“Di mana anak-anakku?!” teriak Livy tertahan gumpalan kain di mulutnya. “Keterlaluan kamu Sergio! Aku membencimu,” umpatnya.“Hey, mantan istri, kamu tidak boleh mencaci maki pria terpelajar sepertiku.” Sergio mendekat dan meraih segenggam rambut Livy, pria itu mengendusnya. “Seandainya saja ku tahu kalau kamu putri kandung lelaki tua bangka pesakitan itu, pasti ….” Sergio menyeringai.Kelopak mata Livy melebar, bola matanya nyaris melompat dari tempat. Wanita ini menatap nyalang pria di depannya, ia benar-benar membenci Sergio.Walaupun Sergio menggunakan kruk, tetapi bergerak cukup lincah dan tidak terhalang oleh alat bantu jalan. Tampaknya, satu minggu lalu, pria itu hanya akting belaka agar dikasihani.“Jangan memelototiku Sayang. Umm … sialnya, aku tidak tahu kalau kamu tuan putri yang asli. Tuan Torres luar biasa menemukan siapa pemilik sah FG, kamu hebat Sayang bisa menyingkirkan Sonia!” Tawa Sergio menggelegar di dalam rumah tua ini.“Katakan di mana anak-anakku Sergio!” jerit
“Daddy?!” panggil Al suaranya nyaring menembus angin.Di samping badan helikopter, El berdiri, mengangkat sebelah alis dan memperhatikan pakaian putra sulung tampak tak biasa. Naluri lelaki ini teramat kuat jika Al memiliki rencana.“Tidak, jagoan! Tunggulah di rumah, bukankah aku sudah janji membawa Mommy-mu pulang?”“Tidak bisa begitu Dad. Menurutku, kita harus berangkat sekarang, karena ….” Al menunjukkan jam tangan pada pergelangannya. Wajah anak itu serius, Al benar-benar terpukul mengetahui titik lokasi keberadaan Livy. Tanpa mendapat persetujuan, Al melompat ke dalam helikopter.Sedangkan El memelotot mendapati lokasi sang istri, lelaki ini menggeram marah, sebab Sergio membawa Livy ke dalam hutan.“Al turunlah! Tempatnya sangat berbahaya.” El mengedikkan dagu pada anak buah, memberi perintah menurunkan bocah itu. “Berikan saja jam tanganmu!”“Tidak mau! Aku harus menemukan Mommy, aku sudah janji pada Gal,” ucap bocah keras kepala.Alhasil, Al dipaksa turun tetapi kedua tangan
“Ada apa Mi Amor?” El mengerjapkan mata, dan meringis karena sebelah tangannya kebas. “Dia … umm, maksudku Sergio berhasil ditemukan. Maaf, tidak sengaja—““Bukan masalah Livy, kamu berhak mengetahuinya.” El memperhatikan perubahan air muka wanitanya.Livy tampak menelan saliva dan menggigit bibir bawah, ia penasaran ingin mengetahui kondisi Sergio. Bagian dari hati kecilnya sungguh jahat berharap lelaki itu tak lagi bernapas.“Kita hubungi bersama-sama, supaya kamu bisa mendengarnya juga, mana ponselku?” Tangan El terulur meminta telepon genggamnya dikembalikan. Livy sibuk memperhatikan gerakan ibu jari El, lubuk hatinya pun tak henti memanjatkan harapan agar masalah ini segera selesai. Telepon pun tersambung, sesaat El dan Livy saling pandang, kemudian fokus mendengarkan penuturan ketua tim. Livy sempat menegang, ketika mendengar kronologi penemuan pria itu, intinya ia ingin segera mengetahui nasib Sergio.El melirik Livy dan mendekatkan mulut pada layar. “Lalu bagaimana dengann
“Saya pikir Tuan serius, ternyata ….” Alonso geleng-geleng kepala sembari mengelus dada.“Tadinya.” El melirik asisten pribadi dan menyeringai. “Tapi karena aku masih memiliki hati, lagi pula setelah mengetahui alasannya, aku merasa kasihan, ya setidaknya kejadian ini memberi pelajaran pada siapa pun supaya tidak berbuat curang.”Setelah memberi hukuman ringan pada salah satu pengawal yang berkhianat. El segera kembali ke rumah sakit, ia ditemani Alonso. Satu jam lalu hampir saja jantung pria paruh baya itu merosot ke lambung lantaran aksi gila El. Ternyata El hanya menggertak tanpa benar-benar melakukan hukuman mengerikan. Ia juga memecat satu pengawalnya dan memindahkan keluarga besar mereka ke desa terpencil.“Silakan Tuan,” ujar Alonso membuka pintu.El merangkul bahu asisten pribadi. “Terima kasih, Paman. Ayo masuk.” Dua pria dewasa berbeda usia itu disambut derai tawa menggemaskan nan menyejukkan hati. Al dan Gal berceloteh menceritakan pengalaman mengunjungi perbukitan.Anak-a
“Mom—“ Al baru saja membuka mata, hendak memanggil ibunya.Namun bocah itu melihat Livy terlelap tidur, Al tidak tega membangunkan ibunya. Anak itu mengembungkan pipi seraya berpikir keras, bagaimana caranya menolong Gal.“Kasihan Mommy, aku harus panggil dokter,” gumam Al, kemudian mendekatkan bibir ke telinga adiknya. “Tunggu sebentar ya Gal, kamu jangan menangis,” bisiknya.“Tapi jangan lama Kak, kepalaku pusing, ini sakit.” Gal menekuk wajah sembari meringkuk kedinginan.Al mengangguk, buru-buru ia turun dari ranjang, mengendaap-endap meminjam ponsel El yang tergeletak di atas nakas. Ia mencari nama dokter, beruntung orang itu menggunakan foto pribadi sehingga Al mudah mengenali.Al menekan ikon hijau dan menunggu jawaban, ia sebal karena panggilannya diabaikan. Anak itu tidak putus asa, ia mengulang kegiatannya, hingga mengusik tidur El.“Jagoan, sedang apa? Kenapa sudah bangun? Ini masih—“ El melirik jam tangan. “Pukul empat, di luar juga dingin. Tidurlah, temani adikmu!”“Dad,
“Kak? Kenapa Daddy belum pulang? Katanya di jalan.” Gal mendongak, menatap langit melalui jendela.“Sebentar lagi, tunggu di sini, biarkan Mommy di sana sendirian, kita jangan ganggu,” tutur Al, pendangannya lurus ke depan, memperhatikan gerak-gerik Livy.“Kasihan Mommy, ternyata sejak dulu banyak orang jahat. Kalau begitu kapan kita dewasa? Aku tidak sabar melindungi Mommy,” celetuk Gal, kini memajukan bibir.Dua jam lalu, ketiganya tiba di Mansion Torres. Livy dan anak-anak disambut Mom Pamela bersama Dad Leon, sepasang kakek nenek itu segera membawa cucunya masuk, begitupun dengan Livy. Namun, wanita itu menolak, ia keras kepala, ingin menunggu El di landasan helikopter. Livy benar-benar mencemaskan suaminya, apalagi sempat mendengar kabar, Sergio hampir mendorong El dari atas tangga.Berbeda dengan dua anak laki-laki, memilih membiarkan Livy menyendiri tetapi mengawasi dari jauh. Terutama Al, sedikit banyak telah paham apa yang dirasakan kedua orang tuanya.“Sabar Gal, sebentar l
“Dad kenapa tidak makan?” Al meninggikan leher mengintip isi piring El. “Mau aku suapi?” celetuk anak itu di tengah kegusaran hati sang ayah.“Tidak jagoan, kamu makanlah! Kepala Daddy pusing,” gumam El tetapi ekor matanya melirik Livy.Paska gagal bercinta, suasana hati El berubah drastis, hari lelahnya semakin berat karena menahan hasrat. Salahnya sendiri memang lupa mengunci, padahal dua malaikat kecil itu terbiasa masuk tanpa mengetuk pintu.Sekarang, El tidak bergairah melakukan apa pun termasuk menyantap sesuap makanan. Ia ingin ke kamar mengistirahatkan tubuh, tetapi memaksakan diri turut bergabung bersama keluarga, menikmati makan malam.“Oh aku tahu Kak,” pekik Gal mengacungkan jari ke udara.Al menolehkan kepala, mengamati adiknya. “Apa? Aku tidak mau mendengar jawaban asal.”Gal menggeleng seraya menggerakkan ibu jari ke kanan dan kiri. Balita itu memicingkan mata, menatap wajah El yang melihat ke arahnya.“Pasti Daddy masuk angin, tadi tidak pakai baju. Benar ‘kan Mommy?”
“Maaf, kami tidak—“ Al menggantung kalimatnya, ia menelan air liur.Semula bocah itu hendak membantu adiknya bangun, tetapi mengurungkan niat lantaran melihat wajah pria paruh baya di depannya. “Maaf Kakek. Ini salahku bukan adikku.” Al membungkukkan badan, buru-buru meraih lengan Gal.“Dasar anak-anak nakal tidak tahu diri!” bentak pria paruh baya itu sembari berdiri.Melihat kedua putranya mendapat masalah, El dan Livy berlari kecil mendekati keriuhan. Sadar ini semua akibat ulah anak-anaknya, El berbesar hati membungkukkan punggung. “Maaf Tuan Besar Marquez, seharusnya mereka tidak melakukan itu,” ucap El menahan kekesalan .Bukan kesal pada Al atau Gal, melainkan tidak terima darah dagingnya diberi predikat ‘nakal’ dan sebagai ayah ia geram. Akan tetapi El mencoba menahan diri, tidak mau menambah masalah.“Kamu memang bukan ayah yang baik El. Tidak bisa mendidik anak-anak nakal ini,” hardik Tuan Marquez, secara bergantian melirik El dan Livy.“Sekali lagi saya mohon maaf. Saya ak