“Livy?!” “Mom!”Sigap El, Al dan Gal bangkit dari duduknya, ketiga lelaki berbeda usia itu menolong Livy. Rahang tegas El berkedut dan mengetat, lelaki ini sempat melirik tajam adik iparnya. Kondisi di ruang makan pun berubah riuh, terutama Emilia menundukkan kepala tidak berani menatap wajah menyeramkan kakak ipar. “El cepatlah bantu Livy menghilangkan rasa panas dan sakit!” perintah Dad Leon membuyarkan fokus El.Buru-buru El membawa Livy ke kamar mandi, membasuh mata. Diikuti kedua anak yang tak mau menjauh karena mengkhawatirkan keadaan mata sang ibu.Al dan Gal tidak banyak mengucap kata sebab mereka tahu, ibu dan ayahnya sedang panik. Apalagi, sekarang wajah Livy memerah menahan sakit, serta tangan kiri mencengkeram erat pinggiran meja wastafel. Bahkan keduanya cekatan meraih handuk kecil dari lemari di kamar mandi. Al menyerahkannya pada El, lalu berdiri sedikit menjauh.“Al, minta tolong Bibi Es untuk telepon dokter!” titah El tanpa menoleh pada putranya.Anak itu langsung
“Livy, Mi Amor, lihat baju hangatku tidak?” El sibuk membuka lemari, dan bolak-balik memeriksa isi koper. Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki itu memutar tumit, betapa terkejutnya El mendapati Livy dalam keadaan gemetar serta melamun. Pupil El melebar, kala perhatiannya tersedot ke arah ponsel di kaki wanitanya.“Mi Amor?” panggil El bergegas menghapus jarak dan memeluk istri.“D-dia, tidak ada di Kota Madrid. Ta-di, Paman Alonso bilang ka-lau dia pergi menggunakan kereta cepat,” cicit Livy tangannya gemetaran, lalu menyelami sepasang netra biru safir. “Dia pasti ke sini Kak, penyesalannya itu bohong!” racaunya tak tenang.“Iya Mi Amor, tidak semudah itu seseorang berubah. Aku hubungi Paman Alonso.” El meraih ponselnya di atas punggung kaki Livy. Lantas berdiri tepat di hadapan wanitanya.Lelaki ini membelai sayang kepala Livy, membawanya mendekat hingga menempel pada otot perut yang belum terlapisi pakaian. El bisa merasakan tubuh pujaan hati gemetaran dan sedikit demam.El tetap f
“Di mana anak-anakku?!” teriak Livy tertahan gumpalan kain di mulutnya. “Keterlaluan kamu Sergio! Aku membencimu,” umpatnya.“Hey, mantan istri, kamu tidak boleh mencaci maki pria terpelajar sepertiku.” Sergio mendekat dan meraih segenggam rambut Livy, pria itu mengendusnya. “Seandainya saja ku tahu kalau kamu putri kandung lelaki tua bangka pesakitan itu, pasti ….” Sergio menyeringai.Kelopak mata Livy melebar, bola matanya nyaris melompat dari tempat. Wanita ini menatap nyalang pria di depannya, ia benar-benar membenci Sergio.Walaupun Sergio menggunakan kruk, tetapi bergerak cukup lincah dan tidak terhalang oleh alat bantu jalan. Tampaknya, satu minggu lalu, pria itu hanya akting belaka agar dikasihani.“Jangan memelototiku Sayang. Umm … sialnya, aku tidak tahu kalau kamu tuan putri yang asli. Tuan Torres luar biasa menemukan siapa pemilik sah FG, kamu hebat Sayang bisa menyingkirkan Sonia!” Tawa Sergio menggelegar di dalam rumah tua ini.“Katakan di mana anak-anakku Sergio!” jerit
“Daddy?!” panggil Al suaranya nyaring menembus angin.Di samping badan helikopter, El berdiri, mengangkat sebelah alis dan memperhatikan pakaian putra sulung tampak tak biasa. Naluri lelaki ini teramat kuat jika Al memiliki rencana.“Tidak, jagoan! Tunggulah di rumah, bukankah aku sudah janji membawa Mommy-mu pulang?”“Tidak bisa begitu Dad. Menurutku, kita harus berangkat sekarang, karena ….” Al menunjukkan jam tangan pada pergelangannya. Wajah anak itu serius, Al benar-benar terpukul mengetahui titik lokasi keberadaan Livy. Tanpa mendapat persetujuan, Al melompat ke dalam helikopter.Sedangkan El memelotot mendapati lokasi sang istri, lelaki ini menggeram marah, sebab Sergio membawa Livy ke dalam hutan.“Al turunlah! Tempatnya sangat berbahaya.” El mengedikkan dagu pada anak buah, memberi perintah menurunkan bocah itu. “Berikan saja jam tanganmu!”“Tidak mau! Aku harus menemukan Mommy, aku sudah janji pada Gal,” ucap bocah keras kepala.Alhasil, Al dipaksa turun tetapi kedua tangan
“Ada apa Mi Amor?” El mengerjapkan mata, dan meringis karena sebelah tangannya kebas. “Dia … umm, maksudku Sergio berhasil ditemukan. Maaf, tidak sengaja—““Bukan masalah Livy, kamu berhak mengetahuinya.” El memperhatikan perubahan air muka wanitanya.Livy tampak menelan saliva dan menggigit bibir bawah, ia penasaran ingin mengetahui kondisi Sergio. Bagian dari hati kecilnya sungguh jahat berharap lelaki itu tak lagi bernapas.“Kita hubungi bersama-sama, supaya kamu bisa mendengarnya juga, mana ponselku?” Tangan El terulur meminta telepon genggamnya dikembalikan. Livy sibuk memperhatikan gerakan ibu jari El, lubuk hatinya pun tak henti memanjatkan harapan agar masalah ini segera selesai. Telepon pun tersambung, sesaat El dan Livy saling pandang, kemudian fokus mendengarkan penuturan ketua tim. Livy sempat menegang, ketika mendengar kronologi penemuan pria itu, intinya ia ingin segera mengetahui nasib Sergio.El melirik Livy dan mendekatkan mulut pada layar. “Lalu bagaimana dengann
“Saya pikir Tuan serius, ternyata ….” Alonso geleng-geleng kepala sembari mengelus dada.“Tadinya.” El melirik asisten pribadi dan menyeringai. “Tapi karena aku masih memiliki hati, lagi pula setelah mengetahui alasannya, aku merasa kasihan, ya setidaknya kejadian ini memberi pelajaran pada siapa pun supaya tidak berbuat curang.”Setelah memberi hukuman ringan pada salah satu pengawal yang berkhianat. El segera kembali ke rumah sakit, ia ditemani Alonso. Satu jam lalu hampir saja jantung pria paruh baya itu merosot ke lambung lantaran aksi gila El. Ternyata El hanya menggertak tanpa benar-benar melakukan hukuman mengerikan. Ia juga memecat satu pengawalnya dan memindahkan keluarga besar mereka ke desa terpencil.“Silakan Tuan,” ujar Alonso membuka pintu.El merangkul bahu asisten pribadi. “Terima kasih, Paman. Ayo masuk.” Dua pria dewasa berbeda usia itu disambut derai tawa menggemaskan nan menyejukkan hati. Al dan Gal berceloteh menceritakan pengalaman mengunjungi perbukitan.Anak-a
“Mom—“ Al baru saja membuka mata, hendak memanggil ibunya.Namun bocah itu melihat Livy terlelap tidur, Al tidak tega membangunkan ibunya. Anak itu mengembungkan pipi seraya berpikir keras, bagaimana caranya menolong Gal.“Kasihan Mommy, aku harus panggil dokter,” gumam Al, kemudian mendekatkan bibir ke telinga adiknya. “Tunggu sebentar ya Gal, kamu jangan menangis,” bisiknya.“Tapi jangan lama Kak, kepalaku pusing, ini sakit.” Gal menekuk wajah sembari meringkuk kedinginan.Al mengangguk, buru-buru ia turun dari ranjang, mengendaap-endap meminjam ponsel El yang tergeletak di atas nakas. Ia mencari nama dokter, beruntung orang itu menggunakan foto pribadi sehingga Al mudah mengenali.Al menekan ikon hijau dan menunggu jawaban, ia sebal karena panggilannya diabaikan. Anak itu tidak putus asa, ia mengulang kegiatannya, hingga mengusik tidur El.“Jagoan, sedang apa? Kenapa sudah bangun? Ini masih—“ El melirik jam tangan. “Pukul empat, di luar juga dingin. Tidurlah, temani adikmu!”“Dad,
“Kak? Kenapa Daddy belum pulang? Katanya di jalan.” Gal mendongak, menatap langit melalui jendela.“Sebentar lagi, tunggu di sini, biarkan Mommy di sana sendirian, kita jangan ganggu,” tutur Al, pendangannya lurus ke depan, memperhatikan gerak-gerik Livy.“Kasihan Mommy, ternyata sejak dulu banyak orang jahat. Kalau begitu kapan kita dewasa? Aku tidak sabar melindungi Mommy,” celetuk Gal, kini memajukan bibir.Dua jam lalu, ketiganya tiba di Mansion Torres. Livy dan anak-anak disambut Mom Pamela bersama Dad Leon, sepasang kakek nenek itu segera membawa cucunya masuk, begitupun dengan Livy. Namun, wanita itu menolak, ia keras kepala, ingin menunggu El di landasan helikopter. Livy benar-benar mencemaskan suaminya, apalagi sempat mendengar kabar, Sergio hampir mendorong El dari atas tangga.Berbeda dengan dua anak laki-laki, memilih membiarkan Livy menyendiri tetapi mengawasi dari jauh. Terutama Al, sedikit banyak telah paham apa yang dirasakan kedua orang tuanya.“Sabar Gal, sebentar l