Di saat Putri Hijau tengah kebingungan memikirkan luka dalam Si Buta dari Sungai Ular, tiba-tiba....
Aku adalah bangkai
Bangkai kejang nan kaku
Seorang hamba yang dating
Dengan lemah gemulai
Penuh pengakuan, juga penyesalan
Sementara api yang dinyalakan-Nya
Membakar otot-otot dan hati
Betapa sangat sempit
Lorong jalan kehidupan
Di alam dunia....
"Pasti tua bangka sinting itu yang datang kemari," duga Putri Hijau dalam hati, lalu melangkah berdiri. Dan kenyataannya memang benar. Belum sempat hilang gaung suara syair itu, Putri Hijau melihat seorang lelaki tua dengan pakaian serba putih tengah melenggang santai di jalan setapak yang menuju tempat bekas pertarungan.
"Wahai, Sobatku! Kemarilah! Aku butuh bantuanmu," sapa Putri Hijau, ramah seperti biasanya. Dan tak lupa menyebut kata-kata 'wahai' pada setiap orang.<
Ruangan itu memang tidak begitu luas. Lebarnya tak lebih dari tiga kali empat tombak. Sebuah obor besar yang tertancap di salah satu dinding, membuat suasana dalam ruangan gua itu terang benderang. Di atas tumpukan jerami, Gembong Kenjeran merebahkan tubuh Dewi Bunga Bangkai yang masih tak sadarkan diri perlahan. Sementara tubuh Ratu Adil tetap berada dalam pondongannya."Lepaskan aku! Lepaskan aku, Pengecut!" teriak Ratu Adil kalap.Gembong Kenjeran hanya tertawa bergelak, tak sudi menuruti perintah Ratu Adil. Segera dibawanya gadis itu ke ruang sebelah. Namun baru saja melangkah...."Kakang!"Terdengar teguran seseorang, membuat Gembong Kenjeran terpaksa menahan langkah. Lalu badannya berbalik. Ternyata Dewi Bunga Bangkai telah siuman. Dan memang, perempuan cantik itulah yang tadi menegurnya."Kau membawa gadis itu pula, Kang?" tanya Dewi Bunga Bangkai, sambil menggigit bibir menahan luka dalamnya."Iya. Kenapa?""Apa kau ingin...?"
"Jadi.... Jadi" Ah...!" keluh Gembong Kenjeran sedih bukan main. Paras lelaki ini yang biasanya garang, entah kenapa jadi muram. Seolah tengah menanggung derita yang teramat sangat."Katakan! Siapa nama ayahmu yang sedang kau cari itu!" pinta Gembong Kenjeran bergegas. Jantungnya makin berdetak keras, khawatir kalau jawaban gadis itu sama dengan apa yang ada dalam benaknya."Guruku bilang, kalau aku ingin bertemu ayah kandungku, aku harus mencari seseorang yang bernama Gendon Prakoso. Dialah ayah kandungku!"Mencelos hati Gembong Kenjeran mendengar jawaban gadis itu. Jelas nama Gendon Prakoso terucap dari bibir gadis yang hendak diperkosanya! Wajahnya seketika jadi pucat pasi."A.... Akulah Gendon Prakoso itu, Nak.... A... Aku ayah kandungmu...! Maafkan aku, Nak.... Ohh.... Terkutuknya ak...!" desah Gembong Kenjeran mirip kerbau mau disembelih."Kau.... Kaukah Gendon Prakoso" Oh...!" pekik Ratu Adil, tak kalah kaget.Lalu, entah kenapa tiba-
Aneh! Tiba-tiba permukaan air sendang tempat Eyang Pamekasan bertapa bergolak. Semula hanya gelembung-gelembung kecil saja, namun tak selang berapa lama air sendang itu bahkan membuncah tinggi ke udara!Bersamaan dengan itu, mendadak muncul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam dari dasar sendang. Mula-mula yang terlihat hanya kepalanya, lalu disusul sosoknya yang masih dalam keadaan bersemadi!"Bajingan! Kau harus membayar mahal atas pengkhianatanmu ini, Muridku!" dengus kakek yang memiliki wajah tirus dan rambut putih digelung ke atas penuh kemarahan. Sepasang matanya yang berwarna merah saga tampak mencorong beringas. Lalu dengan ilmunya yang tinggi, perlahan-lahan sosok renta yang masih dalam keadaan bersemadi itu mulai bergerak menuju tepian sendang. Hebatnya lagi, begitu tiba di tepian sendang dan melompat keluar, ternyata pakaian yang dikenakan tidak basah!Bukan main! Entah menggunakan ilmu apa hingga kakek renta yang memang Eyang Pamekasan ini mampu m
"Hm...! Jadi, kau mulai tak menyukaiku, ya! Baik! Jangan dikira aku akan diam begitu saja menerima penghinaan orang!" sentak Dewi Bunga Bangkai."Pergilah! Tak ada gunanya kau mengancamku!""Baik! Aku memang akan meninggalkan tempat ini. Tapi, ingat! Aku pasti akan datang menuntut balas," dengus Dewi Bunga Bangkai penuh kemarahan. Di akhir kalimatnya, murid Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.Gembong Kenjeran memandangi kepergian Dewi Bunga Bangkai sedih. Bukan sedih karena ditinggal, melainkan sedih karena sudah telanjur bergaul akrab dengan perempuan cantik itu."Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Putriku!" ajak Gembong Kenjeran mendahului, karena tak ingin mendengar pertanyaan putrinya tentang hubungannya dengan Dewi Bunga Bangkai."Baik," sahut Ratu Adil singkat.Gembong Kenjeran segera mengajak putrinya keluar. Namun baru saja hendak melangkah, tiba-tiba...."Gembong Kenjer
"Kenapa diam saja, Gendon! Benarkah kau telah mengkhianati perintahku?""Ha ha ha...! Sungguh malang nasibmu, Pamekasan. Punya murid tapi tak mau berbakti. Buat apa murid macam itu? Bikin sakit gigi saja!" selak Peramal Maut memanas-manasi."Diam kau, Peramal Maut! Aku tak butuh ocehanmu!" bentak Eyang Pamekasan."Ha ha ha...! Kau akan menyesal besar kalau tak mau mendengar ocehanku, Pamekasan. Akulah saksi atas pengkhianatan muridmu," kata Peramal Maut, kian membuat Eyang Pamekasan penasaran."Gendon Prakoso! Benarkah apa yang diucapkan, Peramal Maut?""Maaf, Guru! Dengan sangat terpaksa, murid mencabut semua sumpah yang pernah diucapkan," ucap Gembong Kenjeran sambil menangkupkan kedua telapak tangan ke depan dada."Kau dengar sendiri, apa yang diucapkan murid kesayanganmu itu, kan?" selak Peramal Maut lagi, mengejek."Bangsat! Jadi benar kau telah mengkhianatiku, Murid Murtad!""Adalah kekejian di atas kekejian bila seseoran
Eyang Pamekasan menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya yang berkilat-kilat segera dialihkan ke arah datangnya suara. Ternyata, tak jauh dari tempat itu telah berdiri seorang perempuan cantik berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya yang dibungkus pakaian ketat warna hijau pupus menebarkan aroma harum bunga melati. Sedang rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas. Sambil mengumbar senyum, perempuan cantik itu terus mempermainkan payung di tangan kanannya. Seperti pakaiannya, payung itu juga berwarna hijau pupus."Putri Hijau...!" desis Eyang Pamekasan."Wah...! Beruntung sekali kau masih mengenaliku, Pamekasan! Apa kabar? Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" kata perempuan cantik itu yang memang Putri Hijau sambil tetap mengumbar senyum."Tak ada gunanya menjawab pertanyaanmu. Karena, memang aku tak ada urusan denganmu," sahut Eyang Pamekasan ketus."Oh... begitu. Tapi, muridmu telah melarikan temanku yang cantik itu. Jadi kukira aku berhak menca
Di ujung geramannya, tokoh sesat dari puncak Gunung Kembang ini segera melompat bangun, Tubuhnya sempat limbung begitu kakinya menjejak tanah. Namun keseimbangan tubuhnya cepat dapat dikuasai. Kedua telapak tangannya kini telah berubah kuning hingga pangkal lengan, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam tinggi."Hati-hati, Anakku! Ia akan mengeluarkan pukulan 'Gada Akhirat'!" teriak Gembong Kenjeran, dari luar tempat pertarungan."Jangan khawatir. Ayah! Asal tua bangkai itu tak berbuat licik, pasti aku dapat mengatasinya," sahut Ratu Adil, merasa terharu melihat ayahnya masih terduduk di luar tempat pertarungan akibat luka dalamnya."Gadis pongah! Makanlah pukulan 'Gada Akhirat'-ku! Hea!"Seiring teriakan keras, tiba-tiba Peramal Maut menyentakkan telapak tangannya ke depan, membuat dua larik sinar kuning berkilauan melesat ke depan. Hawa panas yang bukan kepalang pun sempat menampar-nampar kulit Ratu Adil sebelum mencapai sasaran.Ratu Adil mengg
Di hadapannya, tampak Putri Hijau mengebutkan tangannya. Seketika, berpuluh sinar biru kecil melesat cepat ke arah Eyang Pamekasan.Eyang Pamekasan yang telah menderita luka dalam cukup hebat segera berkelebat menghindar. Namun karena gerakannya agak lambat, maka beberapa bunga melati biru milik Putri Hijau sempat menghantam dadanya!Plukk! Plukkk!"Aaakh...!"Eyang Pamekasan meraung setinggi langit ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Rasa nyeri yang bukan kepalang terasa hebat menyerang dada.Sekujur tubuhnya pun menggigil hebat!"Hoeekh!"Darah segar kebiru-biruan langsung menyembur dari mulut Eyang Pamekasan. Tangan kanannya cepat mendekat dada kuat-kuat. Sepasang matanya yang tajam pun mulai jelalatan ke sana kemari. Lalu tanpa banyak membuang waktu, tubuhnya segera bangkit dan berkelebat cepat meninggalkan tempat pertarungan."Hey...! Kau mau ke mana, Pamekasan! Kenapa lari terbirit-birit?"Mendadak terdengar suara tegu