Aku duduk di teras balkon utama untuk menikmati mentari pagi. Udara lembut menyapa, meniupkan sejuta ketenangan dalam benakku. Aroma pepohonan dan juga air laut membangkitkan imajinasiku akan dunia yang terbentang luas tak terbatas. Namun pikiranku terusik lebih cepat, bayangan kemarin malam masih menjelma layaknya bingkai baru yang sulit kuhempas. Untuk ketiga kalinya aku bangun tanpa busana. Pergelanganku masih sedikit nyeri akibat terikat. Malam itu, Azura benar-benar menyiksaku seperti orang gila. Ia melampiaskan hasratnya penuh emosi, membuat tubuhku ambruk seharian. Bukan hanya itu, sudah hampir dua hari ini surat yang kukirim ke Axylon belum dibalas sama sekali. Apa Ayah menyebalkan itu benar-benar sudah melupakanku? Ya, aku sadar kalau aku sempat membuat masalah sebelum pergi, tapi setidaknya—tolong balas suratku agar aku bisa tenang. "Yang Mulia, sarapan sudah siap," ujar Loretta mengakhiri ritual pagiku. Loretta membereskan peralatanku sementara aku menuruni tangga men
Aku menyeruput teh sambil duduk meringkuk berselimut. Tubuhku masih menggigil ketakutan akibat serangan sihir yang tadi pagi kualami. Hal itu membuatku trauma dengan buku-buku sihir yang sengaja kusembunyikan.Kuraih kotak perhiasan Amethyst yang tak jauh dariku, kemudian membukanya. Dia bilang jiwanya berpindah ke salah satu perhiasan ini, tapi—yang mana?Tak lama, salah satu di antaranya bersinar seolah-olah ia menunjukkan posisinya. Kuraih cincin Amethyst yang terselip di sudut kotak lalu memakainya. Pendaran pada batu Amethyst nya mulai meredup perlahan dan tenang."Istirahatlah. Maaf sudah merepotkanmu," bisikku pada penunggu cincin di jemariku."Yang Mulia, anda baik-baik saja?" Loretta membawakan sepiring kue kering yang tampak hambar di mataku, meskipun aku tahu kue itu rasanya enak."Aku hanya ingin istirahat," sahutku. "Kau juga sebaiknya istirahat."Ia hanya mengangguk lesu, kemudian meninggalkanku di kamar sendirian. Aku menghela napas dan mencoba untuk terbaring dengan te
Sudah dua hari aku berada di ruangan terkunci dan hari ini adalah hari di mana Azura akan dieksekusi. Aku berjalan mondar-mandir sambil memikirkan segala cara agar bisa keluar dari tempat ini. Mungkin—aku harus memakai trik murahan dan melumpuhkan pengawal yang menjaga ruanganku. Aku menjerit pura-pura kesakitan dan tersiksa. Benar saja, mereka datang dan menanyakan keadaanku. "Tolong pinggangku sakit sekali," ujarku sambil meringis. "Sepertinya luka memarku kembali kambuh." "Tunggulah sebentar, Yang Mulia. Kami akan memanggil tabib." Aku segera bergerak dan meniup bubuk wajah ke mata mereka, kemudian berlari keluar lalu menutup pintu dan mengunci mereka dari luar. Kuturuni tanggga spiral yang begitu tinggi bahkan aku hampir jatuh berguling karena salah injak. Aku berlari sekuat tenaga menuju tempat eksekusi. Di belakangku sudah banyak pengawal yang mengejar dan hendak menangkapku. Aku terkepung ketika sebagian ada yang mengadangku dari depan. Tak pikir panjang, aku langsung me
"Yang Mulia, apa-apaan ini?" Suara Azura terdengar menggema di singgasana dengan nada marah yang santun. "Bukankah seharusnya anda sudah tahu kalau yang menyerang Yang Mulia Zealda bukan suruhan Ayahku? Kenapa anda melakukan hal ini?"Aku yang sedari tadi berjalan di lorong, kini mempercepat langkahku dan setengah berlari ketika mendengar keributan tersebut."Tunggu! Aku sama sekali tak mengirim seseorang untuk menyerang Raja Raddith. Kami masih dalam masa berduka, mana mungkin aku mengirim seseorang untuk melakukan kejahatan seperti itu?" sahut Ibu tegas."Apa yang terjadi?" tanyaku pada Loretta yang sedari tadi sudah menyaksikan keributan di singgasana."Berita duka dari Vainea." Loretta menyodorkan sebuah perkamen hitam padaku. "Yang Mulia Raja dan Ratu diserang. Saat ini mereka dalam kondisi kritis.""Tapi pihak Vainea menemukan atribut Axylon yang tertinggal di lokasi kejadian." Azura masih bersuara."Lalu bagaimana dengan atribut Vainea yang juga melekat di tubuh para pelaku yan
Semenjak naik tahta, aku dan Azura justru semakin jarang bertemu. Dia terlalu sibuk dengan urusannya, begitu pun denganku yang juga disibukkan oleh lembaran-lembaran perkamen di meja. Pikiranku masih melayang pada penyihir itu dan juga sekelompok orang-orang yang menyerang orang tua kami. Malam semakin larut, sementara aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku yang masih banyak membutuhkan bimbingan. Menjadi seorang Ratu ternyata tidak seenak kelihatannya, meskipun sering dimanjakan dengan kemewahan. Sangat sepadan dengan beratnya tanggung jawab yang harus diemban. Perkamenku yang berserakan di meja kini beterbangan ketika jendela ruang kerjaku terbuka dan—kulihat sosok Pangeran Erick sudah berdiri di sana. Tubuhku mematung dengan jantung berdegup kencang. "Apa lagi ini? Apa dia selalu datang hanya untuk membawa kabar buruk?" umpatku dalam hati. "Liz dan ke dua Putri itu dalam bahaya," ujarnya dengan wajah serius. "Dua Putri? Maksudmu?" "Putri Erina dan Helena dibawa kabur peny
"Yang Mulia, sudah hampir seminggu anda belum memberi keputusan." Tuan Shaquille menatapku serius dalam pertemuan kali ini. "Nasib Axylon benar-benar di tangan anda."Aku menghela napas resah, sampai sekarang Azura belum membalas suratku mengenai hal ini. Apa dia sangat sibuk sampai mengabaikannya?"Maaf, Tuan. Saya masih menunggu ijin dari Yang Mulia Raja di Vainea.""Tapi sampai kapan, Yang Mulia?" desaknya. "Masyarakat sangat menungggu kepastian mengenai pengganti Raja mereka. Jika tetap memaksa mengangkat Putri Mahkota sebagai penguasa, akan ada masalah serius di kalangan mereka.""Apa tidak bisa menunggu sebentar lagi?""Yang Mulia, jika anda masih terus menundanya, kami terpaksa akan menobatkan anda tanpa perlu menunggu persetujuan anda lagi. Wasiat terakhir mendiang Yang Mulia Ratu, harus segera dijalankan." Tuan Shaquille terlihat geram dan menahan amarahnya, kemudian pamit undur diri.Aku meremas perkamen yang kugenggam dengan kesal setelah kepergian Tuan Shaquille. Aku tak t
Sehari setelah bertemu Azura, aku mendapat kiriman surat kabar yang sudah kuduga sebelumnya. Serangan di perbatasan waktu itu menjadi topik utama, membuat semua pihak mengira kalau Vainea telah mengkhianati perjanjian damai.Aku hanya menghela napas, berharap Azura tidak bertindak gegabah karena terpancing berita. Kami berjanji untuk bekerjasama dan saling percaya mengenai apa yang akan terjadi kedepannya. Kuharap semua berjalan lancar."Yang Mulia, ada beberapa tamu yang mewakili masyarakat ingin bertemu anda." Tuan Shaquille datang membawa kabar."Di mana mereka?""Ada di ruang tamu istana."Aku bergegas menghampiri mereka didampingi Tuan Shaquille. Ada rasa gugup yang melanda, ini pertama kalinya aku berhadapan dengan masyarakat langsung secara resmi."Hormat kami, Yang Mulia," ujar mereka sambil berdiri dan mengangguk."Silahkan duduk," sahutku kemudian duduk di kursiku. "Ada perlu apa sampai anda sekalian datang kemari?""Yang Mulia, kami ingin menyampaikan kekhawatiran sebagai m
Aku menatap kotak berukuran sedang, berisi stempel-stempel Axylon yang telah dikumpulkan Tuan Shaquille. Tak kusangka kalau benda-benda ini harus segera kusingkirkan, padahal dulu Ayah selalu menggunakannya untuk hal-hal penting. Kini tinggal menentukan desain terbarunya sekaligus tinta khusus untuk menjaga keasliannya. "Yang Mulia, Tuan Emery datang ingin bertemu dengan anda." Loretta datang melapor sembari membawa secangkir teh. "Minta dia masuk ke ruanganku," sahutku sambil menutup kotak di atas mejaku. Loretta membuka pintu dan mempersilahkan sosok paruh baya dengan pakaian khas petinggi kerajaan serta rambut yang ditata dengan rapi. Tubuhnya tegap ketika ia melangkah sambil membawa sebuah perkamen dan kotak kecil. "Hormat saya, Yang Mulia." Ia mengangguk memberi hormat. "Ada keperluan apa yang membuat anda kemari, Tuan?" tanyaku sembari menutup perkamen yang terbuka di mejaku. "Yang Mulia, saya sudah mendapat desain stempelnya." Tuan Emery menyodorkan perkamen di tangannya.