Share

Permintaan Maaf

Hannah mengigit bibirnya saat menatap kerumunan wartawan dari balik tirai panjang butiknya. Sial! Ia tidak pernah tahu kalau masyarakat begitu tertarik dengan kehidupan pernikahan Sebastian.

Hannah menatap jam tangannya. Kenapa Sebastian belum datang?

Jawabannya datang saat itu juga. Begitu melihat limusin hitam dan sebuah mobil SUV di belakangnya Hannah langsung tahu kalau bantuannya telah datang. Tanpa sadar Hannah tersenyum dan mendesah lega.

"Sebastian sudah datang?"

Hannah menoleh, menatap rekan kerjanya. "Sepertinya begitu."

Beberapa pengawal dengan setelan resmi tampak berjalan mendekati butiknya. Hannah buru-buru membuka pintu untuk mereka.

“Sebastian yang mengirim kalian?” tanyanya, begitu menutup pintu di belakang para pria bertubuh kekar dengan tatapan datar tanpa ekspresi itu.

“Yes, Mam.”

"Dia tidak ikut?"

“Tuan Sebastian hanya mengirim kami, Mam. Perintahnya adalah membawa Anda dari sini.”

Jadi ia minta tolong pada Sebastian dan para pengawal inilah jawabannya? Kenyataan ini mengirim denyut kemarahan pada urat lehernya. Pria itu benar-benar tahu bagaimana menjadi pria brengsek.

“Bagaimana cara kalian mengeluarkanku dari sini?” tanyanya saat kerumunan wartawan semakin banyak memadati halaman di depan butiknya.

Perasaannya campur aduk. Namun, rasa tidak nyamanlah yang paling mendominasi. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian saat tidak berhubungan dengan pekerjaan. Sekarang, apa pun yang akan ia kerjakan bisakah ia melakukannya dengan damai tanpa perlu merasa cemas tentang apa yang akan dipikirkan orang-orang mengenai dirinya?

“Dengan melindungi Anda, Mam.”

Para pengawal membuka jalan, jadi Hannah bisa keluar tanpa takut didekati. Saat itu juga para wartawan dengan cepat mengerubunginya seperti semut.

Dikelilingi oleh para pengawal, Hannah menunduk, berusaha mengabaikan rentetan pertanyaan yang ditujukan padanya. Sampai ia mendengar pertanyaan yang berhasil membuatnya membeku.

“Pasti menyenangkan wanita sepertimu berhasil menikah dengan salah satu bujangan paling panas di negara ini. Bagaimana pendapat Anda Mrs. Carter?”

Sesaat, sesaat yang rasanya sangat menentukan Hannah sungguh ingin membalas dan mengatakan "rasanya seperti di neraka kalau kau mau tahu" tapi rupanya pemikiran waras masih mendominasinya jadi Hannah melakukan satu-satunya hal yang ia bisa saat ini. Berjalan dan masuk ke limusin tanpa kata.

Hannah meraih botol minuman yang ada di dalam kulkas begitu ia duduk nyaman. Erangan penuh penghargaan terlontar dari bibirnya saat sensasi dingin merambat di tenggorokannya.

"Sebastian masih di kantor?" tanyanya sesaat kemudian.

Pengawal yang duduk di samping kemudi membuka suara, "Tidak, Mam. Tuan sudah pulang."

Ponselnya bergetar. Saat melihat siapa yang menelepon, Hannah memastikannya dengan ganas.

Biarkan saja pria itu menelepon ia tidak peduli!

Hannah baru memejamkan mata saat mendengar pengawalnya kembali berbicara

"Mam..."

Hannah yang dongkol melotot. Tidak bisakah ia diberi sedikit ketenangan untuk berpikir?

“Ya?” tanyanya tanpa berusaha menyembunyikan kejengkelannya.

Pengawal yang duduk di samping supir menyerahkan ponsel padanya dengan ekspresi kaku. Bahkan sebelum menerimanya Hannah tahu siapa yang menelepon. Ia menerimanya dengan enggan.

“Kenapa menolak teleponku?” sembur Sebastian bahkan sebelum ponsel benar-benar melekat di telinganya.

“Aku sibuk,” balasnya cepat.

“Aku perlu tahu kau baik-baik saja.”

Kalimat itu berhasil membuat kemarahan Hannah kembali ke permukaan.

“Well, aku masih hidup jika itu yang kau butuhkan.” Dan dengan kejam Hannah mematikan sambungan, puas dengan dirinya sendiri karena berhasil membuat Sebastian terkejut. Bagaimana menghadapi kemarahan Sebastian, Hannah tidak ingin memikirkannya. Sekarang ini ia hanya menyadari kalau privasi tidak ada lagi dalam hidupnya. Tidak sejak ia setuju menikah dengan milliarder Sebastian Carter.

Sebastian menatap tidak percaya ponsel yang ada dalam genggamannnya. Apa Hannah baru saja mematikan teleponnya? Lagi? Lucu mengingat wanita itu baru saja meminta tolong padanya.

Sebastian bermaksud menelepon kembali wanita itu. Namun, ketukan di pintu ruangannya membuatnya urung melanjutkan niatnya.

“Masuk.”

Salah satu pelayannya datang membawa nampan. “Makan siang Anda, Sir.”

Sebastian menatap makanan itu dan membuat keputusan.

“Aku akan makan bersama Hannah.”

Pelayan itu mengangguk dan mengundurkan diri.

“Tunggu! Aku ingin diberitahu saat Hannah tiba.”

“Baik, Sir.”

Sebastian membuka MacBooknya dan kembali larut dalam pekerjaannya. Sesaat pandangannya tertuju pada figura yang ada di atas meja kerjanya dan hatinya kembali diserang perasaan marah dan juga frustrasi. Tangannya terulur hendak meraih bingkai itu. Namun, sekali lagi pintu ruangannya kembali diketuk. Kit muncul dengan tabletnya.

“Ada berita baru?”

“Tidak, Sir. Saya ingin memberitahu kalau Mrs. Carter sudah datang.”

Hannah sudah sampai? Sebastian menatap jamnya dan bergegas keluar. Ia bisa melihat Hannah menaiki tangga. Sebastian menunggu Hannah di ujung tangga. Wanita itu kelihatannya sedang melamun. Saat kepalanya terangkat Sebastian melihat bola mata cokelat itu melebar.

“Kenapa berdiri di sana?” tanya Hannah gugup.

“Kita perlu bicara.”

“Aku tidak," balas Hannah keras kepala seperti biasa.

Sebastian menatap jamnya. “Kita makan malam lima belas menit lagi. Aku mengharapkan kedatanganmu di sana.”

Wajah Hannah melongo. “Kau tidak bisa berbuat seenaknya padaku!”

Teriakan itu mengejutkan Sebastian. Kapan terakhir kali wanita berteriak padanya? Ia tidak ingat.

“Kita bicara setelah makan,” ucap Sebastian lembut seakan sedang bicara pada banteng mengamuk.

“Kau selalu mendapatkan keinginanmu bukan?”

Tidak, karena jika iya, wanita itu tidak akan menghilang dan meninggalkannya tanpa penjelasan.

“Makan akan memperbaiki suasana hatimu.”

Hannah sungguh ingin memaki dan mencakar wajah menawan Sebastian, tapi tatapan dingin Sebastian sudah cukup jadi peringatan untuknya. Pria itu mungkin tenang tapi jika ia terus mendesaknya bukan tidak mungkin Sebastian akan marah dan hanya Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukan pria itu saat sedang marah.

Hannah buru-buru memasuki kamarnya, meraih gaun selutut berwarna peach dan bergegas mengenakannya. Potongannya sederhana dan pas, batin Hannah. Ia menuruni tangga dan masuk ke ruang makan di mana Sebastian sudah duduk dan sibuk dengan tabletnya.

Bayangan saat ia berteriak dan marah-marah berhasil membuatnya merasa malu. Mungkin pria itu terlalu sibuk untuk datang membantunya. Setidaknya Sebastian meminta anak buahnya datang kan?

“Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Merasa bersalah?” tebak Sebastian tepat sasaran.

Hannah meringis, tidak membantah.

Beberapa pelayan dengan pintar memilih menyiapkan makanan dan bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.

“Maaf. Tindakanku saat itu keterlaluan.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Sebastian tidak mengatakan apa pun. Pria itu memilih meraih sendok dan mulai menyuapkan makanannya. Hannah meniru gerakannya. Mereka makan dalam diam sampai Hannah mengacaukannya dengan pertanyaannya.

“Apa kau baik-baik saja dengan semua ini? Dengan kepergian Tara?” tanyanya dan langsung menyesalinya.

Hannah bersumpah kalau ia melihat kilat menakutkan di bola mata Sebastian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status