***"Ra, minum dulu."Aludra yang sejak tadi duduk sambil menundukkan kepalanya seketika mendongak ketika Damar menyodorkan sebotol air mineral.Dua jam sudah berlalu semenjak dokter berkata akan memulai operas, pintu ruangan di depan Aludra itu tak kunjung terbuka—membuat rasa gelisah semakin menjalar di seluruh tubuh Aludra.Menunggu bersama Damar, raut khawatir tak kunjung menghilang dari wajah Aludra. Tentu saja. Mana bisa dia tenang ketika di dalam sana Arka harus berjuang hidup setelah menyelamatkan dirinya."Dam, Mas Arka pasti baik-baik aja, kan?"Aludra mendongak. Alih-alih mengambil minuman yang diberikan Damar, dia justru melayangkan pertanyaan tersebut pada sahabatnya itu."Pasti, Ra. Arka pasti baik-baik aja," kata Damar. "Pelurunya sekarang lagi dikeluarin dan nanti setelah operasi selesai, dia pasti langsung bangun."Aludra mendesah sementara kedua tangannya yang bahkan masih dipenuhi bercak darah mengusap kasar wajahnya yang sembab karena menangis sejak tadi.Namun, s
***Pagi ini, di bawah langit Bandung yang mendung. Seorang perempuan terlihat menangis di dekat gundukkan tanah merah bertabur bunga yang masih baru bahkan basah.Menutupi kepalanya dengan selendang hitam juga kacamata berwarna senada, perempuan tersebut tak kuasa menahan air matanya untuk tak jatuh melihat orang yang paling berarti dalam hidupnya pergi menghadap Tuhan untuk selama-lamanya.Sejak sepuluh menit yang lalu bahkan tangannya tak berhenti mengusap nisan bertuliskan nama orang yang paling dia sayang. Tak percaya. Begitulah yang dirasakannya sekarang.Waktu berlalu begitu cepat. Padahal, baru kemarin rasanya dia menelepon orang yang kini berbaring di bawah gundukkan tanah tersebut.Hancur? Tentu saja. Perempuan itu bahkan merasa jika hidup terlalu kejam untuknya. Setelah kedua orang tua juga kakak laki-lakinya, sekarang dia harus kehilangan kakak perempuannya yang meninggal karena sebuah kecelakaan tragis kemarin siang.Raina. Perempuan itu tentu saja Raina. Terbang langsung
***"Enggak usah lari-lari, jalannya biasa aja. Kata Arka kamu ceroboh."Aludra yang baru saja melepas safetybelt lantas menoleh ketika peringatan tersebut diucapkan Aksa sesaat sebelum dirinya turun dari mobil.Pemakaman tak jauh dari rumah sakit, Aludra dan Aksa hanya perlu menempuh perjalanan lima belas menit saja sebelum akhirnya sampai di rumah sakit.Antusias. Aludra melangkah turun dari mobil lalu membiarkan Aksa memarkirkan mobilnya ke basemant sendiri.Melangkahkan kaki dengan sangat cepat, Aludra bergegas menuju lift. Mendengar Arka sadar tentunya angin segar bagi Aludra yang sempat merasa frustasi ketika semalaman penuh suaminya itu tak kunjung bangun."Mas Arka," gumam Aludra ketika pintu lift terbuka di lantai dua. Menarik napas pelan, dia akhirnya melangkahkan kaki menyusuri koridor menuju ruangan rawat Arka yang sedikit berada di ujung.Masih dengan senyumannya, Aludra menarik handle lalu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Namun, senyuman yang sejak tadi terukir itu
***"Perempuan sialan!"Sudah hampir setengah jam lebih—semenjak pulang dari pemakaman sang kakak, Raina mengamuk di apartemen. Guci, pajangan, bahkan semua benda yang ada di meja kini hancur berantakan setelah disapu oleh kedua tangannya.Raina marah. Tentu saja. Seolah tak cukup kehilangan kedua orang tuanya dulu lalu kehilangan Reyhan si kakak sulung, Raina kembali harus kehilangan kakak keduanya.Shit! Demi apapun Raina tak rela. Semuanya tak bisa dibiarkan dan dia pun tak akan tinggal diam setelah semua yang terjadi pada kedua kakaknya.Bukannya berusaha menerima kepergian sang kakak dengan ikhlas, dendam Rania pada Alula justru semakin menggebu. Bagaimanapun caranya, dia harus balas dendam untuk kematian kedua kakaknya.Ya, Raina tak akan bisa hidup tenang sebelum dendamnya terbalaskan. Nyawa dibalas nyawa, Raina harus menghabisi perempuan yang sudah menghilangkan nyawa dua kakaknya."Alula sialan, aku akan menghabisimu dengan tanganku sendiri, jalang!"Lelah mengamuk, Raina men
***"Gimana udah enakkan?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Aludra ketika Arka mencoba untuk buang air kecil setelah kateternya dibenarkan oleh perawat belasan menit yang lalu."Lumayan," kata Arka."Syukurlah," jawab Aludra. "Kamu enggak marah, kan?" tanya Arka.Aludra mengerutkan keningnya. "Marah kenapa?" tanyanya."Marah karena yang benerinnya perempuan," ungkap Arka. "Sebenarnya kalau kamu ngerasa enggak suka, bisa nungu besok aja Lu. Aku juga enggak enak soalnya sama kamu.""Nunggu besok dan semalaman kamu nahan pipis gitu?" tanya Aludra. "Tau enggak nahan pipis itu bahaya? Bisa kena infeksi saluran kemih kamu nanti. Cukup sekali aja aku buat kamu menderita, Mas. Jangan ada yang kedua apalagi ketiga.""Aku enggak menderita, Lu." Arka memandang Aludra yang duduk di sisi kirinya lalu memegang tangan perempuan itu. "Aku emang sempat down waktu sadar kaki aku enggak bisa digerakkin, tapi setelah tahu kamu mau nerima aku apa adanya, down itu hilang seketika.""Yang terpentin
***"Udah tenang, sekarang?"Aludra mendongak—menatap wajah Arka yang sedikit berada di atasnya. Setelah berhasil menetralisirkan rasa panik yang melanda, dia akhirnya kembali berbaring bersama Arka dan tentunya di dalam pelukan pria itu."Udah," jawabnya. "Tapi masih deg-degan dikit. Takut juga.""Enggak usah takut, ada aku," kata Arka. "Meskipun aku enggak bisa jalan, kalau ada apa-apa aku pasti lindungin kamu."Untuk beberapa detik, Aludra memandang Arka tanpa berkedip sedikit pun. Meskipun, kondisinya sudah lebih baik daripada kemarin, pria itu masih terlihat sedikit pucat."Makasih ya, Mas. Maaf juga selama jadi istri kamu, aku selalu ngerepoti," ungkap Aludra."Enggak usah ngomong gitu," ujar Arka sambil mengusap pucuk kepala Aludra dengan tangan kanannya yang dibalut infus. Setelah itu dia melirik jam dinding yang ternyata baru menunjukkan pukul sembilan lebih. "Sekarang tidur lagi. Pelukannya jangan dilepas kaya tadi supaya enggak mimpi buruk.""Iya, Mas."Aludra memajukkan po
***"Kamu udah bangun, Mas?"Arka yang semula fokus menonton televisi langsung mengalihkan perhatian ketika Aludra datang membawa baskom alumunium berukuran sedang."Kamu darimana, Lu? Aku nyariin kamu daritadi," tanya Arka. "Takut kamu kenapa-kenapa."Arka memang bangun telat pagi ini. Entah mungkin efek obat bius atau obat yang lain, dia baru terbangun pukul tujuh pagi, sementara Aludra sudah sadar sejak pukul setengah enam pagi tadi dan tentunya setelah itu dia langsung bergegas mengambil air panas untuk Arka."Aku dari bawah, Mas. Ambil air panas," kata Aludra sambil melangkahkan kakinya mendekati ranjang lalu menyimpan baskom yang dia bawa di bawah."Itu panas?" tanya Arka. "Kenapa kamu yang bawa, Lu? Harusnya kamu minta tolong orang lain aja buat bawa. Mana sini lihat tangannya, merah enggak?""Enggak Mas-""Lihat dulu sini tangannya." Arka yang masih berbaring lantas mengulurkan tangannya—meminta Aludra menunjukkan telapak tangan dan embusan napas lega terdengar ketika dia tak
***"Tidur yang nyenyak ya, Mas."Berdiri di samping Arka, Aludra mengulurkan tangan lalu mengusap rambut Arka ke belakang. Tak jadi pulang tadi pagi, Aludra baru bisa pulang pukul sebelas siang setelah Arka menyantap makan siang juga obatnya."Aku bangun, kamu harus udah di sini," ucap Arka dengan tatapan yang sayu, karena memang efek ngantuk yang terkandung dalam obat sepertinya sudah mulai bekerja.Berbaring di kasurnya, kedua mata Arka kini sudah terasa sangat berat."Iya, aku cuman ganti baju aja kok," kata Aludra. Dia kemudian mendekatkan wajahnya lalu tanpa ragu mendaratkan sebuah kecupan di kening Arka. "Pergi dulu ya.""Hati-hati, sayang. Jangan jauh-jauh dari Pak Maman," kata Arka memperingatkan."Iya, Mas," jawab Aludra. "Tidur gih.""Hm."Perlahan, kedua mata Arka mulai terpejam dan dalam hitungan detik saja dia terlelap.Membalikkan badan, Aludra langsung berpamitan pada Amanda dan Dirga yang kini berjaga, sementara Dewa dan Aurora terpaksa berpamitan pulang ke Jakarta ka