Share

Tantangan

“Maaf, anggap saja aku tidak mengatakan apa pun,” ucap Hannah cepat-cepat tanpa berani menatap wajah Sebastian. Hannah mengutuk kebodohannya sendiri. Kenapa ia tidak bisa menahan mulut?

“Punya referensi tertentu untuk berbulan madu?”

Hannah tersedak makanannya mendengar ucapan Sebastian. Wajahnya panas dan ia yakin memerah. “Apa maksudmu bulan madu?” tanyanya terkejut. Pikirannya mendadak kosong.

"Kita akan bulan madu," jawabnya sederhana. "Punya tempat yang ingin dikunjungi?"

Mulut Hannah kering mendengarnya. “Kita tidak perlu berbulan madu.”

“Perlu. Orang-orang akan penasaran kita bulan madu di mana.”

Hannah merengut. Ia meletakkan sendoknya agar bisa fokus pada Sebastian. “Katakan saja kita tidak berbulan madu atau kalau perlu katakan kita bulan madu di rumahmu. Terserah.”

Membayangkan mereka berada di suatu tempat berduaan saja sudah cukup membuat Hannah merinding.

“Tentu saja kita akan pergi,” gumam Sebastian seolah Hannah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebastian meraih tabletnya dan mengetik sesuatu.

Hannah mengangkat alis melihat tindakan Sebastian. Apa yang sedang direncanakan pria itu?

"Selesai. Pesawat akan siap dalam 3 jam," gumamnya puas.

Hannah melongo. Apa?

"Kau tidak bisa memaksaku.”

Seringai Sebastian adalah balasannya.

“Seperti yang kau katakan, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan.”

Wajahnya pasti terlihat seperti orang bodoh saat ini. Mulutnya terbuka lebar tanpa ada kata-kata yang keluar. Kepercayaan diri Sebastian membuatnya gatal ingin mendebat.

"Bagaimana jika aku tetap bersikeras?"

"Kau hanya akan memperumit dirimu sendiri. Memangnya kau tidak ingin menghindar dari cengkeraman para wartawan?"

Telak.

Hannah mati kutu.

“Bersiaplah, kita akan berangkat setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan.”

Sebelum Hannah sempat mengajukan protes pria itu sudah melenggang pergi menaiki tangga, meninggalkan Hannah kebingungan sendiri.

“Tidak, tidak, tidak,” ucapnya panik dan buru-buru mengejar Sebastian sebelum pria itu tenggelam dalam dunianya sendiri dan mengabaikan Hannah.

“Sebastian, tunggu!” teriaknya menggema membuat beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya menunduk dan buru-buru menjauh.

“Ada apa?"

Hannah mengatur napasnya sebelum membuka suara. “Kita tidak bisa pergi.”

“Kenapa?”

“Karena itu tidak perlu!” pekiknya. Apa pria itu tidak merasa aneh berbulan madu saat pernikahan mereka sendiri hanya perjanjian di atas kertas?

“Apa kau tidak merasa aneh?” lanjut Hannah.

Sebastian bersedekap, menatap Hannah datar. “Kenapa aku harus merasa aneh?”

“Karena pernikahan ini hanya pura-pura!” serunya kesal.

Sebastian menarik Hannah–nyaris menyeretnya–menuju ruangan terdekat yang bisa mereka jangkau.

"Sebastian apa yang—"

"Dengarkan ini!" sentak Sebastian marah.

Hannah mengkerut dibawah tatapan menghujam Sebastian.

"Jika aku mendengarmu mengatakan tentang pernikahan pura-pura lagi Hannah kau pasti akan terkejut melihat apa yang bisa kulakukan untuk membungkammu."

Ucapan Sebastian berhasil membuat Hannah menutup mulutnya rapat-rapat. Sebastian terlihat seolah siap menelannya hidup-hidup.

“Seharusnya kau tahu yang namanya perjanjian kerahasiaan atau kau tidak pernah mendengarnya?”

Merasa disudutkan dan menyadari kebenaran kata-kata Sebastian, Hannah semakin merasa terpojok.

“Apa yang kau pikirkan saat aku mengatakan bulan madu?”

Pertanyaan itu bagaimanapun membuat wajahnya memerah.

“Jangan terlalu percaya diri. Aku melakukan ini semata-mata demi kenyamanan. Orang-orang akan bertanya dan aku tidak suka gosip murahan yang hanya menghasilkan sensasi menjijikkan.”

“Kau tahu kalau kau ini kejam?”

“Katakan sesuatu yang tidak kuketahui,” balas Sebastian acuh. “Dan jangan berpura-pura polos, Hannah. Wanita seusiamu pastinya sudah tidak perawan. Bersikap seperti ini hanya akan membuatmu terlihat menyedihkan. Dan jangan takut, meski kau menginginkannya aku tidak akan menyentuhmu.”

Hannah tidak pernah merasa sehina ini seumur hidupnya. Kemarahan menggelegak dalam dirinya hingga membuat tubuhnya gemetar. Sebelum ia sempat berpikir tangannya melayang ke wajah Sebastian.

Tamparan itu tidak keras tapi cukup membuat pria itu terkejut.

“Jangan. Pernah. Berani-beraninya kau—“

Sebastian menarik lengan Hannah dan mendorongnya ke dinding. Matanya yang membara karena amarah kini menatap Hannah dingin.

“Jangan berani-beraninya kau menyentuh wajahku,” geram Sebastian dengan mata menyala.

Hannah mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Jadi jaga mulutmu! Kau tidak tahu apa pun tentang hidupku, sialan!"

"Aku mungkin tidak tahu tentang hidupmu, tapi aku tahu wanita seperti apa dirimu, Hannah."

"Kau—"

"Pergi! Siapkan keperluanmu. Kita akan segera berangkat," kata Sebastian enteng.

Hannah menatap punggung Sebastian penuh benci. Apa yang sudah ia lakukan sampai terjebak dengan pria ini? Pria yang hanya bisa melontarkan kalimat kejam dan tidak berperasaan? Kemarahan mereka berdua sepertinya cukup untuk membakar apa pun.

Hannah membuka pintu dan membantingnya, tidak peduli jika tindakannya itu berhasil membuat beberapa pelayan menatapnya dengan wajah ketakutan.

Sialan, Sebastian. Pria tu benar-benar brengsek!

Hannah menatap gumpalan awan yang rasanya hanya sejauh jangkauan tangan darinya. Senyum tipis bermain-main di wajahnya yang putih. Ini pertama kalinya ia naik jet pribadi dan harus ia akui segalanya yang ada di dalam pesawat ini membuatnya terpukau. Kecuali sosok kaku seperti batu yang duduk tidak jauh dari tempatnya saat ini.

Hannah melirik Sebastian lewat sudut matanya. Pria itu seperti biasanya sibuk dengan pekerjaannya seolah tidak ada yang cukup menarik perhatiannya. Hannah mengela napas secara berlebihan.

Seorang pramugari wanita dengan tampilan yang membuat Hannah merasa dirinya seperti gelandangan berjalan ke arahnya.

“Apa kau punya pasta?” tanyanya penuh harap, sebelum wanita dengan rambut ditata capol itu membuka suara.

"Kami akan menyiapkannya untuk anda, Mam. Ada lagi yang anda inginkan, Mrs. Carter?"

Sapaan itu masih membuatnya tidak nyaman.

“Anggur kalau kau memilikinya.”

Pramugari itu mengangguk. “Akan segera tiba, Mam.”

Hannah tersenyum berterima kasih. Saat ia berpaling Sebastian tengah menatapnya.

“Apa?” tanyanya menantang. Mereka belum bicara sejak pertengkaran di ruang kerja pria itu. Sebastian sibuk dengan dunianya sendiri dan Hannah tidak ingin repot-repot berusaha memperbaiki keadaan. Mungkin dengan seperti ini mereka akan baik-baik saja.

Tidak bicara kedengarannya tidak seburuk itu.

“Kenapa mengajukan pinjaman ke bank? Apa dana yang kuberikan tidak cukup?”

Oh, apa sekarang pembicaraan mereka merambah ke arah pribadi? Hannah memperbaiki posisi duduknya. Ia takut dengan pertanyaan Sebastian.

“Aku ingin memperluas bisnisku. Keuangan toko berjalan cukup baik meski begitu karena ini toko baru dibutuhkan biaya lebih untuk membuat tokonya berjalan. Dana yang kau investasikan lebih dari cukup, tapi keuntungan tokoku tidak berjalan cukup baik.”

“Dan kenapa seperti itu?”

“Banyak anggaran yang dikeluarkan untuk mengenalkan brand pakaian yang kubuat dan biaya konsultasi untuk renovasi tempat itu ternyata jauh dari jumlah yang kuperkirakan.”

“Kenapa gaun pengantin? Kau bisa merancang pakaian apa pun. Kenapa memilih gaun pengantin secara khusus?”

Hannah berusaha mempertahankan ketenangannya yang rasanya luar biasa sulit dilakukan saat Sebastian menatapnya intens.

“Karena aku menyukainya,” balasnya cepat, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

“Dan kau memutuskan untuk hidup sendirian. Kenapa?”

"Itu bukan keputusanku. Keadaan yang membuatnya untukku."

Sebastian terlihat bingung. "Maksudnya kau tidak punya keluarga?"

Hannah sedang mempertimbangkan sejauh mana ia bisa menceritakannya pada Sebastian.

"Ya," balasnya pendek.

"Kenapa?"

"Lakukan penyelidikan Sebastian. Kau akan terkejut melihat apa yang bisa kau temukan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status