Mendengar kata-kata Antaguna yang cukup tajam itu, Puti Bungo Satangkai akhirnya tidak tahan untuk bereaksi. Setidaknya, ia ingin membalas kata-kata kasar pria tersebut andai ia bisa bicara.Tapi, tidak masalah! Pikirnya.Entah terhasut oleh apa, Bungo justru mendekati Antaguna, lalu menggunakan kedua tangannya untuk berbicara kepada Antaguna meskipun ia tidak yakin bahwa pria itu akan paham.‘Memangnya kenapa jika aku pasrah pada perbuatanmu? Kau sudah jelas berniat memperkosaku, dan aku berada dalam pengaruh totokanmu!’Antaguna membelalak, ia mengubah posisi duduknya dengan lebih baik. Memandang tak berkedip pada Bungo yang berhenti sekitar lima langkah di hadapannya.“Kau—”‘Kenapa?’ Bungo mendelik. Kata-kata Antaguna tadi itu sangat menyingung perasaannya. ‘Aku memilih pasrah saja sebab aku tidak bisa bicara! Apa kau buta? Tidak bisa melihat kekuranganku?’Bahkan sang gadis sampai terengah-engah sebab merasa sangat emosi dalam menyampaikan kata-katanya dengan gerakan isyarat tang
‘Tentang kemampuanku,’ ujar Puti Bungo Satangkai dengan gerakan isyarat tangannya kepada Antaguna.“Maksudmu,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Sabai Nan Manih?”Bungo menunjuk Antaguna sembari mengangguk-angguk. ‘Lalu apa?’“Apanya yang apa? Jangan membuatku pusing, gadis sialan!”‘Hubunganmu dengan Inyiak Gadih? Dasar gila!’“Jangan mengejekku gila, berengsek!” Antaguna mendengus.Dengan langkah santai, Bungo mendekati dipan berlapis beledu itu lagi, lalu duduk manis di tepiannya.Antaguna malah mengernyit, mendesah panjang dan berat demi menanggapi tingkah sang gadis.“Berengsek!” makinya. “Jika aku tahu akan begini jadinya, lebih baik aku membunuhmu saja di dusun tadi itu!”‘Kau tidak akan melakukan itu kepadaku.’“Jangan sok yakin!” sahut Antaguna. “Kau tidak mengenalku sama sekali.”‘Itukah yang kau pikirkan?’Paling tidak, dengan mewarisi kesaktian dan ilmu silat Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih, Bungo juga mendapat keterampilan untuk membaca satu gelagat sebagaimana den
Sembari menunggu Antaguna yang entah sedang melakukan apa di dalam ruangan yang ada di ujung sana itu, Puti Bungo Satangkai memandang keseluruhan ruangan tersebut dengan melangkah santai, dari titik yang satu ke titik lainnya.Ruangan luas yang dipahat di dalam sebuah tebing ini terasa lebih sejuk, pikir sang gadis. Mungkin karena berdekatan dengan kawasan pantai, dan di sekitar tebing itu tadi ia sempat melihat pepohonan masih cukup rimbun, juga di bagian atas tebing itu sendiri.Lalu, Bungo mendengar suara cipratan air, ia tersenyum. Dugaannya, Antaguna pasti sedang mandi di dalam ruangan di ujung sana.Merasa pria tinggi besar dan berotot itu akan lama di dalam kamar mandinya, Bungo memutuskan untuk keluar saja.Angin laut yang berembus langsung menyapa sang gadis ketika ia baru saja berada di luar. Ia melihat kuda hitam bernama Sikumbang, sedang asyik mengunyah rumput di sisi kanan.Karena berada di tepi laut, tentu saja tanah di sekitar sana tertutup oleh pasir putih. Bungo melih
Selama pria berbadan besar dan berotot melakukan hal tersebut, selama itu pula Puti Bungo Satangkai memerhatikan. Bukan tentang ia yang takut diracuni atau sejenisnya, tapi lebih kepada ekspresi pria itu sendiri yang cukup menggelikan baginya.“Kau lihat?” ujar Antaguna sembari mengusap mulutnya dengan punggung tangannya. “Tidak ada racun dalam makanan itu, gadis sialan!”Lalu, Bungo tertawa-tawa sembari menunjuk-nunjuk Antaguna. Ia sudah tidak bisa lagi menahan tawanya, terlebih pada saat itu mulut Antaguna belepotan.“Berengsek!” dengus Antaguna. “Kau malah menertawaiku.”‘Kau sangat lucu!’Antaguna membelalak. “Hei, jangan sembarangan menilaiku. Aku ini penjahat, seorang pemimpin penjahat pula. Jangan seenaknya menganggapku sebagai seorang pelawak! Kau menjatuhkan harga diriku, kau tahu itu?!”Tapi wajah kesal pria tersebut justru semakin membuat tawa sang gadis berderai, seperti ia sulit untuk menghentikannya.“Berengsek!” dengus Antaguna.Dan ia memilih untuk diam sampai gadis it
“Ya, ya,” ujar Antaguna tanpa melirik sebab ia sudah paham dengan apa yang hendak ditanyakan oleh sang gadis. “Kau bertanya apakah aku mengenali benda yang menjadi liontin kalungmu itu, bukan?”Bungo mengangguk-angguk.“Maaf-maaf saja, gadis aneh,” ujar Antaguna. “Aku tidak tertarik dengan benda-benda seperti itu. Aku lebih suka merampas permata, emas, berlian, atau perak. Jadi, yah,” ia mengendikkan bahunya. “Aku tidak tahu.”Bungo mendesah panjang, ia memerhatikan liontin di tangannya itu untuk sesaat sebelum ia simpan kembali ke balik bajunya.Antaguna menyadari perubahan yang sesaat di wajah sang gadis, ia menghela napas dalam-dalam.“Hei,” ujarnya, lalu ia duduk di bangku panjang itu, di samping kiri Bungo, dipisah oleh piring tembikar. “Apakah kau turun gunung untuk mencari sesuatu yang ada hubungannya dengan liontinmu itu?”Bungo mengangguk.“Lalu, kemana tujuanmu sebenarnya, sampai-sampai kau rela meninggalkan makam Sabai Nan Manih dan suaminya itu?”Sang gadis meraih sebuah r
‘Bisakah kau menunjukkan padaku jalan tercepat untuk mencapai Istana Minanga?’ tanya Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyaratnya pada Antaguna.Antaguna menghela napas dalam-dalam. Sepertinya memang ada hal yang sangat besar yang ingin dicari tahu oleh gadis yang satu ini, pikirnya.“Tidak ada jalan tercepat untuk mencapai Kotaraja,” ujar Antaguna sembari menunduk. “Tidak dari kawasan Pantai Sungai Suci ini.”Jadi, itu nama kawasan nan elok ini? pikir Bungo.“Jalan tercepat,” Antaguna melirik lagi wajah indah di samping kanannya itu. “Hanyalah dengan kau secepatnya tiba di Danau Singkarak. Di sisi timur danau itu, kau akan menemukan pintu pelabuhan besar yang langsung terhubung dengan titik awal Sungai Batang Kuantan. Dari sana, kau bisa menyewa perahu untuk menuju ke Kotaraja.”Antaguna berdiri, pasir-pasir yang menempel di celananya tidak ia hiraukan.“Kau akan tiba di Danau Singkarak jika kau menelusuri perbukitan itu!”Bungo melirik ke arah yang sedang ditunjuk oleh Antaguna.“G
Puti Bungo Satangkai hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja demi mendengar nama julukan yang diberikan oleh Antaguna tersebut. Ya, nama julukan yang berawal dari mulut anak buahnya sendiri.Sang gadis sama sekali tidak tersinggung dengan nama Sibunian Tongga itu, yang memiliki makna makhluk halus yang selalu sendirian.Antaguna tercekat ketika sang gadis menyentuh tangannya dengan lembut, rona merah di wajahnya semakin menebal.“A—Apa lagi yang kau inginkan?” ujarnya tanpa embel-embel kata sialan seperti sebelumnya.Bungo tersenyum. ‘Kau pria baik. Aku akan pergi sekarang. Bila masih ada jodoh pertemuan, aku ingin bertemu lagi denganmu.’“Untuk apa?”‘Mengenalmu lebih jauh.’Antaguna mendengus, lebih seperti sedang menahan tawanya. “Kau benar-benar menyebalkan.”‘Aku tahu,’ Bungo tersenyum lagi. ‘Maukah kau berjanji?’Sebelah alis mata Antaguna terangkat lebih tinggi. “Hei,” ujarnya, tidak dengan nada yang tinggi. “Kita tidak terikat oleh apa pun. Jadi, jangan meminta
Pagi datang dengan kicauan burung-burung liar yang menyambut keceriaan bersamanya, pertanda telah dimulainya awal kehidupan yang baru, yang selalu menjanjikan kebahagiaan lewat tangan-tangan sang mentari yang menyentuh cakrawala hingga memerahkan langit timur, atau warna jingga keemasan yang semakin ke ujung semakin memudar.Puti Bungo Satangkai menggeliat sedemikian rupa, ia mengerjap-ngerjap, membuka matanya, sebelum akhirnya keluar dari cekungan tersebut.Ia merentangkan tangannya, menghirup kesegaran udara perbukitan di awal pagi itu. Memandang ke sana dan kemari demi untuk mengawasi kondisi di sekitar. Sama, kondisi di sana masih sama seperti kemarin.Sang gadis mencoba untuk melangkah ke samping kiri, mencari-cari sesuatu, dan akhirnya ia menemukan sesuatu tersebut. Sebuah aliran kecil di antara bebatuan cadas.Dengan air yang mengalir dan sangat dingin itu, Bungo membasuh mukanya, meminum air tersebut beberapa tegukan.Yah, itu sudah lebih daripada cukup, pikirnya. Mungkin nant