Share

4. Siapa yang Mau Menikahi Wanita Gila?

“Siapa yang mau menikahi wanita gila, hah?!” Samantha mendecak dengan mata terbelalak.

Semua orang heran karena selama ini Annelies tak pernah dekat dengan pria dan hanya sibuk kerja. Itu membuat mendiang Feanton cemas jika Annelies jadi perawan tua. Hingga dia pun menambahkan syarat bahwa Annelies harus menikah dalam kurun waktu enam bulan untuk mendapat hak waris. Jika tidak, Feanton akan menyumbangkan seluruh asetnya ke yayasan panti jompo dan anak yatim piatu.

Karena inilah Logan murka habis-habisan dan berusaha menyingkirkan Annelies. Dia yang merupakan putra tertua malah tidak mendapat apa-apa.

“Benarkah? Kau mau menikah?” Seringai berbahaya merayapi bibir Logan, seiring tangannya yang melepaskan leher Annelies.                               

Annelies menatap tajam, tapi belum sempat menimpali, Logan kembali berkata, “baiklah, kita lihat apa kau bisa melakukannya!”

“Daddy! Apa yang Daddy katakan? Jika Bibi Annelies menikah … aish, intinya dia tidak boleh menikah, Daddy! Daddy tahu itu!” Samantha menyambar geram.

Bukannya menjawab, Logan justru berjalan keluar dengan sorot dinginnya.

“Daddy!” Samantha memekik, tapi Logan tak menggubrisnya.

Gadis itu beralih menatap Grace dan merengek, “Mommy … bagaimana ini? Kenapa Daddy mengalah begitu saja? Aku tidak mau jadi gembel!”

“Tenanglah, Samantha. Daddy tidak akan membiarkan itu terjadi,” sahut Grace yang lantas memeriksa luka putrinya. “Sekarang kita harus mengobati lukamu sebelum infeksi.”

Samantha berlalu keluar sambil menggandeng lengan Harvey.

Dan saat melewati Annelies di dekat pintu, dia kembali mencibir, “aku akan membalasmu, jalang gila!”

Ya, Annelies pun tahu Logan tak semudah itu menyerah. Dia pasti menyusun rencana lain untuk menyingkirkannya.

Benar saja, esok harinya media dibuat heboh oleh video konglomerat gila. Rekaman Annelies yang sedang mengacau di upacara pemakaman Feanton, kini bocor dan menjadi topik panas masyarakat.

‘Menarik, Kak Logan. Ternyata ini rencanamu?’ batin Annelies tersenyum miring saat melihat unggahan video tersebut.

Di layar tab itu, tampak jelas Annelies yang dalam pengaruh narkotika sedang menangis, kadang tertawa dan meracau tidak jelas. Orang-orang coba menghentikannya, tapi Annelies malah menyerangnya dengan cakaran sambil memukuli kepalanya sendiri.

Karena berita ini, ponsel Annelies sejak tadi berdering. Para karyawan dan sekretarisnya di L&F Cosmetic tak hentinya menelepon. Annelies jelas tahu apa akibat skandal ini pada perusahaannya.

Dia akhirnya mengangkat panggilan Sekretarisnya dan berkata, “saya akan ke kantor sekarang!”

Annelies datang ke L&F Cosmetic dengan pakaian serba hitam. Bahkan dia memakai kacamata dan masker agar orang-orang tidak mengenalinya.

Begitu tiba di sana, sang Sekretaris langsung menghujamnya dengan fakta. “Mohon maaf, Direktur. Saat ini saham L&F Cosmetic turun drastis. Vendor baru yang harusnya tanda tangan kontrak dengan kita, tiba-tiba mundur. Bahkan beberapa vendor lama juga ingin memutus kontrak secara sepihak, Direktur.”

Leher Annelies menegang saat duduk di kursi kerjanya. Dia mengangkat pandangan dan membalas, “siapa saja yang membatalkan kontrak?”

Sekretaris itu pun menyerahkan dokumen padanya. Annelies seketika membelalak begitu melihat daftar vendor tersebut.

“Bahkan Pasar Raya Prince?” katanya nyaris tak percaya.

Sang sekretaris hanya diam. Dia tahu betapa kecewanya Annelies karena pasar raya Prince vendor mereka yang paling lama.

“Direktur, saya dan Tim IT sudah berusaha menghapus video itu, tapi salinannya sudah banyak menyebar dan ….”

“Terima kasih, tapi kalian tidak perlu mengurusnya lagi, saya akan menanganinya langsung,” sahut Annelies.

Dengan ragu, Sekretaris itu kembali bertanya, “maaf, Direktur. A-apa Anda baik-baik saja?”

“Mengapa? Apa menurut Anda saya juga gila?” balas Annelies getir.

“Ah, bu-bukan seperti itu, Direktur.” Sekretaris itu segera membungkuk untuk memohon ampun. “Mohon maaf, maksud saya bukan—”

“Saya mengerti. Terima kasih sudah mencemaskan saya, tapi saya baik-baik saja,” sahut Annelies disertai senyum tipis.

Itu membuat sekretarisnya lega.

“Saya turut berduka atas kepergian Ketua Feanton, Direktur,” tuturnya yang lantas mendapat anggukan dari Annelies.

Dia agak kikuk karena tiba-tiba membicarakan ini. Sebab itu dirinya langsung mengalihkan topik. “Jika ada yang harus saya kerjakan, tolong beritahu langsung.”

“Baiklah, tolong hubungi beberapa vendor yang masih bisa dipertahankan,” sahut Annelies yang langsung dimengerti Sekretaris itu.

Begitu sekretarisnya keluar ruangan tersebut, Annelies dikejutkan oleh video lain yang baru dirilis media.

“Apa-apaan dia?!” Annelies mendecak dengan gigi terkatup.

Amarahnya membumbung saat melihat video wawancara Samantha yang terluka dan memfitnahnya.

“Nona, apa benar Nona Annelies yang melukai wajah Anda sampai seperti ini?” tanya seorang Wartawan di video.

Samantha menangis terisak dan menjawab lirih. “I-itu benar. Penyakit mental Bibi Annelies kumat dan saya diserang saat mencoba menenangkannya.”

“Tunggu, Anda bilang penyakit mental? Jadi rumor bahwa Nona Annelies gila itu benar?”

“Iya, sebelumnya kami sudah membawa Bibi Annelies ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Tapi entah bagaimana dia kabur dan membuat keributan lagi di rumah.” Samantha berkata disertai isak tangis. “Sa-saya sangat sedih, tapi kami harus mengambil tindakan agar Bibi Annelies bisa diobati dan tidak membahayakan orang lain.”

Tangan Annelies mengepal geram mendengar ocehan gadis itu.

‘Sialan! Dia berkata seolah aku memang gila!’ batinnya menahan amukan.

Di tengah kemarahannya, sang sekretaris tiba-tiba mendatanginya lagi.

“Ada apa?” Annelies bertanya dengan wajah tegangnya.

“Maaf, Direktur. Kabarnya, saat ini Tuan Logan sedang mengadakan rapat dengan para Dewan Direksi,” balas Sekretaris itu yang sontak membuat Annelies tambah mendidih.

Dia tahu, Logan akan memengaruhi para dewan direksi untuk mendukungnya.

Annelies pun memejam dengan tangan memijit kening. Rasanya kepala wanita itu hampir pecah ditimpa masalah bertubi-tubi.

Hingga sampai malam hari, Annelies pun memilih lembur untuk mengatasi krisis yang terjadi di perusahaannya. Namun, tiba-tiba saja listrik di ruangan tersebut mati. Sialnya komputer Annelies juga kehabisan daya, padahal dia masih mengerjakan konsep yang penting.

“Aish, sial! Aku tidak bisa kehilangan konsep ini!” tukasnya menyugar belahan rambut.

Dia celingukan dan bergumam, “apakah ada yang salah dengan pusat listriknya?”

Annelies meraih ponsel dan menyalakan senternya. Dia turun ke lantai bawah mencari penjaga yang bertugas malam, tapi tidak menemukannya.

“Kenapa tidak ada orang di sini?” katanya saat melihat pos penjaga kosong.

“Aku harus menemukan sakelar utamanya sendiri!”

Wanita itu pun beralih menuju basement. Meski situasi gelap, dia nekat pergi demi menyelesaikan pekerjaannya.

“Aku yakin, harusnya ada disekitar sini,” gumamnya mencari sakelar utama.

Maniknya melebar begitu menemukan pembangkit listriknya. Annelies membuka penutup luar dan melihat banyak tuas pembangkit.

Tanpa diduga, Annelies mendengar suara langkah seseorang dari belakang. Dia sontak berpaling dan mengarahkan senter ponselnya ke sumber suara.

“Siapa di sana?!” decaknya waspada, tapi tidak ada orang.

Leher Annelies menegang, jantungnya berdegup lebih kencang seiring irisnya yang memindai sekitar. Saat dia beralih ke sakelar utama lagi, mendadak ada seorang lelaki yang membekap mulutnya. Annelies memberontak, dia tak bisa melihat jelas karena situasi gelap dan lelaki itu berusaha mencekal kedua tangannya.

“Ugh!” Annelies menginjak kaki lelaki itu sekuat tenaga dan menyikut ulu hatinya.

Begitu berhasil lepas, dia segera lari meninggalkan basement.

‘Sial! Siapa dia sebenarnya?!’ batin Annelies dengan napas terengah-engah.

Dia mati-matian menuju lantai satu, tapi karena suasana yang gelap, dia tak sadar menabrak sesorang.

“Ahh!” Annelies memekik.

Dirinya berusaha menjauh, tapi orang itu menahan tangannya.

“Diamlah,” bisiknya.

Annelies sontak melebarkan maniknya saat mengarahkan senter ke wajah orang tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status