Mereka melewati lorong sepi dalam badai amarah yang sepertinya siap menghancurkan keduanya. Begitu sadar tidak ada yang memperhatikan, Sebastian melepas semua ketenangan yang selama ini dipasang di wajahnya. Tangannya yang kuat dan besar mencengkeram lengan Hannah dengan kuat.“Lepaskan! Kau menyakitiku, Sebastian!” pekik Hannah diantara usahanya melepaskan diri dari Sebastian.“Diam! Atau kau akan membuat kita berdua menjadi pusat perhatian.”Sebastian menariknya—nyaris menyeretnya—saat menaiki tangga yang dihiasi karpet Persia. Begitu mereka berada di depan sebuah pintu kayu berukiran rumit, Sebastian membuka pintu dan membantingnya detik itu juga.“Kau pikir apa yang kau lakukan?” tukas Sebastian kasar begitu melepas cengkeramannya pada Hannah.“Apa maksudmu?” tanya Hannah bingung melihat kemarahan Sebastian.“Aku mencarimu dan menunggumu pulang dan kau tidak pulang.”Apa sebastian marah karena ia pergi tanpa memberitahu laki-laki itu? “Kau marah karena aku pergi tanpa memberitahu
Hannah memanang dengan mulut terbuka saat Sebastian berlari menaiki dua tangga sekaligus. Jas pria itu sudah menghilang entah di mana. Hannah mengikuti dengan langkah gamang. Entah bagaimana ia memiliki perasaan kuat kalau kehadirannya di sini tidak diinginkan. Ia merasa seperti pengganggu. Saat melihat Sebastian membuka pintu kamarnya rasa penasaran Hannah terusik. Hanya satu orang selain pria itu yang tinggal di sana.Apa mungkin Tara yang sakit?Dikalahkan oleh rasa penasarannya Hannah terus mengekor tanpa suara saat melihat pintu kamar Sebastian terbuka. Sekilas ia bisa menangkap beberapa orang berpakaian putih mengitari ranjang king size milik sebastian, menghalangi keinginannya untuk melihat lebih jauh.Hanya orang yang betul-betul sakit parah yang membutuhkan sekumpulan dokter ini, pikir Hannah ganjil saat ia akhirnya masuk ke kamar Sebastian. Tidak ada yang menyadari kehadirannya.“Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?”Apa itu sebastian? Suaranya seperti orang tercekik.
“Sejauh ini semua persiapan sudah hampir rampung. Undangan sudah disebar dan iklan juga mulai dilakukan secara bertahap. Saat hotel ini sudah resmi kita akan melakukan pemberitaan secara luas.”Sebastian mendengarkan saat bagian pemasarannya menuturkan hasil presentasinya. Ada 5 orang yang terlibat dalam rapat rutin yang ia selenggarakan sebelum benar-benar meresmikan hotel yang ia bangun.“Sesuai dengan target pasar yang dituju, konsep hotel ini dibuat senyaman mungkin namun tetap trendy dengan spot yang menarik, unik dan tentunya modern. Salah satunya dengan membuat air terjun buatan yang bisa dinikmati setiap tamu.”Sebastian mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja dengan ritme teratur. Tatapannya yang tajam dengan cermat menilik setiap gambar yang ada di tabletnya.“Sejauh ini persiapan hampir 100%. Tujuh hari ke depan seluruh dunia akan mengetahui hotel ini.”Kepuasan itu berhasil membuat lengkungan sudut mulut Sebastian meninggi. Tujuh hari ke depan ia harus berangkat ke Roma ber
“Kau … membuat ini?”Hannah mengangguk berusaha menahan senyumnya. Jika mereka pikir ia akan menyerah semudah itu, well mereka belum mengenalnya. Hannah maju untuk menunjukkan gaun rancangan yang ia buat.“Kalian menginginkan gaun sempurna dan sudah kewajibanku untuk mewujudkannya,” ujarnya lembut, berusaha mengabaikan rasa puas yang mengalir dalam darahnya saat melihat wajah takjub Belle. Wanita itu tidak pernah melepaskan pandangannya dari gaun panjang menjuntai yang menyentuh lantai itu. Taburan mutiara hanya semakin menambah kilau gaun yang ia buat.“Kau menyukainya?” tanyanya pelan.Mulut Belle terbuka lebar. Bola mataa biru langit itu tidak berkedip selama lima detik penuh.“Ini … luar biasa.”“Sepertinya Belle jatuh cinta pada gaun itu.” Mark yang berdiri di samping Belle membuka suara. “Kau berhasil membuatnya kehilangan kata-kata.”Semua berkat tunanganmu yang ingin merobek gaunku, batin Hannah.“Aku akan datang dua hari sebelum pernikahan, itu jika kalian setuju mengenakan g
“Apa kau harus bertindak sejauh ini, Sebastian?” ucapnya marah. Beberapa hari terakhir Sebastian tidak lagi bersikap kejam padanya, setidaknya tidak ada lagi ucapan dingin bernada menuduh dari pria itu, tapi sekarang …“Apa ini permintaanmu atau Tara?” tanyanya lagi. Ia perlu tahu jika ternyata ini keinginan Sebastian tidak ada alasan baginya untuk menuruti permintaan aneh pria itu. Kenapa Sebastian bersikukuh ingin mempertemukan kami?“Tara ingin bertemu denganmu,” ucap sebastian sekali lagi untuk mempertegas pernyataannya.Tara yang memintanya? Kenapa wanita itu ingin bertemu dengannya? Untuk mengingatkannya? Ia tidak mengenal wanita itu dan bahkan tidak repot-repot mencari tahu tentangnya karena menurutnya ia dan Tara tidak akan pernah terlibat dalam situasi yang sama.Dan ternyata ia salah.“Kurasa itu bukan ide yang bagus. Dia pasti tidak ingin bertemu denganku. Mungkin kau perlu—““Permisi, Sir …”Ucapan Hannah terputus saat mendengar pintu dibuka. Wanita yang tadi menyambutnya
“Kau hanya wanita yang disewa dengan imbalan setumpuk uang.”“Kau tahu bagian yang paling menyedihkan, Hannah? Karena Sebastian bahkan tidak pernah menganggap kehadiranmu di rumah ini.”“Untuk seseorang yang sedang sakit ucapanmu terdengar tidak masuk akal, Tara. Kau tahu itu?”“Aku? Sakit? Jangan bodoh! Aku cukup sehat untuk melihatmu ditendang dari rumah ini.”Hannah berusaha meraup udara untuk paru-parunya yang mulai menunjukkan protes. Ia menumpu kedua tangan di atas lutut dengan napas ngos-ngosan. Peluh membasahi wajahnya tapi Hannah tidak terlalu memedulikannya.Suasana hatinya sedang kacau. Hannah mengambil tempat duduk dan merentangkan kakinya. Kata-kata Tara sukses membuatnya terkejut setengah mati. Pembicaraan itu berakhir dengan kacau. Kalimat yang diucapkan wanita itu masih terngiang di telinganya seperti radio rusak.“Kau baik-baik saja?”Hannah mendongak, sedikit mengernyit karena sinar matahari sedikit menghalangi pandangannya. “Aku baik,” ucapnya sambil lalu.“Sepertin
“Kau cacat. Kau tidak sempurna.”Pandangan matanya yang berkabut hanya bisa menatap nanar saat sorot mata penuh hina itu memandangnya seakan ia penyakit menular yang berbahaya.“Kau tidak mungkin serius.”“Apa ini alasanmu menahan diri selama ini? Kau hanya ingin menutupi cacatmu?”Ia ingin berlari, menghilang untuk menghilangkan rasa sakit ini, tapi kakinya lumpuh. Ia tidak bisa bergerak bahkan jika ia ingin. Kenapa udara serasa mencekiknya? Mimpinya hancur lebur dalam sekejap. Dadanya sesak mendengar kata-kata kejam yang menusuk itu. Seolah sebilah pisau ditancapkan tepat di jantungnya. Sumber kehidupannya.“Aku tidak menginginkanmu lagi. Kau bukan yang kuinginkan.”“Kau tidak mungkin serius.”“Tidak ada pria yang mau menerima wanita cacat sepertimu. Kau tahu itu.”“Kau mengatakan menerimaku apa adanya.”“Jangan bodoh dan sentimental. Tidak akan ada yang mau menerima wanita cacat sepertimu!”Ia membeku. Mati rasa. Rasa sakit yang menghujamnya seolah menelan habis seluruh napasnya. S
Bagaimana rasanya tidur nyenyak tanpa diiringi mimpi buruk? Well, mungkin senyum mengembang saat kau membuka mata cukup menyenangkan untuk memulai hari. Sinar matahari pagi menelisik melalui kisi-kisi kamarnya. Kamar ini dikelilingi dinding kaca yang membuatnya bisa memandang dari luar seandainya tidak ada tirai panjang yang membatasi penglihatannya.Hannah meregangkan otot-ototnya yang kaku dan bangun dari ranjangnya. Kenangan malam itu kembali melintas di kepalanya. Sebastian menciumnya. Tangannya terangkat menyentuh bibirnya. Ciuman lembut yang membuatnya melupakan segalanya, mengusir kabut gelap yang menyelimutinya.Pandangannya tanpa sengaja menatap dinding di kamarnya dan ia langsung terkesiap saat menyadari kalau ia sudah terlambat.Sial.Hannah meloncat dari ranjangnya dan berlari ke kamar mandi kemudian mandi secepat kilat. Ia membuat rekor mandi tercepat dalam hidupnya. Hannah membalut tubuhnya dengan handuk dan buru-buru meraih setelan kerja yang cocok dikenakan di musim pa