“Nay, kamu kenapa?” Andra menepuk bahu teman hidupnya yang dari tadi ia perhatikan melihat ke luar jendela. Namun, perempuan ular itu tetap membeku dan pupil matanya semakin mengerucut. Andra tahu ada yang tidak beres. Tak biasanya Nay bertingkah laku demikian. “Nay!” Manusia harimau itu memegang erat bahu Nay bahkan meremasnya sangat kuat. Sejenak perempuan pemetik bunga itu mendesis dan lidah bercabang duanya keluar sampai menyentuh pipi Andra. Andra menatap bola mata Nay sangat dalam. Perlahan-lahan pupil mata yang tadinya mengerucut seperti kristal kemudian membesar dan bulat sempurna. Ular tujuh warna itu menggeleng. Rasanya ia tadi ingin memuntahkan bisa beracunnya ke arah Andra karena ia anggap sebagai pengganggu. “Aku kenapa?” tanya Nay pada Andra. “Mana aku tahu. Jangan lihat ke luar jendela kalau berbahaya, air juga jadi masuk ke dalam kamar.” Lelaki itu menelisik pemandangan di luar kamar. Sejauh mana mata harimaunya mampu melihat, tak ia temukan ada seseorang dengan
Nay terbangun ketika sinar matahari dari celah jendela menerpa kulitnya yang dingin. Perempuan ular itu menggeliat dan bangkit dengan rasa malas. Ia lirik jam dan ternyata hari sudah jam satu siang. Lekas pemetik bunga itu mandi agar suhu tubuhnya tetap dingin seperti biasa. Sabun dan sampo layaknya manusia biasa tetap ia gunakan dengan aroma jeruk yang wanginya tahan lama ditambah bunga di kebun yang ia petik. Berendam ular tujuh warna pelangi di dalam bak air selama beberapa menit. Nay keluar, mengeringkan tubuh dan rambut dan berjalan kembali ke kamar. Namun … “Apa-apaan ini?” Ada banyak sekali ular hitam kecil-kecil di ruang tamu bahkan sampai ke kamar. “Tadi nggak ada. Siapa yang iseng? Nggak mungkin Candramaya.” Nay merasa ular tersebut kiriman dari seseorang yang memebencinya. Tapi siapa? Mengingat diri sendiri sudah lama tinggal di desa. Refleks mulut Nay dipenuhi dengan bisa ularnya. Ia pun menyemburkan pada binatang melata yang terus berjalan ke arahnya. Sebagian langsun
“Nay, tolong, jangan lupa siapa aku.” Andra memutuskan tak jadi menyerang kekasihnya. Ia tahu pemetik bunga itu sedang dikuasai makhluk lain. Jelas ular besar di atas dahan. Putra Ana tersebut kemudian mematahkan dahan pohon hingga ujungnya berbentuk runcing. Ia kumpulkan tenaga di pergelangan tangan lalu melempar ke arah binatang melata yang menegakkan kepalanya. Namun, Nay menangkap dan melemparkan kembali ke arahnya. “Mati!” ucap Nay dengan pupil mata mengerucut sekali. Ia sudah tak sadar siapa dirinya. “Kita bicarakan baik-baik.” Andra berusaha membawa Nay pergi. Tapi serangan dari ular besar yang mencoba menerkam manusia harimau itu mau tak mau membuat Andra mengubah wujud menjadi binatang buas. Daun, akar, dan pepohonan menjadi saksi bagaimana beringasnya pertarungan binatang berdarah panas serta dingin. Andra terus mencengkeram leher ular di depannya. Sedangkan binatang utusan Sora berusaha membelit tubuh harimau ganas itu sampai tulangnya patah kemudian mati kehabisan nap
Nay keluar dari dalam telaga dengan napas pendek-pendek. Racun dari Sora telah berhasil hilang berkat ia berendam di sana, selama beberapa saatnya lama tak terlalu Nay pahami. Yang jelas Andra masih menunggunya sampai tertidur. Wanita itu keluar, sekujur tubuhnya menjadi lebih dingin daripada biasanya. Tapi tak mengapa daripada harus memanas seperti terbakar. “Udah nggak apa-apa?” tanya Andra. Pemetik bunga itu hanya mengangguk saja. “Kita pulang, ya?” lanjut manusia harimau tersebut. Nay tak bisa menolak. Tak mungkin juga mereka tinggal di pinggir hutan lama-lama, keduanya punya rumah. “Terus ular yang jumlahnya banyak itu gimana?” Nay masih ingat kejadian singkat sebelum mereka berdua diserang. “Kita, nggak, tepatnya aku yang hadapi. Bakar semuanya sampai hangus.” Sepasang kekasih itu berjalan kaki melewati hutan bambu dan parit hingga masuk ke perumahan warga. Hanya satu hal yang menjadi pertanyaan Nay dan Andra. Ke mana perginya Damar selaku penguasa dan Candramaya sebagai pen
Malam hari waktu beristirahat, tidak ada hujan atau angin yang lebih dingin turun menyapa pedesaan di Bukit Buas. Nay atau yang dipanggil Maya oleh Candra sedang bercermin. Iya, wajahnya sudah berubah meski ada sedikit kemiripan ketika masih menjadi manusia biasa. “Pulang pun aku ke rumah, nggak akan ada yang kenal sama aku,” ucap Nay agak sedikit putus asa. “Ya, terus kenapa?” Andra datang dan tiba-tiba memeluk kekasihnya dari belakang. Besok pagi-pagi siluman ular itu sudah pergi, tentu akan sepi rumah terasa. “Ya, nggak apa-apa. Habis makan langsung pulang. Kamu, tahu, nggak, Mama aku dulu buka warung nasi buat hidupun anak-anaknya yang masih kecil.” Jemari halus Nay memegang jemari Andra yang kasar karena bekerja. Bedanya Nay selalu ganti kulit, jadi walau apa pun yang terjadi dia tetap akan cantik. “Makan apa?” tanya manusia harimau itu sambil tersenyum. Tak mungkin juga meminta sepiring nasi dan lauknya di warung orang. “Bawa plastiklah dari rumah, kayak dulu nampung sisa
Mata Andra menatap ular hitam kecil yang terus memandangnya. Binatang melata itu sedang menyampaikan berita yang ia lihat pada Sora. Hingga ketika sudah selesai semua, ia mendapatkan perintah untuk menggigit sang harimau. Binatang melata itu menjalankan tugasnya. Reflesk ia melompat ke wajah Andra. Namun, lelaki itu juga dengan cepat menangkap dengan sebelah tangannya. Ukuran ular yang bahkan tak lebih besar dari jari telunjuknya. “Mati kau!” Andra menarik tubuh binatang itu hingga terbagi menjadi dua dan tewas. “Berguna juga racun dari Nay, aku bisa jadi lebih awas,” ucap Andra sambil menenteng beberapa batang bambu di pundaknya. Ia lempar di halaman rumah Sora dan mulai menyusun dinding lagi. Sora yang akhirnya tahu ke mana pemetik bunga itu pergi, tersenyum amat lebar. Tidak ada jantan lain di sisi Nay akan membuat tujuan ular hitam tersebut jadi lebih mudah lagi untuk digapai. Namun, ular yang punya sifat dasar licik, tentu harus berbasa-basi sedikit. Sora menyambangi Andra yan
Nay turun dari kota. Terbiasa lima tahun hidup di desa yang sunyi, ia menjadi agak ganas ketika disenggol orang yang terburu-buru berjalan. Nay pun harus menahan napas agak tak sembarangan menyemburkan racun. “Padahal aku udah tahu kalau di kota serba sibuk. Tapi tetap aja aku udah jadi binatang.” Perempuan siluman ular itu berjalan lagi mengelilingi kotanya. “Ya, udah anggap aja single kayak dulu lagi.” Pemetik bunga itu memandang gedung dan mall yang selama lima tahun bertambah kehadirannya. Tak lupa ada televisi besar di ujung lampu merah.Perut Nay berbunyi karena lapar. Di rumah ia akan makin daging sampi, kambing, atau ayam yang dimakan mentah atau setengah masak. Kalau di sini, tak mungkin makan orang. “Oke, kita coba ke mall itu, yok, kali aja ada yang jual susi atau daging mentah lainnya.” Nay berjalan sendirian, tapi dengan penuh gangguan di kepalanya. Telinganya mendengar percakapan orang lain yang penuh bisik-bisik manja bersama pasangan. Ia terganggu sekaligus merasa i
Nay mengikuti tiga orang lelaki berbadan tinggi besar yang baru saja merampas uang hasil jualan ibunya. Di sisi lain di sebuah rumah tingkat tiga, Sora memperhatikan bagaimana ular betina itu menyelesaikan masalah. Kalau berat tentu ia akan turun tangan. “Tapi seharusnya untuk membunuh manusia biasa, tidak perlu bersusah payah, Maya, kau bisa mematuk mereka sampai mati kebiruan,” ucap ular hitam yang masih penasaran bagaimana cara kerja Maya menyelesaikan masalah. “Dan ternyata penggoda tetaplah penggoda.” Lelaki bermata sehitam malam itu melihat sambil duduk santai di atap rumah orang. Nay sengaja berjalan lebih cepat dari tiga preman sok jagoan higga ia pun disuit-suitkan oleh mereka. “Cantik, mau ke mana?” “Mau digodain kita, nggak?” ucap mereka tak ada yang sopan. Nay pun berhenti dan melihat calon korbannya satu demi satu. “Wih, bidadari nyasar ke bumi ini. Mau ke mana, Dek? Biar kita anterin, nanti imbalannya giliran aja satu satu nggak apa-apa.” Salah satu dari preman itu