Emmy mengernyit ketika dia turun, Isa sudah ada di meja makan, sedang sarapan bersama Keenan. Tanpa menyapa Emmy membuka kulkas dan mengeluarkan sebotol air minum, menenggak isinya lalu membuang botolnya ke tempat sampah.Dia hendak kembali naik ketika mendengar suara Isa yang memuakkan.“Kenapa kamu tidak menyapaku, Em?”Emmy berbalik, pura-pura tersenyum. “Isa, hai. Keenan, hai.” Lalu dia kembali berjalan.“Berhenti di sana!” perintah Keenan.Apa lagi ini, desis Emmy. Dia kembali berbalik, menatap keduanya dengan senyum yang dipaksakan.“Mulai hari ini, Isa akan lebih sering berkunjung.”“Okeeee.” Emmy tampak bingung. “Lalu?”“Kamu harus patuh padanya.”Emmy melirik Isa yang tersenyum menyeringai padanya. “Alasannya?”“Ini sebagai penebusan rasa bersalahku padanya. Jika bukan karena kelicikanmu, dialah yang berada di sisiku sekarang.”Emmy nyaris tertawa. Memangnya Keenan pikir dia menginginkan pernikahan ini? Memangnya dia mau menikah dengan Keenan? Walau dia tampan, tapi untuk men
Emmy berjalan menuruni tangga mengenakan gaun lilac berwarna sedikit pucat dengan belahan dada yang rendah. Ini hari Sabtu, dan asisten rumah tangganya memberitahu jika setiap hari Sabtu pada awal bulan akan ada makan malam resmi di kediaman utama.Hanya ini satu-satunya gaun yang dimiliki Emmy karena pakaiannya tertinggal di rumahnya yang lama. Dia hanya menyanggul rambutnya sembarangan, membiarkannya sedikit berantakan untuk memberikan kesan estetik namun tetap anggun.“Nona Emmy, Tuan Keenan sudah menunggu di halaman,” kata Madam Carla.Emmy hanya mengangguk. Luka di jari tangannya belum sepenuhnya sembuh dan Emmy hanya membalutnya menggunakan plester biasa. Ketika dia tiba di halaman, Keenan sedang memunggunginya.Sebenarnya pria ini tampan dan termasuk tipikal yang Emmy idam-idamkan. Lihat saja pundak lebar itu. Kulit Keenan terlihat bersinar diterpa cahaya matahari sore dan dia sangat gagah.Tapi sifatnya yang kejam dan tak tahu diri membuat Emmy justru merasa jijik.“Aku sudah
Emmy mengangguk, melepas pegangan tangan Lily dan memberitahu jika dia memang baik-baik saja.“Kenapa kamu ceroboh sekali, Em?” Diane berdiri seolah dia mengkhawatirkan keadaan Emmy.Wanita itu membantu Emmy berdiri, mengibaskan gaun Emmy seolah dia sedang membersihkannya. Namun Diane tentu tidak akan merendahkan dirinya seperti itu untuk seorang Emmy.Cincin Diane yang melingkar di tangannya berbentuk sulur dengan sisi yang cukup tajam. Ketika Diane mengibaskan gaun Emmy, dengan sengaja cincin itu mengoyak gaun itu hingga paha Emmy nyaris terlihat.Emmy langsung kembali duduk. Dengan wajah memerah menahan malu, dia menutupi kulitnya yang tersibak.“Oh, astaga Emmy. Maafkan aku, Nak. Cincinku...”Diane pura-pura panik. Emmy mendengus, tidak percaya bahkan di hadapan seorang Dorothy dan Charles Achilles, Diane masih sanggup melancarkan rencana jahatnya.Sementara itu rahang Keenan terlihat mengetat. Semua sorot mata tertuju pada Emmy dan Keenan sungguh sangat malu. Wajahnya memerah men
Emmy merasakan angin berhembus membelai kulitnya. Udara sangat lembab dan langit sedang dihiasi oleh bintang-bintang yang berkerlip. Mulut Emmy sekering gurun pasir, tubuhnya membeku ketika dia melihat Isa memegang sebilah pisau.“Apa yang akan kamu lakukan?” Emmy berusaha mendorong dirinya menjauh dari Isa.Gadis itu tertawa. Di jendela, Diane melihat semuanya. Diam-diam dia menurunkan tirai satu per satu, dan ketika dia hendak menurunkan tirai teraktir, dia mengacungkan jempolnya pada Isa.Selamat bekerja, Nak. Diane tersenyum puas lalu kembali bertepuk tangan meramaikan suasana.Dan Emmy akan mati di luar sana.“Hentikan.” Emmy menggeleng, Isa berjalan pelan layaknya pembunuh berdarah dingin yang mengintai targetnya.“Apa yang harus ku hentikan?” Isa tersenyum. Dia menggesek pisau itu ke kulitnya sambil terus mengawasi Emmy.Suara musik terdengar hingga ke taman. Dan Emmy tahu, walau dia berteriak, tidak ada seorang pun yang mendengar. Dengan mengumpulkan kekuatannya, Emmy bangkit.
Luka di dadanya sudah dibersihkan dan Emmy sudah membebatnya dengan perban. Dia membiarkan rambut panjangnya terurai untuk menutupi kemerahan di lehernya. Jadi tidak akan ada yang mengetahui apa yang baru saja Emmy alami.“Kamu kelelahan?” Cecilia tampak khawatir pada Emmy ketika dia mengetahui Emmy kembali lebih dulu.Emmy menggeleng, air matanya nyaris mengalir. Emmy sangat membutuhkan seseorang untuk mendengar ceritanya. Emmy tidak tahan, namun Emmy juga khawatir Keenan akan salah paham padanya.Pernikahannya dan Keenan adalah rekayasa. Mereka terikat kontrak, dan tidak seharusnya Emmy melibatkan Cecilia dalam urusan pribadinya bersama Isa dan Diane. Bagaimana kalau Keenan malah tersinggung dan melakukan sesuatu padanya?“Emmy, kamu baik-baik saja?” tanya Dorothy.Semua sorot mata beralih pada Emmy. Gadis itu langsung tersenyum dan menggeleng. “Ya, Granny. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing karena semalam aku mengerjakan beberapa project perusahaan.”“Kamu ini.” Cecilia berde
“Itu dia.”Emmy menepis tangan Keenan dari dagunya. “Kamu tidak percaya padaku. Jadi untuk apa repot-repot memperdulikanku? Untuk apa kamu berpura-pura ingin mencaritahu bagaimana aku bisa terluka? Bahkan setiap kata yang keluar dari mulutku, kamu tidak mempercayainya satu pun. bukankah sikapmu sekarang sangat konyol?” pekik Emmy dibarengi air mata yang kembali mengalir deras.Amarahnya meledak, kekecewaannya semakin menjadi-jadi. Tubuhnya gemetar menahan gejolak emosi yang membabi buta. Emmy sungguh lelah. Dia ingin sendiri. Jadi dengan kasar Emmy mendorong Keenan keluar dari kamarnya lalu buru-buru menutup pintunya kembali.Emmy menangis sesenggukan. Ini menyakitkan, isak Emmy. Kehidupannya sangat menyakitkan.Di luar, petir menggelegar keras. Emmy melihat dari arah jendela dan tampak olehnya kilatan-kilatan putih di angkasa. Angin bertiup menerbangkan tirai jendela kamar dan tiba-tiba saja hujan turun amat deras.Emmy menutup jendela dengan susah payah karena angin bertiup kencang
Emmy menyaksikan Isa langsung menemui Keenan, mencium pipinya seolah itu adalah hal yang sudah biasa mereka lakukan. Dia berdiri di sebelah Keenan, seolah mempertegas kekacauan hubungan mereka.Dan Keenan seolah tidak risih dengan keberadaan Isa. Dia tetap bicara dengan beberapa orang penting di perusahaan didampingi oleh Isa sendiri.“Jangan khawatir. Posisimu tidak akan tergantikan,” kata Axel, dia berdiri di sebelah Emmy.Posisi apa? Istri pura-puranya? Seandainya saja semua orang tahu kalau pernikahan mereka hanya sebatas hitam di atas putih. “Tapi Nona Isa sedikit keterlaluan.” Leo ikut menimpali, berdiri di samping Emmy.Kini, Emmy diapit oleh kedua pria itu dan tatapan mereka bertiga tertuju pada Keenan dan Isa.“Orang akan menyangka kalau Nona Isa-lah istri Tuan Keenan,” sambungnya lagi.Emmy nyaris tertawa. Dia melirik Leo. “Kamu terbiasa membicarakan atasanmu di belakangnya?”Leo berdehem, memperbaiki dasinya. “Aku tidak mengatakan apapun.”“Kedekatan mereka memang seperti
Hari-hari berlalu sangat cepat. Emmy dan Keenan masih seperti orang asing yang tinggal bersama di bawah atap yang sama. Mereka jarang bicara kecuali ketika mengunjungi Dorothy di kediaman utama. Selebihnya, mereka seolah kembali bermusuhan.Isa pun masih terus hadir di kediaman Keenan. Tak jarang Emmy harus mengunci diri di kamar demi menghindari Isa. Emmy tahu Isa datang untuk menemui Keenan, masih berusaha merebut perhatian Keenan.Emmy merasa seharusnya itu tidak masalah. Toh sejak awal hubungannya dan Keenan memang bukan seperti hubungan suami istri pada umumnya. Isa bisa mengambil Keenan dan bergelayut di sisi pria itu selama 24 jam penuh. Emmy tidak keberatan.Tapi Isa selalu mencari masalah, seolah merayu Keenan tidaklah cukup. Dia cukup senang mengganggu Emmy dan membuat Emmy dalam kesulitan. Seperti yang dia lakukan ketika Emmy sedang membersihkan beberapa hiasan di lemari.“Kamu memang lebih pantas menjadi seorang tukang bersih-bersih,” ejek Isa.Emmy berusaha tidak menangga