Rapat melalui apliasi zoom it hari itu berjalan dengan lancar. Pak Rano selaku direktur dari NL Production bersedia mengirimkan salinan kontraknya padaku. Bahkan Pak Rano juga banyak memberikan nasihat. “Saya suka sekali dengan sikap anda yang teliti. Sebagi calon patner bisnis kita memang harus mempelajari surat kontrak dengan lebih teliti. Agar kita bisa bekerja sama dengan lebih nyaman ke depannya.” Aku menganggukan kepala setuju. “Terima kasih banyak Pak. Bahkan saya masih tidak percaya jika bayaran saya setinggi itu.” Di layar laptopku, Pak Rano sudah tertawa terbahak-bahak. “Mungkin karena anda mengira drama series ini bukan di angkat dari novel. Tapi, tetap saja saya juga harus mengapresiasi jumlah follower serta respon dalam bentuk like dan komen. Harga untuk kontrak kita yang saya tawarkan sangatlah pantas anda dapatkan. Anda akan mendapatkan bagian lima puluh juta rupiah setiap episode. Jika di kali sepuluh maka anda sudah dapat lima ratus juta rupiah.” Sampai detik ini a
“Silahkan duduk dulu Nga.” Pandangan pria yang sudah aku kenal sejak duduk di bangku SMA itu beralih pada wanita yang mengantarku. “Tolong buatkan dua teh hangat dan satu es sirup untuk adeknya.” “Baik Pak.” Mas Aris masih terkekeh tidak percaya kami bisa bertemu seperti ini. Begitu juga dengan aku. Setelah bertahun-tahun kami tidak pernah bertemu lagi sejak dia lulus SMA lebih dulu. “Aku nggak menyangka kalau Aris Haryanto itu kamu mas. Nama kamu kan umum sekali.” “Enak saja. Walaupun namaku umum, setidaknya aku sudah punya kantor.” Aku menganggukan kepala setuju. “Apakah dia anak kamu?” Aku kembali menganggukan kepala. “Iya. Namanya Mawar.” “Halo Mawar. Nama Om adalah Aris. Panggil saja Om Aris. Salam kenal.” Mas Aris memberikan sebuah permen lollipop pada Mawar. Putriku itu sempat melihatku meminta ijin. “Boleh. Jangan lupa ucapkan terima kasih pada Om Aris.” Ucapku setelah Mawar mengambil permen itu. “Terima kasih Om.” “Iya sama-sama.” Tidak lama kemudian wanita yang sep
POV Orang Ketiga “Kamu mau cari apa sih Rum? Bukannya sebentar lagi kamu harus ujian akhir semester ya?” Tina menatap putri bungsunya sebal. “Cari baju baru aja Ma. Tolong beliin satu aja. Mama kan tahu kalau uang jajanku di potong sama Papa. Mana Om Ragil sudah nggak bisa mengirim uang padaku lagi.” Bibir Arum mencebik kesal. “Oke. Satu aja ya. Kalau kedua kakakmu tahu dan ikut minta juga, bisa tekor Mama nanti.” “Sip.” Seru Arum senang. Setelah membeli satu baju untuk Arum di tambah dengan membeli perlengkapan dapur di minimarket mall, mereka mampir ke restoran yang ada di dalam mall itu. Seorang pelayan berjalan mendekati meja mereka. Arum lebih dulu menyebutkan pesanannya. Lalu, di susul dengan Tina. Saat pelayan baru saja pergi dari meja mereka, mata Tina tidak sengaja melihat sosok Bunga yang sedang pergi dari restoran itu sambil menggendong Mawar. “Rum coba kamu lihat ke arah sana. Itu Bunga dan Mawar kan?” Pandangan Arum tertuju ke arah yang di tunjuk Mamanya. “Iya benar
Karena Bunga tidak hadir dalam persidangan pertama mereka, akhirnya mediasi yang sudah di jadwalkan oleh pihak pengadilan batal. Selain itu, Ragil juga baru tahu jika Bunga dan Satrio sudah mengantongi sejumlah bukti yang di bawa oleh pengacara Bunga. Mulai dari foto dan video penganiayaan yang di lakukan oleh Ragil pada Bunga, beberapa dokumen yang merupakan hasil visum Bunga dan bukti perselingkuhan di antara Ragil dan Arum. “Semua itu bohong Yang Mulia.” Ragil menggebrak meja karena panik semua keburukannya sudah terbongkar. “Saudara tergugat tolong tenang.” Kata Hakim yang memimpin jalannya sidang. Dari persidangan ini juga Ragil baru tahu jika setiap sudut rumahnya sudah di pasang kamera CCTV. Karena itulah Bunga dapat dengan mudah memberikan bukti ke pengadilan tentang alasannya menggugat cerai Ragil. Dari kamera CCTV yang di pasang oleh Satrio, Bunga juga dapat mengetahui letak berkas yang di simpan oleh Ragil. “Sial.” Gumam Ragil kesal. Persidangan akan di lanjutkan dua m
Keesokan harinya, Ragil kembali pergi ke gedung dimana kantor pengacara Pak Hendra berada. Gedung dengan empat tingkat itu tidak hanya di sewa oleh kantor pengacara di lantai dua, ada juga restoran di lantai satu, kantor akuntan di lantai tiga dan bimbingan belajar di lantai empat. Jadi, hari itu Ragil bisa berdiam diri di restoran sambil mengawasi orang-orang yang masuk ke dalam lift atau menaiki anak tangga. Karena akses tangga dan lift juga berada di dalam area restoran itu. Jarum jam baru menunjukkan pukul delapan pagi saat mobil yang di tumpangi Ragil berhenti di tempat parkir gedung. “Berapa pak?” Tanya Ragil pada sopir taksi online. Pria paruh baya itu menyebutkan biayanya lalu di bayar oleh Ragil. Pria itu memang memutuskan untuk naik taksi online agar jika Satrio atau Bunga datang ke kantor pengacara, tidak melihat keberadaan mobilnya di tempat parkir. Ia sudah turun dari mobil taksi lalu berjalan masuk ke dalam restoran. Ragil lalu memesan menu nasi dan ayam geprek di tamb
Ragil benar-benar melakukan rencananya pada malam hari. Setelah ia mengintai rumah Bu Rati dan memastikan jika Satrio sudah pulang ke rumah. Motor yang ia kendarai melaju menuju pinggiran kota. Dimana rumah Satrio berada. Mudah saja bagi Ragil untuk menyelinap ke dalam pagar. Bangunan pagar itu tidak terlalu tinggi. Bagian ujungnya juga tidak runcing. Ragil sudah memastikan hal itu saat mengamati pagar rumah Satrio dari depan toko swalayan. Ia memarkirkan motornya di depan toko swalayan. Setelah itu, Ragil menyebrangi jalan dan langsung memanjat pagar rumah. Berharap tidak ada yang melihat aksi nekatnya kali ini. Kakinya meloncat ke tanah. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Ragil berjalan mengitari halaman samping rumah yang juga sudah di tembok tinggi. Di halaman paling belakang, pria itu tidak bisa untuk tidak terpesona melihat bentuk bangunan rumah Satrio yang sangat aestetik. “Pantas saja rumah ini di kelilingi oleh pagar. Tapi, untunglah aku masih bisa masuk.” Pandangannya meng
POV Bunga Sudah tiga hari ini aku dan Mawar berada di Jakarta. Setelah menandatangani surat pernjanjian kontrak dengan Pak Rano, aku dan Mbak Andini kembali ke hotel yang di sewakan untuk kami. Mbak Andini sudah kembali pagi ini juga. Sementara aku masih harus menjalani pelatihan untuk membuka bimbingan belajar. Tidak hanya itu, aku juga sudah mendaftar secara online untuk kuliah di universitas terbuka yang ada di kotaku. Dengan uang kontrak yang sudah di kirim separuhnya ke rekening atas nama Ibu, aku bisa merealisasikan beberapa rencanaku. Pelatihan akan di adakan jam satu siang. Jadi, aku dan Mawar masih punya waktu sebelum check out dari kamar ini. Setelah memandikan Mawar, aku mengambil hp yang ada di atas tempat tidur. Ada pesan masuk dari Satrio. [Gawat mbak. Mas Ragil kemarin malam membobol rumah ini. Dari rekaman CCTV dia sudah melihat salinan surat kontrak kamu yang ada di atas meja. Berarti Mas Ragil juga sudah tahu jika kamu dan Bunga tinggal di rumah ini.] Hp yang sed
POV Orang Ketiga Hari demi hari sudah berlalu. Bunga dan Mawar belum kunjung pulang ke rumah yang ada di pinggiran kota itu. padahal Ragil sudah menyewa teman Bu Jumi untuk mengintai rumah Satrio. Pria paruh baya yang bekerja sebagai driver ojek online itu di tugaskan untuk mengambil penumpang di sekitar rumah Satrio. Dengan imbalan uang dua ratus ribu per hari. “Halo. Bagaimana Pak Diman? Apakah Satrio sudah pulang ke rumah itu?” Tanya Ragil lewat telpon di hari kelima kepergian Bunga dan Mawar ke Jakarta. “Belum Pak. Sejak kemarin rumah itu kosong. Satrio sama sekali tidak datang ke rumah itu.” Ragil menghela nafasnya pelan. Ia juga tahu hal itu karena mengintai Satrio sejak beberapa hari lalu. Pagi ini sebelum berangkat kerja, warung Ibu mertuanya masih buka. Satrio juga sedang ada di rumah. Kata para tetangga laki-laki itu sedang mengerjakan proyek lagi dari perusahaan luar. “Oke. Aku juga sedang memantau Satrio dan Ibu mertuaku di desa ini. Jika kamu tidak ada pelanggan, paka