Raja terkekeh gemas melihat Ruma menghindar di dekati. Pria itu berlalu ke kamar mandi setelah puas menggodanya."Sayang, ini ganti buat aku?" tanya pria itu setelah mandi."Huum, Mas," jawab Ruma tanpa menoleh. Perempuan itu tengah sibuk di depan meja rias mengeringkan rambutnya.Raja langsung memakai kausnya. Dia berjalan menghampiri istrinya yang masih sibuk."Sini aku bantuin," pinta Raja mengambil alih.Ruma pun membiarkan saja suaminya bersikap demikian. Menikmati perhatian darinya."Kamu pakai sampo aku ya," kata pria itu hafal sekali."Iya, aku lupa belum beli. Padahal kemarin udah mampir dan udah diinget-inget juga. Malah punyaku yang nggak keambil.""Nggak apa kok, cuma takutnya nanti di kepala kamu nggak aman. Nanti kalau rambutnya rusak gimana?""Semoga nggak, wanginya enak kok."Belum juga menyelesaikan urusannya, Zava merengek. Untung baby comelnya terbangun setelah mereka selesai melewati ritual suami istri.Ruma langsung beranjak menghampiri bayinya. Sementara Raja men
Setelah berhasil ngacak-ngacak sprei pagi ini, Raja masih enggan melepas pelukannya. Menikmati waktu berdua yang langka sebab rutinitas mereka yang kadang tidak bisa ditunda. Apalagi pekerjaan Raja yang kadang menyita waktunya tiba-tiba.Mumpung hari libur, kapan lagi bisa bermanja-manja dengan sang istri tercinta. Bulan madunya di rumah dulu. Moment langka ini harus dia gunakan sebaik mungkin."Mas, lepas, berat ini," keluh Ruma saat Raja masih menindihnya posesif. Pria itu memang jahil sekali, bukannya cepat beranjak malah mengurungnya begini.Raja terkekeh sembari bergeser hingga tiduran di dekatnya. Dia merasa puas dan bahagia setelah merusuh istrinya."Mandi Mas," ucap Ruma bangkit dari pembaringan. Saat hendak turun, pria itu ikut bangun lalu menarik tubuh istrinya hingga kembali terguling tiduran ke ranjang."Nanti sayang, buru-buru amat. Zava juga masih bobok.""Iya, makanya mumpung Zava masih bobok, aku mau buat sarapan.""Kayaknya mandi dulu deh. Bareng Dek," ujar Raja menge
"Aku nggak berharap dia datang, tapi kalau Mas mau ngundang ya nggak apa," ujar Ruma santai. "Udah move on, 'kan Dek? Aman berarti?" goda Raja tersenyum. "Aman sembilan puluh sembilan persen, Mas," jawab Ruma yakin. "Lah kok nggak seratus aja. Satu persennya berarti nggak aman dong." "Satu persennya silaturahmi. Biar bagaimanapun ada orang tuanya yang pernah baik banget sama Ruma. Mas Rasya juga, jadi ya harus disisain walau cuma satu," jawab Ruma benar adanya. "Semoga mereka juga aman kalau tahu aku yang menikahi kamu," ucap Raja penuh harap. Takdir telah membawa kisah mereka bermuara. Walau awalnya terlihat mustahil, tetapi atas kehendak-Nya, semua dilancarkan hingga di titik sekarang. "Aamiin ...," sahut Ruma mengaminkan. "Nanti kita pakai konsep yang bagaimana, Dek?" tanya Raja menyesuaikan selera istrinya. "Apa tidak sebaiknya kita musyawarah dulu sama keluarga. Ummi sama abi kasih tahu dulu, terus mau gimana? Aku ngikut aja Mas, ini kan acaranya di sini." "Iya
"Rasya, ada undangan buat kamu, mami taruh di kamar!" seru Mami Maria begitu putranya masuk rumah. Pria itu memang memutuskan tinggal bersama ibunya sejak bercerai, ditambah Bu Maria sering sakit-sakitan. Jadi, sekalian jagain ibunya. "Iya Mi, dari siapa?" tanya Rasya sembari melepas sepatu yang membelenggunya dari pagi. Pria itu terlihat lelah. "Kayaknya sih teman kamu yang dokter itu, siapalah namanya. Mami nggak baca, cuma sekilas aja tadi," jawab perempuan paruh baya itu sembari sibuk menyiapkan hidangan makan malam. "Owh ... Raja mungkin? Yang dulu tetanggaan sama Rasya," tebak pria itu menduga-duga saja. "Mungkin, mami kurang paham." Pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit dan juga di luar, tetapi perempuan sepuh itu tidak begitu jelas dengan dokter Raja. "Rasya ke kamar dulu, Mi," pamit pria itu beranjak. Rasya langsung ke kamar, menaruh tas kerjanya serta handphone tepat di sebelah kertas jasmin yang sudah dipres cantik berbentuk undangan pernikahan. Pria itu hanya
"Sayang, Zava nggak mau tidur?" tanya Raja ikut terbangun begitu mendengar rengekan bayi mungilnya."Iya Mas, padahal baru saja minum ASI, tapi nggak mau bobok, bagaimana ini," jawab Ruma sembari terkantuk-kantuk.Raja yang awalnya sudah merem mencoba bergantian menemani Zava. Dia mempersilahkan istrinya untuk istirahat lebih dulu. Kasihan, sepertinya juga sangat lelah."Sini biar aku yang jaga. Kamu tidur ya, besok kan acaranya banyak, kalau nggak tidur bisa ngantuk berat.""Kamu nggak apa Mas jagain Zava sendirian?" tanya Ruma memastikan. "Iya, semoga sama buya bisa cepet merem. Mana tahu adek memang lagi kangen sama buya ya sayang. Jadi pingin dimanja ayahnya."Ruma sebenarnya kasihan, tetapi tubuhnya terasa penat dengan mata mengantuk berat. Perempuan itu terlelap cepat begitu menemukan bantal. Sementara Raja masih menimang-nimang Zava agar lekas terlelap."Sayang, bobok ya anak buya yang sholehah. Ini sudah malam, itu umma udah bobok tuh, kasihan kan umma kepingin dikelonin buya
"Buk, ayo kita temui pengantinnya dulu," ucap Rasya menginterupsi ibunya."Iya, pestanya meriah sekali. Dokter Raja itu orang kaya ya," tanya Mami Maria melihat banyaknya tamu undangan yang hadir. Serta tatanan dekorasi yang begitu mewah dan megah."Iya Mi, Raja kan pewaris rumah sakit islam dan juga cucu dari Kiai Hasan, pantas saja kalau acaranya semegah ini. Aset ayahnya banyak di mana-mana. Bahkan universitas yang ada di sekitaran Al Hasan milik keluarganya," jawab pria itu sedikit banyak tahu silsilah keluarganya.Pria itu memang sudah ningrat sejak kecil. Tentunya dari background keluarganya yang memang sudah berada dari dulu.Mami Maria merasa takjub, dia juga baru menyadari kalau semua tamu undangan yang hadir tidak diperkenankan membawa amplop atau hadiah semacamnya. Orang kaya memang beda. Mereka memang sengaja mengadakan syukuran akbar untuk menyambut hari bahagia putranya."Mi, kok Rasya kaya nggak asing sama pengantin perempuannya," ucap pria itu baru menyadari ada hal ya
"Biar aku lihat dulu, mana tahu sama ummi," ucap Raja mencoba tenang. Walaupun sebenarnya dalam hati cemas luar biasa. Apalagi melihat istrinya yang sudah panik, hatinya makin tak karuan. Raja keluar, mencari-cari mana tahu baby Zava digendong keluarga lainnya. Namun, semua orang terlihat sibuk. Di luar juga kedua orang tuanya dan orang tua Ruma sedang tidak menggendong Zava, lalu di mana bayi kecil itu berada. "Ya Allah ... kamu di mana sayang," gumam pria itu cemas. "Ja, kenapa?" tanya Shaka menghampiri kerabatnya. "Ka, kamu lihat bayi sku nggak? Zava sama siapa ya?" tanya pria itu mulai kalut. "Adek Zava bukannya tadi dijagain sama Mbak Ika ya." "Iya, tapi Ika sholat, dia malah nidurin Zava di kamar. Tapi nggak ada, Ka, kamu coba tolong bantuin nyari ya. Msna tahu digendong budhe, atau siapa gitu. Kasihan istriku mau kasih ASI-nya sampai penuh." "Iya, iya, aku bantu nyari sebentar," ujar pria itu bergegas. Ruma tentunya tidak diam saja. Dia keluar menanyakan langsung
Nyonya Maria tak bisa mengendalikan putranya. Dia kalut dengan wajah kebingungan melihat Zava kembali dibawa pergi."Rasya, jangan Nak, kasihan Zava. Ayo berikan pada Mami. Dia masih kecil sayang, dia tidak bersalah," bujuk Nyonya Maria mengiba."Mami jangan ikut campur, sudah kubilang, dia tidak akan pernah aku serahkan pada mereka. Bayi ini seharusnya milikku, Ruma hamil saat masih menjadi istriku. Dia berbohong, pengadilan tidak mungkin akan mengesahkan perceraian kita kalau tahu Ruma hamil. Dia berbohong."Rasya merasa sangat terkhianati. Apalagi melihat mantan istrinya begitu bahagia bersanding dengan sahabatnya, hati Rasya sakit. Dia tidak bisa menerima itu, sementara dirinya menderita sepenuh hati."Mami tahu kamu kecewa, marah, tapi tolong jangan libatkan Zava, kalau memang benar kamu menyayanginya. Berikan pada mami, sayang, mami yang akan mengurusnya. Nanti mami musyawarahkan ke Ruma."Perempuan paruh baya itu terus memohon. Mencoba menyadarkan kekeliruan putranya. Dia tahu