Share

Adu Mulut

Hannah pikir kalau sikap Sebastian selama beberapa hari terakhir sudah cukup menyebalkan dan membuatnya ketakutan, tapi ternyata ia salah. Sejak menerima telepon entah dari siapa sikap Sebastian seperti gunung es. Dingin dan berjarak. Pria itu bahkan menganggapnya seperti makhluk tak kasat mata. Oh, mereka makan bersama di meja yang sama tapi sama sekali tidak ada obrolan basa-basi.

Pertanyaannya bahkan hanya mengambang di udara. Hannah penasaran. Siapa yang menelepon dan apa yang dikatakan orang itu sampai membuat Sebastian seperti ini? begitu dingin dan kaku.

Hannah menatap siluet Sebastian yang sedang duduk sendirian dan sibuk dengan laptopnya. Pria itu bekerja seharian seolah hidupnya akan berubah kacau jika dia tidak menyentuh benda mungil persegi itu barang sekejap.

Hannah melepas kain yang melekat di tubuhnya, menyisakan pakaian renang yang ia kenakan. Jika Sebastian memutuskan menjadi patung di tempat seindah ini, Hannah tidak akan mengusiknya. Ia akan menikmati keindahan Sisilia ini sendirian. Ia menceburkan diri ke kolam dan langsung merasa semangat.

Dari sini ia bisa melihat perkebunan anggur luas yang berada jauh di bawah villa. Ia bahkan bisa melihat gunung Etna yang masih aktif.

Pemandangan dari villa ini luar biasa.

“Kita pergi.”

Kalimat datar tanpa nada itu membuatnya menoleh. Sebastian berdiri menjulang di tepi kolam. Apa kata pria itu tadi? Pergi?

“Pergi?” tanyanya memastikan ia tidak salah dengar.

“Ya, bergegaslah. Pesawat akan datang dalam beberapa jam.”

“Kita baru 2 hari di sini!” pekiknya bingung.

Ekspresi menyebalkan itu kembali menghiasi wajah Sebastian. “Lalu?”

Hannah ingin mengumamkan protes, tapi mengingat suasana hati pria itu sedang buruk ia tidak ingin mencoba peruntungannya.

“Baiklah,” balasnya lemah.

Sebastian menatapnya sedikit lebih lama sampai membuat Hannah gugup.

“Apa?” tanyanya.

“Kau bisa tinggal di sini kalau kau mau. Pesawat akan mendarat saat kau ingin pulang.”

Tempat ini indah dan menakjubkan, tapi jika ia hanya sendirian di sini tanpa siapapun jelas hal itu akan mengganggu.

“Tidak, aku ikut pulang,” putusnya.

Sebastian mengangkat bahu kemudian berbalik.

Apa mungkin Tara yang menelepon waktu itu? Rasa penasaran mengusiknya saat sepasang visual tajamnya menatap punggung tegak dan kokoh Sebastian. Bagaimana mungkin sosok yang begitu dingin ternyata masih bisa lebih dingin lagi?

Hannah mengangkut kopernya, menatap kamarnya dan kolam renang yang berada persis di samping kamarnya dengan perasaan sedih. Andai saja mereka bisa tinggal selama beberapa hari lagi.

Hannah menggeleng dan bergegas menyeret kopernya. Begitu pintu kamarnya terbuka ia langsung berpapasan dengan Sebastian yang juga menyeret kopernya dari tangga. Pria itu mengenakan kaca mata hitam, menyembunyikan emosi yang ada di baliknya.

“Pesawat akan mengantarmu sampai bandara di sana sudah ada supir yang menunggu.”

Apa maksudnya itu?

“Kita tidak akan berangkat bersama?” bisiknya dengan kemarahan tertahan.

“Tidak. Aku akan ke Roma untuk urusan bisnis.” Sebastian menatap jamnya. “Ayo, sebentar lagi mereka akan tiba.”

Kenapa ia harus setuju dengan pernikahan sialan ini, batin Hannah jengkel.

Karena hanya itulah yang kau miliki bukan, suara hati Hannah mengingatkannya.

Diingatkan pada kenyataan pahit itu berhasil memberi kekuatan pada Hannah. Ia menyeret kopernya masuk ke mobil yang sudah menunggu.

“Berapa lama?” tanyanya tanpa menatap Sebastian.

“Apa?”

“Berapa lama kau akan pergi?”

“Kenapa? Sedang memutuskan apa yang akan kau lakukan untuk memanfaatkan situasi ini?”

Ketegangan diantara mereka meningkat tajam. Tubuh Hannah bahkan gemetar karena terlalu marah pada Sebastian. Ia menoleh tapi Sebastian tidak menatapnya. Pria itu menatap lurus ke depan. Saat ini ia bahkan tidak peduli jika sopir yang membawa mereka mendengar ucapannya.

“Apa kau harus sesinis itu?”

“Aku tidak punya alasan untuk melakukan sebaliknya.”

Hannah tertawa. “Kau tidak harus bersikap bermusuhan padaku Sebastian! Aku bukan Tara dan jangan melampiaskan kemarahanmu padaku!”

“Kau wanita.”

Apa?

Lengkungan sudut mulut Sebastian meninggi. “Dan setahuku wanita selalu tahu bagaimana berbohong dengan baik dan memanfaatkan keadaan demi kepentingan mereka bukan? Apa aku salah Hannah?”

“Aku tidak berbohong padamu!”

“Saat ini tapi akan datang waktu itu Hannah. Ini hanya soal waktu. Oh, sekedar mengingatkan jika kau berpikir untuk memanfaatkan keadaan ini aku pastikan untuk memuatmu merasakan sebaliknya. Aku ahli dalam memberikan rasa sakit.”

“Kau tahu kalau kau ini kejam?”

Sebastian mengedikkan bahu, tampak tidak terpengaruh. “Aku tidak berniat menjadi orang yang murah hati.”

Rahang Hannah terkatup rapat. Ia sungguh ingin mencakar Sebastian untuk melampiaskan kekesalannya. Pria ini luar biasa menyebalkan. Apa yang menyebabkan semua ini? Sebastian berubah seperti makhluk yang tidak punya hati sejak menerima telepon sialan itu.

Dan Hannah memutuskan akan mencaritahu apa yang terjadi.

“Konsep seperti apa yang kalian inginkan? Aku punya beberapa contohnya. Kalian bisa melihatnya dulu,” ujar Hannah lembut pada sepasang kekasih yang duduk di hadapannya. Hannah mengeluarkan sketsanya. Seperti nama tokonya ‘your dream’ ia ingin memastikan setiap pengantin memiliki gaun yang mereka impikan dalam pernikahan mereka.

“Ini indah sekali,” seru wanita itu saat menatap contoh sketsa gaunnya.

“Ini masih belum sempurna. Aku bisa menambahkan beberapa sentuhan untuk membuatnya tampak berkilauan. Bagaimana menurutmu?”

“Sempurna,” gumam wanita itu dengan mata berbinar.

“Kalau begitu sudah diputuskan?” tanya pria itu pada kekasihnya.

Wanita itu mengangguk antusias. Tatapan penuh cintanya telah menjelaskan semuanya.

“Kalau begitu pilihan kalian sudah dipastikan?” tanya Hannah lembut dengan senyum lebarnya.

Sepasang kekasih itu mengangguk menanggapinya.

“Seperti nama tokomu. Kurasa aku akan mendapatkna gaun pengantin impianku.”

Hannah tertawa. “Senang mendengarnya.”

Hannah mengantar kepergian pembelinya sampai depan pintu.

“Mereka menyukainya?”

Hannah berbalik menatap sahabatnya. “Ya, kurasa seperti itu,” ujarnya sambil lalu saat tangannya mulai bergerak mengumpulkan contoh sktetsa miliknya.

“Aku tidak mengerti. Kenapa kau mau repot-repot bekerja saat kau memiliki suami yang memiliki segalanya, Hannah.”

Hannah membeku mendengarnya.

“Dan yang lebih membingungkan kau mempertahankan toko kecil ini saat kau bisa memiliki toko di manapun yang kau inginkan.”

Hannah menarik napas panjang yang rasanya amat sulit dilakukan. Ia mengingatkan dirinya sendiri kalau inilah yang ia inginkan. Berusaha mengabaikan denyut menyakitkan pada dadanya Hannah memaksa senyumnya.

“Ini menyenangkan. Toko ini sudah cukup baik. Bagaimana menurutmu, Tina?”

Wanita bernama Tina mengangguk, meski keraguan sekilas membayang di wajahnya.

“Lebih bagus seandainya kau meminta pada suamimu untuk memperluas toko ini.”

“Tidak, aku tidak akan melakukannya.”

“Kenapa?”

Bukankah sudah jelas?

“Aku ingin mempertahankan tempat ini. Dari sinilah segalanya berawal,” bisiknya pelan, menatap tokonya dengan senyum mengembang.

Meski tidak besar tapi tempat ini membuatnya berani bermimpi. Dan ia tidak akan membiarkan kekuasaan dan campur tangan Sebastian menghancurkan apa yang sudah ia bangun dengan susah payah.

Ia telah melalui banyak hal untuk sampai di tempat ini.

“Kau tahu kalau kau itu konyol?”

“Aku setuju.”

Jawaban itu membuat Hannah berbalik dan ia langsung mematung. Sebastian berdiri di ujung pintu dengan setelan lengkapnya. Menatapnya dengan wajah datarnya yang biasa.

“Halo Hannah.”

Apa yang dilakukan Sebastian di sini? Bukankah pria itu sedang melakukan perjalanan bisnis?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status