Tangan hangat yang membelit pinggangnya dan tubuh kekar yang membalut tubuhnyalah yang memungkinkan kenapa ia tidak merasa sakit sama sekali. Sebastian memeluknya seperti bayi yang membutuhkan perlindungan.“Auhhh.”Rintihan rasa sakit itu memaksa Hannah membuka mata. Ia melihat Sebastian meringis. Mengingat panjang tangga dan kerasnya tangga yang mereka lewati tidak mengherankan Sebastian merintih.“Ma-maaf. Ini semua salahku,” bisiknya terbata-bata.Sebastian melepaskan belitan tangannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Hannah dan langsung menyesali kebodohannya. Tentu saja tidak! Siapa yang masih baik-baik saja setelah jatuh berguling dari tangga?Hannah berdiri diikuti Sebastian. Ekspresi pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun padanya. Hannah mengigit bibirnya saat melihat Sebastian memejamkan mata karena kesakitan. Tangannya terulur hendak menyentuh Sebastian namun urung dilakukan saat ingat kalau pria itu kemungkinan tidak akan menyukai sentuhannya.“Maaf,” ujarnya kembali.Seba
“Ini yang kau andalkan untuk membujukku makan?”Hannah mengangguk. “Ini makanan andalanku. Rasanya enak. Cobalah.”Sebastian ragu. Apa yang spesial dari sepiring macaroni selain menambah asupan lemak dalam tubuh? Sebastian menatap Hannah dan makaroninya bergantian. Ekspresinya terlihat tidak meyakinkan.“Sepiring macaroni tidak akan membuat lemak ditubuhmu bertambah Sebastian. Cobalah, kau akan menyukainya.”Godaan itu berhasil membuat lengkungan alis Sebastian meninggi. Ia meraih sendok dan meniru gerakan Hannah yang sudah lebih dahulu menyuap makanannya. Sebastian menyendoknya dengan ragu dan saat makanan berbahan tepung itu menyentuh indra pengecapnya Sebastian menemukan dirinya terkejut.“Bagaimana?” tanya Hannah penasaran. Wanita itu terlihat takut mendengar jawabannya.Sebastian menarik napas. “Enak,” jawabnya.Senyum lebar Hannah adalah hadiahnya. “Kau menyukainya? Sudah kubilang ini masakan andalanku. Aku selalu menyukai makanan ini.”Sebastian tidak membantah. Makanan ini kha
Hannah mengernyit mendapati teleponnya tidak tersambung. Apa Sebastian sedang sibuk?“Anda baik-baik saja, Mam?”Pertanyaan itu membuat Hannah menyeret kepalanya ke belakang. Bibirnya melengkung, berharap senyumnya terlihat tulus. “Aku baik,” ucapnya pelan, menggenggam ponselnya erat sebelum kembali duduk di sofa di mana tamu tak diundangnya datang.“Jadi Anda setuju dengan wawancara ini?” Wanita berpotongan rambut sebahu dengan tatapan tajam itu menatapnya penuh harap.Sayangnya, Hannah tidak akan membuatnya semudah itu, tidak saat Sebastian tidak ada di sampingnya. “Aku senang sekali kalian datang ke tempat ini. Saat ini Sebastian sedang sibuk dengan proyek barunya. Jadi …”Wanita berambut sebahu itu tersenyum, jelas bisa membaca penolakan yang akan ia lakukan. “Tidak masalah. Andalah yang ingin kami temui. Tentunya seluruh masyarakat Glosari penasaran dengan sosok istri Sebastian Carter."Sial! Wanita ini mencoba memanfaatkan celah karena ketidakhadiran Sebastian.“Sayangnya saya t
Lagi? Sebastian lagi-lagi menolak teleponnya. Apa laki-laki itu memang sesibuk itu sampai tidak punya waktu untuk mengangkat teleponnya? Hannah mengigit kuku tangannya—kebiasaan yang selalu ia lakukan saat panik. Ia tidak suka kerumunan wartawan dan wawancara apa pun. Kenapa mereka harus mengusiknya? Seharusnya Sebastianlah yang mereka ganggu.“Hannah …”Hannah menarik kepalanya, menatap Tina yang berdiri di ujung pintu dengan sebuah ipad tergenggam di tangan.“Ada apa?” tanyanya.Saat melihat keraguan di wajah sahabatnya rasa penasaran Hannah terusik.“Ada apa Tina? Kau membuatku takut. Apa pelanggan tidak menyukai designnya? Atau ada yang membatalkan pesanannya atau—““Kurasa kau harus melihat ini.”Hannah mengernyit melihat wajah kaku Tina. Ekspresinya seolah wanita itu dipaksa memasuki ruangan ini.“Bacalah.”Meski heran Hannah menurut. Ia meraih ipad yang diangsurkan untuk melihat apa pun yang ingin ditunjukkan Tina.Satu detik mata cokelatnya membaca headline news yang ada di po
“Jadi itu hanya rumor tak berdasar?”“Ya. Aku membantunya semata karena kami pernah memiliki ikatan, tidak lebih.”“Bagaimana dengan Anda, Hannah. Suami Anda membantu mantan tunangannya, tentunya hal ini berdampak pada hubungan kalian?”Hannah tersenyum lembut. “Tidak. Sebastian sudah mengatakannya lebih dahulu sebelum memutuskan membantu Tara dan aku tidak keberatan.”“Sama sekali?”Hannah kembali menggeleng. “Sebastian tidak pernah melarangku untuk membantu siapapun dan aku melakukan hal yang sama padanya. Kupikir kepercayaan adalah yang paling penting untuk menjaga hubungan dan aku memercayainya."Sebastian mengangkat tangan Hannah dan menciumnya. “Sebastian suami yang baik dan akan selalu begitu," lanjut Hannah.“Benarkah? Suami Anda baru saja menggendong mantan tunangannya di depan umun tanpa memikirkan konsekuensiya …”Hannah berusaha keras mempertahankan ketenangan wajahnya. Satu tangannya yang bebas mencengkeram tepi gaunnya dengan kuat. Ia menarik sudut mulutnya, menunggu ju
Saat ini musim panas. Hannah memandang langit biru dari balkon tempatnya menginap. Glosari merupakan negara yang diimpit oleh Italia dan juga San Marino. Meski termasuk negara kecil, Glosaria memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Senyumnya mengembang saat menatap perkebunan anggur yang membentang luas di depan villa.“Bisa kukatakan kalau kau menyukai tempat ini.”Hannah menoleh, tersenyum menatap Tina. “Di sini tenang dan jauh dari sorot media.”“Tentu saja. Kau lupa siapa yang akan menikah?”Tentu saja ia ingat. Salah satu miliuner lainnya. Sampai saat ini ia sendiri masih tidak percaya kalau pengantin wanita itu mempercayakan gaun pernikahan di tangannya.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Nanti malam masih ada acara yang harus kita hadiri.”Hannah menggeleng lemah. “Kau pergi saja. Aku ingin istirahat.”“Kau yakin?”Hannah mengangguk. “Aku ingin istirahat. Dan terima kasih untuk gaunnya.”Hannah tidak tahu kalau akan ada pesta. Ia tidak mempersiapkan diri untuk situasi itu.
Mereka melewati lorong sepi dalam badai amarah yang sepertinya siap menghancurkan keduanya. Begitu sadar tidak ada yang memperhatikan, Sebastian melepas semua ketenangan yang selama ini dipasang di wajahnya. Tangannya yang kuat dan besar mencengkeram lengan Hannah dengan kuat.“Lepaskan! Kau menyakitiku, Sebastian!” pekik Hannah diantara usahanya melepaskan diri dari Sebastian.“Diam! Atau kau akan membuat kita berdua menjadi pusat perhatian.”Sebastian menariknya—nyaris menyeretnya—saat menaiki tangga yang dihiasi karpet Persia. Begitu mereka berada di depan sebuah pintu kayu berukiran rumit, Sebastian membuka pintu dan membantingnya detik itu juga.“Kau pikir apa yang kau lakukan?” tukas Sebastian kasar begitu melepas cengkeramannya pada Hannah.“Apa maksudmu?” tanya Hannah bingung melihat kemarahan Sebastian.“Aku mencarimu dan menunggumu pulang dan kau tidak pulang.”Apa sebastian marah karena ia pergi tanpa memberitahu laki-laki itu? “Kau marah karena aku pergi tanpa memberitahu
Hannah memanang dengan mulut terbuka saat Sebastian berlari menaiki dua tangga sekaligus. Jas pria itu sudah menghilang entah di mana. Hannah mengikuti dengan langkah gamang. Entah bagaimana ia memiliki perasaan kuat kalau kehadirannya di sini tidak diinginkan. Ia merasa seperti pengganggu. Saat melihat Sebastian membuka pintu kamarnya rasa penasaran Hannah terusik. Hanya satu orang selain pria itu yang tinggal di sana.Apa mungkin Tara yang sakit?Dikalahkan oleh rasa penasarannya Hannah terus mengekor tanpa suara saat melihat pintu kamar Sebastian terbuka. Sekilas ia bisa menangkap beberapa orang berpakaian putih mengitari ranjang king size milik sebastian, menghalangi keinginannya untuk melihat lebih jauh.Hanya orang yang betul-betul sakit parah yang membutuhkan sekumpulan dokter ini, pikir Hannah ganjil saat ia akhirnya masuk ke kamar Sebastian. Tidak ada yang menyadari kehadirannya.“Apa yang terjadi? Apa dia baik-baik saja?”Apa itu sebastian? Suaranya seperti orang tercekik.