamu?"Damar tentu saja tak mengerti apa yang diucapkan Alula. Salah orang? Salah orang, apanya? Jelas-jelas di depan dia sekarang adalah Aludra, bukan orang lain. Bagaimana bisa dia salah orang?"Aku pengen ngomong ini ke kamu supaya enggak salah paham, tapi kamu bisa jaga rahasia enggak?" Alula menurunkan kedua kakinya lalu memandang Damar yang masih nampak kebingungan."Jaga rahasia apa?" tanya Damar. "Kamu ngomong apa sih, Ra? Aku enggak ngerti.""Kamu bisa jaga enggak?" tanya Alula. Sebelum melanjutkan ucapannya, dia meneguk jus jeruk di meja lalu kembali memandang Damar. "Kalau bisa, baru aku bilang. Ini rahasia penting banget soalnya.""Oke, aku bisa jaga," kata Damar tanpa pikir panjang, sementara jantungnya mulai berpacu—harap-harap cemas menunggu ucapan Alula. "Rahasia apa?"Alula mengulurkan kelingkingnya. "Janji dulu," ucapnya. "Kalau rahasia ini bocor, orang yang pertama aku salahin itu kamu."Damar mendesah lalu menyambut kelingking
***[Damar : Sibuk enggak? Pengen ketemu, tapi jangan di rumah. Bisa?]Aludra yang sejak tadi duduk di pinggir kolam hanya mengerutkan keningnya ketika pesan tersebut tiba-tiba saja dikirimkan Damar padanya.Setelah berhari-hari sibuk, dua hari ini Aludra memang bisa bersantai karena sekarang— di rumahnya sudah ada asisten rumah tangga baru. Bi Minah. Bukan dari yayasan, asisten rumah tangga tersebut diambil langsung dari rumah Amanda yang memang mempunyai dua asisten rumah tangga.Selain terpercaya, Bi Minah juga sudah berusia di atas empat puluh tahun dan tentunya sudah menikah dan punya anak. Jadi sangat tidak mungkin kejadian seperti Rania terjadi lagi.Selain asisten rumah tangga, Arka juga mempekerjakan supir di rumahnya untuk mengantar Aludra kemanapun dia ingin pergi. Meskipun, Arka lebih suka sang istri pergi dengannya, tetap saja dia tak bisa berada terus di samping Aludra setiap saat karena sibuk bekerja.Arka tak mau Aludra terkekang. Selagi meminta izin dulu padanya, Arka
***"Ish."Arka yang sejak tadi mempelajari laporan justru mendesis ketika bayangan Aludra makan siang bersama Damar tiba-tiba saja melintas di pikirannya. Meskipun tak berdua, tetap saja Arka merasa gelisah, tak tahu kenapa."Kenapa, Pak? Apa laporan saya ada yang salah?" Maya yang duduk di depan Arka—menunggu laporannya diperiksa terlihat takut setelah tak sengaja mendengar Arka mendesis."Enggak," jawab Arka. "Kamu tunggu dulu sebentar, ini saya enggak konsen periksa laporannya.""Oh ya, silakan, Pak," kata Maya. Tak mau banyak bicara, dia yang duduk di depan Arka akhirnya memilih diam, sementara Arka mulai membuka kembali berkas bermap kuning yang dia bawa."Oke, udah bagus," kata Arka setelah dia akhirnya selesai membaca juga merevisi laporan tersebut. Meskipun, terkenal baik juga ramah, Arka adalah orang yang perfeksionis. Semua pekerjaan harus bagus termasuk laporan. "Cuman buat aja yang baru. Maksud saya salin laporannya, karena tadi ada kalimat yang saya garis bawahi. Ganti a
***"Kok mau-maunya digituin Alula sih, Ra? Gak capek berkorban terus buat dia?"Bukannya tersinggung atau tak suka dengan ucapan Damar, Aludra hanya tersenyum karena dia rasa Damar sudah cukup tahu dengan jawabab apa yang akan dia lontarkan.Pasalnya, ini bukan sekali Aludra berkorban untuk Alula karena satu alasan yang sama. Balas budi."Malah senyum," celetuk Damar. "Aku nanya lho ini, Ra. Jawab dong.""Panggil aku Alula, baru aku jawab pertanyaan kamu," perintah Aludra sambil melirik Aileen yang masih fokus dengan ponselnya.Terlalu sering Damar memanggilnya dengan sebutan 'Ra', Aludra takut Aileen akan merasa curiga, karena meskipun fokus pada benda pipih di tangannya, Aludra yakin gadis itu sesekali mendengar ucapan dia dan Damar."Ra apaan sih, orang kamu Alud-"Ucapan Damar berhenti paksa ketika dengan sigap, Aludra membekap mulutnya sambil beranjak dari kursi yang dia duduki. "Alula, Damar," kata Aludra menegaskan. "Kamu enggak panggil aku Alula, aku pulang. Makan siang kita
***"Jam dua belas."Menghentikan kegiatan kerjanya, Arka melirik arloji yang dia pakai. Sudah pukul dua belas, itu tandanya waktu jam makan siang sudah selesai. Menutup laptop lalu membereskan beberapa berkas penting di meja, Arka tak langsung beranjak. Dia memilih untuk mengambil ponsel di laci lalu bersandar pada kursi kerjanya.Mengecek pesan, Arka mengerutkan kening ketika tak ada satu pun pesan yang dikirimkan Aludra padanya."Lulu udah selesai belum ya makan siangnya," gumam Arka.Penasaran, dia akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Aludra untuk bertanya selesai atau belum makan siang dia dan Damar, atau mungkin Aludra bahkan sudah pulang.[Arka : Lu, makan siangnya udah selesai? Udah pulang? Kenapa enggak telepon atau chat?]Tak terlalu panjang, Arka langsung mengirim pesan tersebut pada Aludra dan tentu saja dia menunggu balasan dari sang istri. Namun, hingga lima menit berlalu balasan tersebut tak kunjung datang—membuat Arka akhirnya beranjak lalu memasukkan ponseln
***"Sampai."Menempuh perjalanan hampir dua puluh menit, mercedes benz yang ditumpangi Aludra, Aileen, juga dua orang pria tak dikenal itu akhirnya berhenti di sebuah tempat yang sepi.Bukan rumah kosong atau semacamnya, kedua pria berpakaian hitam itu membawa Aludra juga Aileen ke sebuagmh hutan yang cukup sepi. Namun, tentu saja sampai detik ini Aludra tak bisa tahu di mana dia berada karena sejak tadi pria yang menahannya itu sudah menutup kepalanya dengan kain berwarna hitam.Tak hanya kepala yang ditutup, kedua tangan Aludra pun juga diikat ke belakang layaknya sandera. Seolah kurang—agar Aludra tak berteriak, bibirnya ditutup paksa dengan lakban hitam.Aileen? Selalu tenang ketika tidur, gadis cantik itu sama sekali terganggu dengan apa yang terjadi pada tantenya karena sejak tadi dia tetap tidur."Bawa turun aja langsung apa gimana?" Pria berbaju hitam dengan rambut plontos itu kini bertanya pada temannya yang mengemudi."Kabarin dulu Ibu bos," jawab temannya itu.Ibu bos? Hat