Namun gadis itu sudah tidak mendengar lagi peringatan ayahnya. Dengan cepat Sakawuni menerjang Si Buta dari Sungai Ular. Gerakan-gerakan Sakawuni segera berubah gemulai setelah berada di depan pendekar muda itu.
"Hati-hati, Si Buta dari Sungai Ular. Jurus itu sangat berbahaya!" Begawan Pasopati mengingatkan.
"Ah, indah sekali tarianmu, ayo kita lihat! Apa Tarian Ularmu, lebih hebat dari ‘Tarian Ular Putih’ milikku," sahut Manggala sambil merentangkan kedua tangannya.
Tangan Si Buta dari Sungai Ular bergerak-gerak gemulai. Seperti sepasang ular yang sedang menari. Itulah jurus 'Tarian Ular Putih'. Suatu jurus yang sebenarnya bukan jurus andalan. Jurus ini dikeluarkan karena Manggala menganggap jurus yang dikeluarkan Sakawuni tidak berbahaya. Dan lagi Manggala tidak ingin gadis itu celaka. Hanya satu yang ingin dicabut nyawanya yakni, Gaja Ireng!.
Semua orang yang menyaksikan, menahan napas ketika gerakan gemulai dari jurus 'Tarian ular' berubah
Sakawuni bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai. Bibirnya tersenyum ketika sebuah perahu besar dengan layar lebar mulai terlihat. Di ujung tiang layar, berkibar selembar bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai. Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan. Sebuah Kadipaten kecil yang berpenduduk cukup makmur."Suiiit...!" Sakawuni bersiul nyaring yang disertai tenaga dalam. Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa orang. Sakawuni segera terjun diiringi gerakan salto beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat. Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah menepi, Sakawuni menarik tali kekang kuda, dan tanpa berpi
"Hem, siapa dia?" tanya Sakawuni mengerutkan kening.Codet menjentikkan jarinya. Kemudian muncul dua orang laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun. Cantik dan berkulit kuning langsat. Pakaiannya dari sutra halus. Perhiasannya semua dari emas. Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.Sakawuni memberi isyarat agar anak buahnya keluar. Codet menutup pintunya lagi. Sakawuni kembali mengamati wanita muda itu. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar."Siapa kau?" tanya Sakawuni.Wanita muda itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Sakawuni, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat."Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?" dengus Sakawuni mulai kesal karena wanita itu diam saja."Aku..., aku Rara Kemuning," jawab wanita muda itu tergagap, "Aku putri patih kerajaan Galung.""Oh, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya putri seorang p
"Masuk!" teriak Sakawuni.Codet muncul. "Ada apa?" tanya Sakawuni."Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri," lapor Codet."Hm, biar saja. Aku dan Rara tetap di sini Kalian bereskan semua barang-barang.""Hamba laksanakan, Tuan Putri.""Tunggu!" cegah Sakawuni melihat Codet akan berbalik. Codet membungkukkan badannya lagi. "Beritahu pada semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Rara Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik angkatku!" ujar Sakawuni keras."Hamba, Tuan Putri," Codet membungkuk hormat. Hatinya sedikit diliputi keraguan."Pergilah! Laksanakan tugasmu!"Codet membungkuk lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat. Sakawuni memandang Rara Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan."Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar. Nyalinya kecil," Sakawuni menjentikkan jarinya.Rara Kemuning hanya menelan ludah saja. Dia selalu ngeri jika lihat tampang laki
Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya. Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam. Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka. Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi."Kang Mas...."Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya."Untuk apa pedang itu?" tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh kecemasan."Aku akan mencari Rara Kemuning," sahut Patih Giling Wesi."Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?""Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Rara Kemuning dirampok oleh Gerombolan Kembang Lembah Hantu.""Oh...!" Rara Angken menekap mulutnya."Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita," lembut suara Patih Giling Wesi."Rara,
Mereka pun memacu kudanya dengan cepat. Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi. Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu. Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai. Tinggal Manggala sendirian masih duduk menghadapi mejanya. Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri."Tambah lagi araknya, Tuan?" Pak Tua menawarkan."Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol" sahut Manggala. Pak Tua itu duduk di depan Manggala.-o0o-Matahari hampir condong ke Barat. Dua ekor kuda berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur. Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Kembang Lembah Hantu. Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu. Inilah markas gerombolan Kembang Lembah Hantu. Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras. Ketika pintu terbuka, kedua tangan Sakaw
Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi. Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi. Matanya dengan seksama berkeliling. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda. Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya."Mandrawata," desis Badil mengenali penunggang kuda itu. Badil menunggu beberapa saat sampai Mandrawata mendekat. Kemudian dia meloncat turun ketika Mandrawata tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil. Mandrawata dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari atas. Pedang Badil segera membabat namun luput. Dia kecewa. Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang. Yang didapati hanya tempat kosong saja."Licik!" dengus Mandrawata ketika kakinya menjejak di tanah."Kau juga lebih licik dariku, Mandrawata," balas Badil."Siapa kau?' tanya Mandrawata yang heran melihat penyerang gelapnya tahu
MATAHARI baru saja menampakkan diri. Sinarnya membias menerangi mayapada. Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan lesu. Semalaman dia mencari di sekitar sungai naga, tapi tidak sedikit pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan."Rapaksa!""Hamba, Gusti Patih," salah seorang tamtama segera mendekat."Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini," kata Patih Giling Wesi."Adya Bala, istirahat!" teriak tamtama Rapaksa keras. Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing. Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan. Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai. Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku.Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya. Didekatinya Patih Giling Wesi."Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda keprajuritan di pinggir su
Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya. Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta. Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka. Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga. Gerakannya cepat, sukar diduga. Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin. Dia cepat membaca gerakan lawan. Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya. Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Sakawuni jadi geram. Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang. Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak."Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!"