Share

Bab 9 Bahasa Bunga Angelica

Mata Nadia kedap-kedip, dia menatap Gio dengan tidak percaya, "Saya sama sekali nggak bersalah ...."

"Aku bilang minta maaf! Nadia, aku nggak ingin mengulang ucapanku untuk ketiga kalinya!" seru Gio dengan dingin.

Menghadapi kemarahan Gio, Nadia hanya bisa menelan rasa tidak adil yang dia rasakan.

'Ya. Yuvira adalah wanita pujaan hatinya.'

'Sedangkan aku hanya seorang pengganti, pasangan ranjang yang nggak layak untuk dikasihani.'

'Perasaanku nggak berarti sama sekali baginya dibandingkan dengan wanita pujaan hatinya ini.'

Hati Nadia terasa sangat sakit, tetapi dia menunduk dan berkata dengan suara tersendat, "Maaf."

Yuvira mengangkat kepalanya dari pelukan Gio dan berkata, "Gio, jangan salahkan Bu Nadia. Aku yang salah ...."

Gio memeluk Yuvira dengan penuh kasih dan berkata, "Kamu nggak perlu membelanya, ayo kita pulang."

Melihat kedua orang itu pergi dengan mesra, pandangan Nadia menjadi buram seakan-akan ada kabut yang muncul mendadak.

Air mata dengan cepat mengalir dari matanya.

....

Senja hari.

Nadia pergi ke rumah sakit setelah pulang kerja.

Kebetulan dia bertemu Sam yang sedang menjelaskan sesuatu kepada perawat di depan pintu kamar rawat.

Nadia mengangguk, isyarat menyapa Sam. Ketika Nadia hendak masuk ke kamar rawat, Sam menghentikannya.

"Nadia, ibumu baru saja tertidur setelah kemoterapi. Sebaiknya kamu nggak masuk dulu."

Nadia pun berhenti dan bertanya kepada Sam dengan pelan, "Dokter Sam, ibuku sudah melakukan kemoterapi tahap 5, sekarang gimana kondisinya?"

"Jangan terlalu khawatir. Operasi ibumu dilakukan lebih awal dan proses pemulihan lebih baik dari yang diperkirakan," hibur Sam.

Mendengar itu, Nadia menghela napas lega, lalu bertanya, "Apa saldo di rekening untuk pembayaran rumah sakit masih cukup?"

Alis Sam terangkat. Dia sedikit heran dan bertanya, "Bukannya kemarin kamu baru saja menyetor 2 miliar?"

Seketika, Nadia tercengang.

Bagaimana mungkin dia bisa langsung menyetor 2 miliar.

Kecuali ....

Nadia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Yuda.

"Halo, Bu Nadia."

"Apa Pak Gio membayar biaya pengobatan ibuku?" tanya Nadia langsung.

"Ya. Tuan Gio nggak mengizinkanku memberitahumu. Sebenarnya, kemarin dia menyetor 2 miliar ke rekening ibumu tepat setelah tiba di rumah sakit," jawab Yuda.

Mendengar ini, Nadia tanpa sadar menggenggam ponselnya dengan erat.

Setelah ragu-ragu sejenak, Nadia pun menelepon Gio, "Pak Gio, kamu di mana?"

"Langsung bilang ada perlu apa?" ujar Gio dengan dingin.

"Aku pasti akan mengembalikan 2 miliar itu padamu!" ujar Nadia dengan tegas.

Gio mendengus dingin, seakan-akan meremehkan perkataan yang baru dia dengar itu.

"Datang ke Pondok Asri."

Selesai mengatakan itu, Gio langsung menutup ponselnya.

Nadia termenung sejenak, lalu berbalik dan meninggalkan rumah sakit.

Pondok Asri.

Begitu Nadia masuk ke vila, Bibi Ratih, pelayan yang dipekerjakan oleh Gio menghampirinya.

"Anda Nona Nadia? Tuan sedang di ruang kerja," ujar Ratih.

Nadia memandang pelayan baru itu dan agak terkejut. "Oke, aku akan menemuinya di sana," ujar Nadia.

Ruang kerja ada di lantai atas. Setelah tiba, Nadia membuka pintu ruangan itu.

Di dalamnya gelap gulita.

Nadia secara alami ingin menyalakan lampu. Akan tetapi, sebelum ujung jarinya dapat menyentuh tombol lampu, tercium aroma familier yang tiba-tiba mendekat.

Nadia merasakan pinggangnya dipeluk oleh sepanjang lengan dengan erat. Seluruh tubuhnya tenggelam ke pelukan hangat itu.

Ketika tercium embusan napas beraroma kayu cedar, Nadia tahu itu adalah aroma yang dimiliki Gio.

Kemudian, Nadia merasakan dirinya melayang. Dia digendong oleh Gio yang berjalan menuju sofa.

Nadia mendorongnya dan berkata dengan gugup, "Pak Gio! Aku kemari untuk bicara masalah pembayaran uang itu!"

Gio tidak menggubrisnya.

Setelah menindih Nadia di atas sofa, Gio baru berkata dengan suara yang berat, "Diam!"

Setelah itu, Gio dengan mudah membuka pengait bra Nadia.

Sambil mengunci rahang bawah Nadia dengan tangannya yang lebar itu, Gio mencium leher Nadia dengan ganas.

"Pak Gio ...."

"Diam!" seru Gio dengan tidak sabar.

Setelah itu, Gio menarik pinggang Nadia. Sekarang, Nadia dipeluk di pangkuan Gio.

Jari-jari Gio yang terasa kasar itu membelai bibir Nadia dengan lembut. "Puaskan diriku dulu kalau ingin bicara hal itu," ujar Gio.

Nadia menggigit bibir bawahnya, lalu berkata dengan terpaksa, "O ... oke."

Setelah atraksi menggairahkan selesai ....

Nadia menahan rasa sakit di tubuh sambil menutupinya dengan pakaian.

Dia bangkit duduk dengan perlahan, lalu berkata dengan pelan, "Kamu nggak takut wanita pujaan hatimu akan cemburu?"

Sambil menyalakan rokok yang tergantung di mulut, Gio berkata, "Bukan hal yang perlu kamu khawatirkan."

"Aku akan mengembalikan dua miliar itu," ujar Nadia sambil mengenakan pakaiannya.

Gio mengembuskan lingkaran asap. Sambil menatap Nadia dengan mata yang hitam pekat itu, dia berkata, "Mengembalikan? Dengan tubuhmu?"

Merasa terhina, Nadia mencengkeram pakaiannya dan menjawab, "Itu urusanku."

Gio tiba-tiba terlihat kesal dan berkata dengan sinis, "Anggap saja uang itu termasuk kompensasi yang sudah kujanjikan. Nadia, kamu hanya tertarik dengan uang, 'kan? Jadi, kamu hanya perlu patuh dan nggak punya hak untuk komplain."

Perkataan Gio membuat Nadia merasa seolah-olah dia telah ditampar oleh tangan yang tidak kasat mata. Terasa sakit bagaikan terbakar.

'Ya. Di matanya, aku hanyalah wanita matre yang nggak berhak berlagak suci.'

Tidak lama kemudian, Gio meninggalkan ruang kerja setelah mengenakan pakaian.

Ketika Nadia hendak membersihkan tisu-tisu yang tergeletak di lantai, Ratih masuk ke dalam ruangan.

Melihat ada banyak bekas ciuman di leher Nadia, Ratih menjadi canggung dan hendak berbalik keluar.

"Masuklah," ujar Nadia dengan pelan ketika melihat Ratih datang.

Nadia merasa harga dirinya di sini sudah tidak ada, jadi dia tidak takut pelayan Gio mengetahui hal tersebut.

Ratih tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Nadia dengan cemas, lalu ikut bantu membersihkan.

Setelah membersihkan tisu-tisu di lantai itu, Ratih hendak mengelap lukisan yang digantung di dinding.

Ratih menarik sebuah kursi dan hendak naik ke atas. Namun, tiba-tiba terdengar suara dia mendesis kesakitan.

Melihat ada koyok di lutut Ratih, Nadia pun menghampirinya dan berkata, "Kakimu nggak akan kuat. Biar kubantu lap."

Ratih segera menolak, "Jangan, jangan. Mana boleh aku membiarkanmu melakukan pekerjaan kasar seperti ini."

Akan tetapi, Nadia bersikeras mengambil kain lap dan berkata, " Nggak apa, biar aku saja."

Setelah mengatakan itu, Nadia berdiri di kursi.

"Terima kasih, Nona Nadia," ujar Ratih terharu.

"Bukan hal besar," balas Nadia.

Ketika pandangan Ratih ke lukisan itu, dia pun memuji, "Nona Nadia, lukisan ini sungguh realistis, ya."

"Hanya saja, aku belum pernah lihat bunga di lukisan ini," lanjut Ratih.

Nadia memandangi bunga kecil berbentuk payung berwarna putih di lukisan itu, lalu menjelaskan, "Nama bunga ini adalah Angelica. Bahasa bunganya adalah gigih dan kerinduan abadi."

Ketika Nadia pertama kali melihat lukisan di ruang kerja Gio itu, reaksinya sama seperti dengan Ratih.

Gio juga menjelaskan hal yang sama padanya saat itu.

Selesai berbicara, Nadia menyadari bahwa lukisan itu akan terjatuh.

Dia mencoba untuk menahannya, tetapi karena terlalu berat, lukisan itu pun jatuh ke lantai.

Bersamaan dengan suara jatuh yang keras, pecahan kaca bingkai lukisan itu berserakan di lantai.

Ratih terkejut dan buru-buru berkata, "Astaga! Nona Nadia, hati-hati! Banyak serpihan kaca, aku ambil sapu dulu!"

"Oke," balas Nadia.

Nadia mengernyit. Ketika Ratih pergi mengambil sapu, Nadia turun dari kursi dengan hati-hati.

Dia mencoba mengambil lukisan itu, tapi bingkainya terlepas.

Tiba-tiba, sebuah foto jatuh dari balik bingkai.

Mata Nadia tertuju pada foto itu.

Seorang pria merangkul bahu seorang wanita di pantai.

Wanita di foto itu mengenakan gaun berwarna putih. Rambutnya terurai panjang mencapai pinggang.

Meskipun hanya foto punggung, keduanya tampak sangat serasi.

Hanya melihat sekilas, Nadia bisa mengenali punggung pria itu. Pria itu adalah Gio.

'Siapa wanita yang dia rangkul ini?'

'Kenapa foto ini disembunyikan di belakang lukisan?'

Nadia tertegun untuk waktu yang lama. Tiba-tiba, dia teringat apa yang baru saja dia katakan pada Ratih.

Bahasa bunga angelica melambangkan kerinduan abadi.

Dengan kata lain, wanita di foto itu adalah orang yang sangat dirindukan Gio?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status