Sudah satu Minggu Fathur menginap di rumah keluarga Rudy, pamannya. Sesuai rencana Elma, dia akan selalu ada disana, hari-hari Fathur lalui dengan hati, tentunya karena ada Ara disana.Begitu juga dengan Ara, dia tak lagi merasa kesepian, selalu ada teman ngobrol di saat waktu lengang. Keduanya semakin hari semakin akrab, apalagi Ehan kembali jarang pulang, dengan alasan lembur kerja.Sebenarnya, Ara sudah merasa curiga, jika dia pulang ke rumah, Dinda. Tapi, dia tak ingin mengambil pusing, baginya saat ini adalah kebahagiaan diri sendiri, meski harus menyembunyikan kesedihan.Beruntung ada Fathur dan kedua mertuanya yang selalu memberi support."Kau belum mau balik ke Sulawesi, Bang?" Tanya Ara.Fathur tersenyum, lalu dia berbalik sambil meletakkan skop tanah yang dia pakai untuk menyemai tanaman. Ara sengaja membuat mini garden di samping rumah, agar fikirannya tak larut dalam kesedihan."Sepertinya akan lama disini, kenapa? Kau mulai bosan denganku?" Jawab Fathur datar.Ara memici
"Sekarang semuanya tergantung masyarakat, Nak. Harus jeli memilih pemimpin negara, cobalah kalian cari tau basic agamanya seperti apa, sepak terjang di luar dunia politik itu bagaimana, agar tak menyesal nantinya."Fathur manggut-manggut. Rudy melirik jam tangannya sudah tengah malam, Ehan belum juga kembali.'Kemana anak itu?' Batin Rudy bermonolog.Lelaki paruh baya itu masih mendengarkan ocehan Fathur yang ngelantur, tapi membuatnya seikit tenang tak memikirkan anaknya.Beberapa hari yang lalu, asistennya memberi tahu Rudy jika dia bertemu Ehan sedang bergandengan tangan dengan wanita lain, tentu membuat Rudy murka, hanya saja dia tak ingin gegabah. Rudy ingin melihat respon istri Ehan. Dan selama beberapa hari ini pula, Ara biasa saja, seperti tak ada masalah dalam rumah tangganya.Rudy menarik nafas berat, umurnya tidak lagi muda, tapi harus mengurusi anak laki-lakinya itu. Fathur melirik pamannya yang berkali-kali menoleh arah pintu."Om menunggu seseorang?" Suara Fathur memeca
"Ini baru permulaan, Ehan. Selanjutnya... akan aku buat Ara menjauh darimu."Dengan langkah cepat, Elma kembali ke taman, tadi dia hanya ingin minum, tapi mendengar suara mobil Ela langsung berbalik ke kamar. Elma merai ponselnya di atas nakas."Hallo, Boy... Esok kita lanjutkan misi selanjutnya!" Ucap elma dengan senyum devil.Selanjutnya, dia kembali bergabung di mini garden Ara dengan membawa kudapan dan jus orange. Hati Elma begitu senang melihat perhatian Fatur pada Ara, dengan begitu dia tak terlalu sulit untuk menjebak Ara agar jatuh dalam pelukan Fathur, sepupunya.---Dinda terlihat gusar di kamar ukuran dua kali tiga itu, sudah dua hari Ehan tak datang ke rumahya, di kantor pun mereka berjumpa hanya sebatas teman. Dia membuka ponsel, ada pesan masuk dari nomor yang tak dia kenal.[Bagaimana, cantik? apa kau berhasil mendapatkan, Ehan?]Wanita itu mendengus kesal, lagi-lagi pria misterius itu menghubunginya, awalnya Dinda mengganggu Ehan memang karena uang. Orang itu menjanji
Ara kembali merona, ada gurat merah di wajahnya. Dia tersenyum geli, saat kembali membaca pesan-pesan itu dari awal. Entah bermulai dari mana, Ara menikmati dan menyukai pesan-pesan itu. 'Ah, andai saja mas Ehan seperti dia. Tentu saja hidupku akan sempurna.' batin Ara, senyumannya kali ini pudar seiring manik matanya menatap wajah suaminya yang teduh. [Bukti apa yang kau inginkan duhai hati?] Balas Ara lagi. Tak butuh waktu lama, pesan Ara langsung dibalas, [Aku ingin bukti...] Ara sampai menahan nafas membaca pesan di ponselnya. Detik berikutnya, dia menahan tawa yang hapir saja meledak. Begitulah setiap malam, saat belum tidur Ara akan terhibur dengan pesan-pesan manis dari sepupunya, Fathur Ar Rayyanda. Setidaknya dia melupakan sikap Ehan yang mulai cuek. --- Elma berjalan bersisihan disamping ayahnya. Netranya memandang gurat wajah ayahnya yang tidak biasanya, Elma sedikit berhati-hati ingin mengatakan perihal Ehan yang mulai sering tak masuk kerja,tapi saat kembali melih
Rudy berjalan dengan cepat diikuti Sebastian, dia ingin segera pulang dan memeluk istrinya, rasanya dunia hancur melihat anak sendiri keluar dari kamar bersama wanita lain. Disisi lain Ehan masih terpaku memandang Tab yang sengaja ditinggalkan oleh Sebastian."Maafkan aku, Ara. Maaf..." Lirih Ehan menyesal. "Bodohnya aku, selama ini Ara telah melayaniku dengan baik, maafkan aku, Ara." Gumannya lagi. Ehan menggusar rambutnya dengan kasar. 'Apa yang arus aku lakukan?' Batin Ehan lagi.Sedangkan Dinda masi terdiam, dia mendekat dan mengusap punggung lelaki itu, tapi ditepis ole Ehan."Kembalilah ke ruanganmu." Pinta Ehan"Tapi, Mas...""Aku ingin sendiri, Dinda." Ucap Ehan tajam.Dinda mencebik, dan meninggalkan Ehan sendiri.---Ara masih memperhatikan tanaman bunga mawarnya, tiba-tiba ponsel berdering."Assalamulaikum, Adikku tersayang." "Waalaikumsalam..." Jawab lelaki diseberang telepon."Tumben pagi-pagi nelpon.""Ini sudah siang, Mbak. Coba kau tengok jam dinding di kamarmu itu,
Ara menyelami manik Fathur yang menyejukkan."Sudah aku pikirkan, Bang. Dan... Aku akan mencari cinta yang lain. Agar Ehan tau rasanya dikhianati.""Hanya sebagai balas dendam?""Maybe Yes, Maybe No. Kita tak tahu takdir akan membawaku kemana, Bang. Bisa saja aku akan benar-benar jatuh cinta pada orang lain." Ucap Ara memandang Fathur.Jantung Fatur berdetak cepat, ada nyeri di hatinya. Dia tak ingin Ara jatuh pada pria lain."Siapa targetmu?""Aku tak tahu, Bang. Mungkin lelaki kaya." Jawab Ara tertawa."Aku ada ide,?" Ucap Fathur dengan senyum devil nya."Apa?""....."Ara tertawa geli mendengar ide sepupunya itu, dia mengangguk tanda setuju.---Ehan masih duduk terpekur di ruangannya, hari semakin sore, senja pun menyapa, berkali-kali Dinda datang untuk membujuk Ehan pulang, tapi lelaki itu tetap bergeming memandang ke luar jendela.Ehan menarik nafa panjang, lalu dihembuskannya perlahan. Sekarang semuanya menjadi kacau, dia baru menyadari bahwa istrinya sangat pandai menyimpan ra
Fathur kembali disisi Ara yang memainkan ponsel, " Maaf, lama menunggu?""No, siapa laki-laki itu?" Tanya Ara juga."Bukan urusanmu," Kekeh Fathur."Ish, menyebalkan sekali."Fathur tertawa lepas, sungguh hari ini hatinya begitu bahagia, melihat Ara yang cantik dan menggemaskan, belum lagi bertemu Adam yang begitu ketakutan saat bertemu dengannya. Dengan langkah cepat Fathur mengekori Ara, lalu menggenggam tangannya dengan paksa.Ara terkesiap."Fathur...""Hanya untuk malam ini, kita saudara bukan?"Hening...Ara merasakan ada getaran di hatinya saat Fathur menggenggam tangan erat, entah kenapa Ara tak kuasa untuk menolak. Dia tersenyum begitu juga dengan sepupunya. Keduanya melangkah dengan penuh kebahagiaan.---Sudah beberapa jam Ehan sampai di rumah bernuansa eropa itu, saat dia sampai tak ada Ara yang menunggunya seperti biasanya, di kamar pun tak ada sambutan dari istrinya. Ehann bingung, karena tak mendapai istrinya di setiap sudut rumah.Setelah membersihkan tubuh Ehan kembal
Ara menutup pintu dan menguncinya dari luar, terdengar ketukan dari luar, Ehan berkali-kali memanggil namanya, Tapi Ara tetap diam, bening matanya mulai menetes, berlahan lalu semakin deras, pundaknya naik turun karena menahan sesak di dada.Kembali terbayang saat mereka pertama kali bertemu, lalu... mengingat momen-momen romantis yang sudah dia lalui selama sepuluh tahun.Dulu, dia memiliki impian, menikah hanya sekali saja sampai anak cucu, nyatanya impian itu dihempaskan oleh suaminya.Ara mengusap air matanya, perlahan dia bangkit dan membersihkan diri lalu melakukan shalat isya'. Diatas sajadah, Ara kembali mencurahkan segala kepedihan, netranya memandang dinding kamar yang polos."Ya Tuhan. Kali ini saja, aku mohon, beri aku kekuatan. Cintaku mungkin salah, sehingga Engkau mengujiku dengan begitu berat. Aku salah, Ya Allah....Seharusnya aku tak mencintainya melebihi cintaku pada Mu.Ya Allah, Kali ini saja, kuatkan imanku."---Ehan masih terdiam di luar kamar, sudah hampir l