“Saudara-saudara sekalian, para pembesar Kerajaan Madangsewu yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,” kata Prabu Bratasena memulai.
“Namanya Manggala. Dia adalah seorang pendekar hebat...”
Mendengar sanjungan yang menurutnya berlebihan, Manggala hanya dapat menundukkan kepala. Sedangkan Rhenata yang melihat sikap Manggala menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda buta itu. Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui. Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Manggala sebagai seorang pendekar hebat.
Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu. Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemu
“Hiaaat...”Trang! Trang! Trang!Sebentar saja sudah terdengar senjata yang berbenturan ganas. Dalam kancah pertempuran di punggung kuda seperti itu, gerakan mereka jadi terbatas. Tapi bagi enam prajurit istana, pertempuran di punggung kuda memang suatu keahlian khusus.Meski dikeroyok lima belas lawan, mereka nyatanya mampu mengadakan perlawanan sengit.Trang! Trang! Trang!Suasana jadi gegap gempita oleh denting senjata, ringkik kuda, dan teriakan perang. Biarpun matahari bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata masing-masing menghasilkan kelebatan-kelebatan menggidikkan. Setiap kelebatan mengarah pada bagian yang mematikan. Namun sampai sejauh itu, belum ada yang menjadi korban.Dan itu bukan berarti tidak ada pihak yang terdesak. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, tentu saja para prajurit kerajaan mulai kerepotan.Meskipun sudah mencoba beberapa siasat perang berkuda, harus tetap diakui kalau tenaga mereka sed
“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?” sahut Prabu Bratasena.Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Selaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena. Kewibawaan rajanya, membuat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.“Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, Paduka,” selak Patih Ranggapati.“Silakan, Patih,” sahut Prabu Bratasena.“Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur Selaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti, kami semua berkhianat. Mungkin Mah
“Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahku?” tanya Rhenata, cemas. “Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Bajing Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Manggala pasti. “Oh, Tuhan...,” desah Rhenata bergetar. Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya. “Aku takut, ayahku akan terbunuh, Manggala,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak. “Jangan cengeng. Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Manggala, tidak sungguh-sungguh. Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu. Manggala sendiri dapat maklum kalau Rhenata seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.
“Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara” Manggala melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras. “Baik, bicaralah Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima hukumanmu” ancam Manggala, sungguh-sungguh. Dalam hal menegakkan keadilan, Si Buta dari Sungai Ular tidak mau pandang bulu. Meski yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu memang terbukti bersalah, Manggala tak peduli. Sebelum mulai bicara, Rhenata menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya. “Sejak Bajing Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas. Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Bajing Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar Aya
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan... “Maju” perintah Bajing Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu. Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Bajing Ireng dan anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang. Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah. Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput. Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas. “Bratasena. Akhirnya kau akan pergi juga ke dasar neraka” seru Bajing Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung pakaiannya dipermainkan angin. Tak ada jawaban dari pihak kerajaan. “Bratasena. Apakah kau sud
“Rhenata Apa-apaan kau ini?” kata Patih Ranggapati, bergetar.“Paman Guntur Selaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati. Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan orang-orang Bajing Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milikku...,” sambung Rhenata pada Mahapatih Guntur Selaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.Rupanya, Rhenata sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Manggala, untuk membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan Madangsewu.Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Selaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu berkhianat? Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur Selaksa mengabulkannya.“Kemarilah, Patih Rangg
Setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.Ctar!Cemeti di tangan Bajing Ireng terlepas seketika. Sedangkan tubuh Si Buta dari Sungai Ular meluncur turun di belakang Bajing Ireng. Begitu mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, tongkat pusakanya menyergap wajah Bajing Ireng saat masih di udara.“Aaakh!”Dalam keadaan begitu, mata Si Buta dari Sungai Ular melihat tubuh Rhenata melayang mengerikan. Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan pukulan jarak jauh.“Rhenata!” teriak Manggala terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Bajing Ireng buyar.“Hiaaat”Berbareng satu gerakan berputar, Bajing Ireng yang berjuluk Siluman Pencabut Nyawa berhasil melepaskan diri.Setelah tubuhnya menghadap ke arah Si Buta dari Sungai Ular, tangannya bergerak bergantian secara beruntun.Des! Des! Des! Des!Empat puk
Gaja Ireng paham jika Mandrawata terpesona dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak merusak suasana, Gaja Ireng tak menegur tamunya itu. Dan lagi, toh Sakawuni mengacuhkan pandangan Mandrawata."Kiranya yang mulia Gaja Ireng sudi menerima seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji Hantu," lanjut Mandrawata."Bagus, bagus!" Gaja Ireng tersenyum senang."Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang mulia," ujar Mandrawata lagi sambil melirik Sakawuni."Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?" Pancing Gaja Ireng.Mandrawata terdongak. Gaja Ireng memang bermaksud menyindir. Mandrawata menangkap maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya. Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu. Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Gaja Ireng."Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!" suara Sakawuni terdengar lembut dan halus, namun nadanya menyimpan kebengisan dan kekejaman."Kau dengar permintaan putriku, Mandrawata?" Gaja Ireng