Share

BAB 3

"Ada apa ini?" Dokter itu menatap sambil mengernyit. "Kenapa kalian?" tanyanya lagi sambil menunjuk dua suster yang masih tak bisa berkata-kata.

Ardi menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya kembali. Dia sendiri juga kebingungan. Namun, yang terpenting ibunya selamat.

"Dokter. Ya, kamu dokter yang barusan dihubungi?" tanya Ardi. Dokter itu menganggukkan kepala dan masih tidak mengerti.

"Maafkan saya, Dokter," ucap salah satu suster. "Tadi Dokter datang dan kami melakukan operasi. Tapi, kenapa dokter mengatakan baru datang?"

"Hei, aku memang baru datang. Bagaimana mungkin aku bisa datang setelah kau menghubungiku? Rumahku lumayan jauh. Cepat katakan. Ada apa ini?"

"Ya, seperti yang dia katakan," sela Ardi. Dia mendekati dokter itu yang masih kebingungan. "Anda datang dan melakukan operasi."

Dokter itu terdiam kaku. Dia tidak bisa menerima ini.

"Dokter gadungan sudah menggantikan aku. Dia tak mungkin melarikan diri bukan?" Dokter itu meninggalkan Ardi bersama dua suster yang masih panik. "Cepat periksa cctv. Kenapa kalian ceroboh?!" teriaknya keras sambil berlalu.

Ardi mengusap wajahnya yang berkeringat. "Kenapa rumah sakit terbaik bisa kecolongan?" Perasaannya bercampur aduk. Di operasi dokter gadungan tentu saja membahayakan nyawa ibunya. Namun, jika dokter itu terlambat datang, nyawa ibunya juga terancam. Ardi memilih tidak memperbesar masalah ini. Yang penting nyawa ibunya selamat.

Dia membalikkan tubuhnya dan, "argh! Midas, kau menumpahkan kopi itu." Ardi menepuk-nepuk kemejanya yang kini berwarna hitam. 

"Maafkan. Aku tidak sengaja." Midas segera mengambil tisu di sebelah kursi penunggu kemudian mengusap kemeja Ardi.

"Ke mana saja kau?" Ardi heran melihat Midas yang tiba-tiba datang.

"Aku hanya membeli kopi."

"Membeli kopi saja sangat lama. Sudahlah, aku akan masuk ke dalam kamar dan memeriksa Ibu. Kau pulang dan ambilkan kemeja baru untukku."

Midas menatap Ardi yang segera masuk ke dalam kamar. Midas perlahan menatap Nyonya dari jendela. Dia tersenyum dan sedikit mengingat saat wanita itu menemukannya di jalanan. Tergeletak tak berdaya karena lapar setelah keluar dari penjara.

"Dasar tidak berguna!" Brian menarik Midas dan menamparnya keras.

PLAK!!

"Kenapa kau tidak membangunkanku? Kau sengaja membuatku terlihat bodoh di hadapan ibuku!" Tangannya menarik kerah kemeja Midas dan menatap tajam.

"Ibu harus dibawa segera. Kau mabuk. Bagaimana bisa, seseorang pecandu alkohol mengoperasi pasien?" balas Midas pelan dengan pandangan tajam.

"Oh, jadi kau sekarang berani?!"

"Hentikan!" Ardi menarik kemeja Brian. Dia segera keluar kamar setelah tahu Brian akan menghajar Midas. "Kau seharusnya malu. Sekarang masuk dan periksa Ibu. Biarkan Midas pulang dan mengambil bajuku."

Brian masih saja emosi. Dia sendiri tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu kepada ibunya. Kemarahan itu tentu saja akan dia lampiaskan kepada Midas.

"Ckk. Aku sangat kesal. Brian selalu saja membuatmu seperti itu. Sekarang pulang saja." Ardi menepuk pundak Midas dua kali, lalu pergi.

Midas mulai meninggalkan kamar. Dia menuju taman dan ingin duduk sejenak. Kakinya terus melangkah, menikmati pemandangan semua bunga di sana. Dia masih tak percaya sang ayah bisa membangun rumah sakit itu dengan indah. Lalu, kenapa Clara mengatakan kondisinya tidak baik?

Selama ini Midas tidak mengerti kenapa sang ayah menyembunyikan identitas sebagai pemilik dua rumah sakit terbaik di kota. Selalu menekankan kepadanya untuk diam dan merahasiakan. Semua kekayaan itu, dipercayakan kepada Clara, asisten yang juga diangkatnya menjadi anak. Gadis jenius yang di sekolahkan ayah Midas.

"Aku tahu Anda pasti akan kembali."

Midas langsung menolehkan pandangan ke belakang. "Clara?" Dia berdiri dan menarik wanita itu menuju tempat sepi. Midas mengedarkan pandangan ke semua arah, memastikan tidak ada yang melihatnya.

"Clara. Aku tidak mau identitasku terbongkar. Apa kau mengerti."

"Aku yang menyelamatkan kamu hari ini, Dokter gadungan," ucap Clara dengan serius. "Diam-diam mengambil baju dokter dan menipu semua orang. Untung saja cctv segera aku hapus. Kau berhutang budi kepadaku." 

"Apa maumu?" Midas semakin menatap tajam Clara.

"Periksalah ini." Clara menyodorkan satu amplop cokelat. "Di sana, Dokter akan melihat sesuatu. Mengingatkanmu kepada seseorang."

Midas segera menerima amplop itu dan mengambil isinya. Seketika dia meremas foto itu.

"Aku melihat dia melakukannya. Ya, dia orang yang sudah membuatku menderita!" teriak Midas keras.

"Masuk ke rumah sakit ini dan jadilah dokter hebat. Dokter akan menemukan dia." Perkataan Clara membuat Midas terkejut. "Apa kau tahu, ayahmu memiliki kekayaan lain selain ini? Peninggalan kakekmu. Dokter Midas, kekayaanmu tidak habis tujuh turunan. Kau ... sangat kaya dan itu semua milikmu. Hanya saja ...."

Midas mengernyit. Mendekati Clara dan bertanya, "Kenapa? Hei, lanjutkan Clara."

"Sebuah rahasia yang dipegang ayahmu, hanya kau yang mengetahuinya bukan? Rahasia itu incaran semua orang dan alasan kenapa kau di penjara."

Clara mendekati Midas dan memeluknya erat.

"Aku merindukanmu, Kak. Bagaimana pun kita ini saudara." Clara melepaskan pelukannya. Dia memandang Midas dengan tersenyum. "Kembalilah dua hari lagi. Aku akan mengatur semuanya."

"Siapa kepala direktur rumah sakit ini?" Midas berkacak pinggang melihat Clara tertawa.

"Tentu saja aku. Siapa lagi." Clara semakin mendekati Midas. Menatap sangat serius. "Kepala sebelumnya pengkhianat," lanjutnya lalu menarik napas panjang. Midas segera menjauh. Dia tidak mau tahu apa pun masa lalu rahasia itu. Tuduhan mengerikan itu cukup membuat dia menderita. Kali ini dia ingin hidup tenang.

"Aku tidak akan datang," balas Midas lalu pergi dan berjalan dengan terburu-buru.

"Kau akan datang," gumam Clara lalu menghubungi seseorang. "Lakukan di depan rumah sakit."

**

"Lihatlah. Siapa yang datang?"

Langkah Midas mendadak berhenti. Dia sangat sial bertemu Tomi dan Mita di depan rumah sakit.

"Apa yang dilakukan gembel di sini?" Tomi mendekati Midas dan memukulnya. "Apa kau lupa perkataanku? Jangan pernah muncul di hadapanku."

"Hentikan Tomi," cegah Mita.

"Jadi kau membelanya?" Tomi semakin menghajar Midas.

Mita menahan tangan Tomi yang terus memukul wajah Midas hingga lebam. Apalagi ada satpam yang mendekati mereka.

"Baguslah, kalian datang. Dia penjahat dan usir saja," pinta Tomi sambil meremas jemari kanannya yang terasa nyilu akibat pukulannya.

"Kau ... yang memalukan." Midas semakin mengejutkan Tomi. Dia mengusap ujung bibirnya yang berdarah dengan tertawa.

"Beraninya kau mengatakan itu!"

Tangan Tomi kembali terulur untuk melayangkan pukulannya kembali. Dengan sigap Midas menahannya.

"Kau tidak akan pernah mengalahkanku, Tomi," ucap Midas pelan dengan terkekeh pelan. Dia masih menahan tangan Tomi.

"Keparat. Kau miskin dan gembel. Dengan mudah aku bisa mengalahkanmu."

"Bagaimana jika tidak?"

Tomi tertawa semakin keras. Midas pun melepaskan cengkeramannya.

"Aku akan mencium kakimu," balas Tomi semakin tertawa keras.

"Semoga kau ingat perkataanmu itu."

BRAK!!

"Kepala Direktur kecelakaan!" Tiba-tiba, beberapa suster berlari sambil berteriak panik.

"Clara?" ucap Midas dengan sangat panik.

Mita bergeming kaku. Kenapa Midas mengenal Kepala Direktur?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status