“Siapa yang mau menikahi wanita gila, hah?!” Samantha mendecak dengan mata terbelalak.
Semua orang heran karena selama ini Annelies tak pernah dekat dengan pria dan hanya sibuk kerja. Itu membuat mendiang Feanton cemas jika Annelies jadi perawan tua. Hingga dia pun menambahkan syarat bahwa Annelies harus menikah dalam kurun waktu enam bulan untuk mendapat hak waris. Jika tidak, Feanton akan menyumbangkan seluruh asetnya ke yayasan panti jompo dan anak yatim piatu.
Karena inilah Logan murka habis-habisan dan berusaha menyingkirkan Annelies. Dia yang merupakan putra tertua malah tidak mendapat apa-apa.
“Benarkah? Kau mau menikah?” Seringai berbahaya merayapi bibir Logan, seiring tangannya yang melepaskan leher Annelies.
Annelies menatap tajam, tapi belum sempat menimpali, Logan kembali berkata, “baiklah, kita lihat apa kau bisa melakukannya!”
“Daddy! Apa yang Daddy katakan? Jika Bibi Annelies menikah … aish, intinya dia tidak boleh menikah, Daddy! Daddy tahu itu!” Samantha menyambar geram.
Bukannya menjawab, Logan justru berjalan keluar dengan sorot dinginnya.
“Daddy!” Samantha memekik, tapi Logan tak menggubrisnya.
Gadis itu beralih menatap Grace dan merengek, “Mommy … bagaimana ini? Kenapa Daddy mengalah begitu saja? Aku tidak mau jadi gembel!”
“Tenanglah, Samantha. Daddy tidak akan membiarkan itu terjadi,” sahut Grace yang lantas memeriksa luka putrinya. “Sekarang kita harus mengobati lukamu sebelum infeksi.”
Samantha berlalu keluar sambil menggandeng lengan Harvey.
Dan saat melewati Annelies di dekat pintu, dia kembali mencibir, “aku akan membalasmu, jalang gila!”
Ya, Annelies pun tahu Logan tak semudah itu menyerah. Dia pasti menyusun rencana lain untuk menyingkirkannya.
Benar saja, esok harinya media dibuat heboh oleh video konglomerat gila. Rekaman Annelies yang sedang mengacau di upacara pemakaman Feanton, kini bocor dan menjadi topik panas masyarakat.
‘Menarik, Kak Logan. Ternyata ini rencanamu?’ batin Annelies tersenyum miring saat melihat unggahan video tersebut.
Di layar tab itu, tampak jelas Annelies yang dalam pengaruh narkotika sedang menangis, kadang tertawa dan meracau tidak jelas. Orang-orang coba menghentikannya, tapi Annelies malah menyerangnya dengan cakaran sambil memukuli kepalanya sendiri.
Karena berita ini, ponsel Annelies sejak tadi berdering. Para karyawan dan sekretarisnya di L&F Cosmetic tak hentinya menelepon. Annelies jelas tahu apa akibat skandal ini pada perusahaannya.
Dia akhirnya mengangkat panggilan Sekretarisnya dan berkata, “saya akan ke kantor sekarang!”
Annelies datang ke L&F Cosmetic dengan pakaian serba hitam. Bahkan dia memakai kacamata dan masker agar orang-orang tidak mengenalinya.
Begitu tiba di sana, sang Sekretaris langsung menghujamnya dengan fakta. “Mohon maaf, Direktur. Saat ini saham L&F Cosmetic turun drastis. Vendor baru yang harusnya tanda tangan kontrak dengan kita, tiba-tiba mundur. Bahkan beberapa vendor lama juga ingin memutus kontrak secara sepihak, Direktur.”
Leher Annelies menegang saat duduk di kursi kerjanya. Dia mengangkat pandangan dan membalas, “siapa saja yang membatalkan kontrak?”
Sekretaris itu pun menyerahkan dokumen padanya. Annelies seketika membelalak begitu melihat daftar vendor tersebut.
“Bahkan Pasar Raya Prince?” katanya nyaris tak percaya.
Sang sekretaris hanya diam. Dia tahu betapa kecewanya Annelies karena pasar raya Prince vendor mereka yang paling lama.
“Direktur, saya dan Tim IT sudah berusaha menghapus video itu, tapi salinannya sudah banyak menyebar dan ….”
“Terima kasih, tapi kalian tidak perlu mengurusnya lagi, saya akan menanganinya langsung,” sahut Annelies.
Dengan ragu, Sekretaris itu kembali bertanya, “maaf, Direktur. A-apa Anda baik-baik saja?”
“Mengapa? Apa menurut Anda saya juga gila?” balas Annelies getir.
“Ah, bu-bukan seperti itu, Direktur.” Sekretaris itu segera membungkuk untuk memohon ampun. “Mohon maaf, maksud saya bukan—”
“Saya mengerti. Terima kasih sudah mencemaskan saya, tapi saya baik-baik saja,” sahut Annelies disertai senyum tipis.
Itu membuat sekretarisnya lega.
“Saya turut berduka atas kepergian Ketua Feanton, Direktur,” tuturnya yang lantas mendapat anggukan dari Annelies.
Dia agak kikuk karena tiba-tiba membicarakan ini. Sebab itu dirinya langsung mengalihkan topik. “Jika ada yang harus saya kerjakan, tolong beritahu langsung.”
“Baiklah, tolong hubungi beberapa vendor yang masih bisa dipertahankan,” sahut Annelies yang langsung dimengerti Sekretaris itu.
Begitu sekretarisnya keluar ruangan tersebut, Annelies dikejutkan oleh video lain yang baru dirilis media.
“Apa-apaan dia?!” Annelies mendecak dengan gigi terkatup.
Amarahnya membumbung saat melihat video wawancara Samantha yang terluka dan memfitnahnya.
“Nona, apa benar Nona Annelies yang melukai wajah Anda sampai seperti ini?” tanya seorang Wartawan di video.
Samantha menangis terisak dan menjawab lirih. “I-itu benar. Penyakit mental Bibi Annelies kumat dan saya diserang saat mencoba menenangkannya.”
“Tunggu, Anda bilang penyakit mental? Jadi rumor bahwa Nona Annelies gila itu benar?”
“Iya, sebelumnya kami sudah membawa Bibi Annelies ke rumah sakit jiwa untuk dirawat. Tapi entah bagaimana dia kabur dan membuat keributan lagi di rumah.” Samantha berkata disertai isak tangis. “Sa-saya sangat sedih, tapi kami harus mengambil tindakan agar Bibi Annelies bisa diobati dan tidak membahayakan orang lain.”
Tangan Annelies mengepal geram mendengar ocehan gadis itu.
‘Sialan! Dia berkata seolah aku memang gila!’ batinnya menahan amukan.
Di tengah kemarahannya, sang sekretaris tiba-tiba mendatanginya lagi.
“Ada apa?” Annelies bertanya dengan wajah tegangnya.
“Maaf, Direktur. Kabarnya, saat ini Tuan Logan sedang mengadakan rapat dengan para Dewan Direksi,” balas Sekretaris itu yang sontak membuat Annelies tambah mendidih.
Dia tahu, Logan akan memengaruhi para dewan direksi untuk mendukungnya.
Annelies pun memejam dengan tangan memijit kening. Rasanya kepala wanita itu hampir pecah ditimpa masalah bertubi-tubi.
Hingga sampai malam hari, Annelies pun memilih lembur untuk mengatasi krisis yang terjadi di perusahaannya. Namun, tiba-tiba saja listrik di ruangan tersebut mati. Sialnya komputer Annelies juga kehabisan daya, padahal dia masih mengerjakan konsep yang penting.
“Aish, sial! Aku tidak bisa kehilangan konsep ini!” tukasnya menyugar belahan rambut.
Dia celingukan dan bergumam, “apakah ada yang salah dengan pusat listriknya?”
Annelies meraih ponsel dan menyalakan senternya. Dia turun ke lantai bawah mencari penjaga yang bertugas malam, tapi tidak menemukannya.
“Kenapa tidak ada orang di sini?” katanya saat melihat pos penjaga kosong.
“Aku harus menemukan sakelar utamanya sendiri!”
Wanita itu pun beralih menuju basement. Meski situasi gelap, dia nekat pergi demi menyelesaikan pekerjaannya.
“Aku yakin, harusnya ada disekitar sini,” gumamnya mencari sakelar utama.
Maniknya melebar begitu menemukan pembangkit listriknya. Annelies membuka penutup luar dan melihat banyak tuas pembangkit.
Tanpa diduga, Annelies mendengar suara langkah seseorang dari belakang. Dia sontak berpaling dan mengarahkan senter ponselnya ke sumber suara.
“Siapa di sana?!” decaknya waspada, tapi tidak ada orang.
Leher Annelies menegang, jantungnya berdegup lebih kencang seiring irisnya yang memindai sekitar. Saat dia beralih ke sakelar utama lagi, mendadak ada seorang lelaki yang membekap mulutnya. Annelies memberontak, dia tak bisa melihat jelas karena situasi gelap dan lelaki itu berusaha mencekal kedua tangannya.
“Ugh!” Annelies menginjak kaki lelaki itu sekuat tenaga dan menyikut ulu hatinya.
Begitu berhasil lepas, dia segera lari meninggalkan basement.
‘Sial! Siapa dia sebenarnya?!’ batin Annelies dengan napas terengah-engah.
Dia mati-matian menuju lantai satu, tapi karena suasana yang gelap, dia tak sadar menabrak sesorang.
“Ahh!” Annelies memekik.
Dirinya berusaha menjauh, tapi orang itu menahan tangannya.
“Diamlah,” bisiknya.
Annelies sontak melebarkan maniknya saat mengarahkan senter ke wajah orang tersebut.
“Dan Theo?!” Leher Annelies menegang.Alih-alih menjawab, pria itu langsung menarik Annelies bersembunyi di balik dinding.“Dan Theo, kenapa kau—”“Sstt … dia akan mendengarnya,” sahut Dan Theo menutup mulut Annelies saat lelaki misterius tadi celingukan di lobi.Manik Annelies kembali melebar ketika lelaki itu berjalan ke arah mereka. Dia kian cemas, dan Theo menyadari itu. “Diam dan bersembunyilah di sini,” bisik Theo menenangkan.Tanpa menunggu sahutan Annelies, dia langsung berbalik dan memukul wajah lelaki misterius tadi hingga terhuyung.“Argh, brengsek!” umpat lelaki itu kesal.Dia menyipit, tapi tak bisa melihat wajah Dan Theo dengan jelas.“Siapa kau? Beraninya ikut campur urusanku!” sambungnya geram.Dan Theo menghampirinya, tapi lelaki itu mengeluarkan belati dan melayangkannya ke arah Theo. Beruntung Dan Theo berhasil menghindar, lalu dengan cepat menonjok wajah lelaki tadi lebih keras.Darah menggelenyar dari sudut mulut lelaki tersebut. Dengan geram dia menggenggam bela
Annelies membuka pintu lebih lebar usai beberapa saat dan masuk bersama Dan Theo.“Tempat ini agak berantakan, aku belum merapikan semuanya,” tutur wanita itu yang lantas melirik sofa. “Hanya ada satu ranjang, apa kau tidak masalah tidur di sana?”Alih-alih menjawab, Dan Theo malah balik bertanya, “apa hal seperti itu sering terjadi?”Leher Annelies menegang saat Dan Theo membahas terror tadi. Itu memicu sensasi empedu naik ke tenggorokannya dan membuatnya mual.“Ini baru pertama kali,” sahutnya dengan manik gemetar.Dia meraih bantal dan selimut, lalu menyerahkannya pada Dan Theo. “Kau bisa memakainya.”Pria itu hanya diam, tapi bisa melihat jelas bahwa Annelies masih sangat terkejut. Bahkan ketika wanita itu tidur, Dan Theo mendengar dia merintih.‘Dia mengigau?’ batin pria tersebut yang lantas bangkit dari sofa.Dirinya memeriksa Annelies yang mengigil di ranjang.‘Demam?’ geming Dan Theo saat menyentuh dahi wanita itu.Ya, tubuh Annelies sangat panas, mulutnya terus merisik dan me
“Apa ini jelas untuk kalian?!” tukas Annelies saat menarik diri.Sorot matanya yang tajam membuat semua wartawan diam. Bahkan Dan Theo hanya tersenyum miring melihat langkah berani istrinya ini. Satu tindakan Annelies, akan menggilas rumor buruk kesehatan jiwanya, sekaligus pengumuman perang pada Logan.“Mari, suamiku. Kita harus menetapkan tanggal dan mengurus resepsi pernikahan!” decaknya merengkuh lengan Dan Theo.“Tolong permisi,” tutur pria itu membelah kerumunan.Para wartawan itu mundur, tapi masih haus berita.“Nona, kalau begitu tolong beritahu kami tanggal dan lokasi pernikahan Anda nanti!”“Benar, Nona. Tolong katakan juga, apa keluarga Langford merestui penikahan Anda?” tanya Wartawan sambil mengejar Annelies.Seorang lainnya bahkan menghadang dan bertanya, “Jadi, apa Nona Samantha bohong soal penyakit mental Anda?”Annelies tetap bungkam, tapi para wartawan itu berdesakan dan mendorongnya hingga hampir jatuh. Beruntung Dan Theo memeganginya, hingga Annelies tak sampai amb
“Aku sangat muak, tapi malam ini kita harus datang ke mansion Langford!” Wajah Annelies berubah masam usai mendapat telepon dari kuasa hukum mendiang Feanton. Dirinya menatap sang suami, seraya melanjutkan. “Dan Theo, apapun yang mereka katakan nanti, kau tidak perlu meladeninya. Mereka lebih gila dari pasien rumah sakit jiwa!”Pria itu menaikan sebelah alisnya sebagai respon. Dan malamnya, Annelies benar-benar datang bersama Dan Theo ke mansion yang belum lama ditinggalkannya. Dia mengenakan dress formal hitam yang tampak elegan, berjalan menggandeng Dan Theo dengan setelan jas warna senada. ‘Ayah, aku tidak tahu apa maksudmu memberiku tanggung jawab besar ini. Tapi aku yakin, Ayah pasti punya tujuan ‘kan?’ batin Annelies mengingat mendiang Feanton kala melewati rumah kaca, tempat ayahnya biasa merawat bonsai.Mereka menuju ruang keluarga di bangunan utama. Di sana, semua anggota Langford sudah berkumpul.“Astaga, bukankah pertemuan ini hanya untuk anggota keluarga Langford? Kenap
Dan Theo mendekap Annelies, lalu berguling ke samping tepat saat Dave menghantamkan batu ke arahnya. “Brengsek!” Dave mengumpat saat mereka berhasil menghindar. Dia buru-buru lari layaknya pengecut, begitu Dan Theo hendak mengejarnya. Namun, Annelies menahan lengan Dan Theo seraya berkata, “aku ingin pulang.” Dan Theo tahu Annelies sangat terkejut, jadi dirinya pun mengantar sang istri kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan wanita itu hanya bungkam, itu membuat Dan Theo jadi bertanya-tanya. “Aku akan menemanimu lagi malam ini,” tutur Dan Theo melirik Annelies sekilas. “Tidak perlu, kau istirahatlah di rumah karena besok mulai pemotretan,” sahut Annelies tanpa berpaling padanya. Saat tiba di apartemennya, Annelies melihat bekas cekikan Dave yang membuat lehernya merah. ‘Kak Dave, apa kau benar-benar ingin membunuhku?’ batinnya menatap diri di cermin. Annelies menyugar rambutnya, lalu menarik resleting belakang dress-nya untuk ganti pakaian. Namun, tiba-tiba saja ad
Annelies menelan saliva berat, lalu berkata, “bu-bukankah kau ada di pihakku?”“Maksudku bukan sebagai musuh,” sahut Dan Theo menaikkan sebelah alisnya.“Lalu?!” Dagu Annelies terangkat, kini dia waspada pada Dan Theo. Pria itu malah menjulurkan wajahnya hingga hidungnya nyaris bertumbukan dengan Annelies. “Aku juga seorang pria, Annelies. Kau tidak takut aku melakukan sesuatu padamu?” bisik Dan Theo yang memicu manik Annelies selebar cakram.Wanita itu baru sadar kalau pakaiannya sangat terbuka. Dia buru-buru menutup tubuhnya dengan outer lingerie tipis itu dan berdehem canggung. “Ma-maaf, aku lupa kalau kita tinggal bersama,” tutur Annelies kikuk. Irisnya berputar, lalu melanjutkan. “Aku sangat mengantuk, aku akan tidur sekarang.”Wanita itu segera beranjak menuju kamarnya. Dan Theo melipat tangan ke depan dada, dia terus mengawasi punggung Annelies menjauh sampai masuk ke kamar.‘Menarik,’ batinnya menyeringai samar.Sementara di kamar, Annelies tak hentinya merutuki diri sendi
“Dasar iblis! Beraninya kau menikah setelah membunuh putriku, hah?!” decak wanita paruh baya yang memicu semua orang tercengang.Bahkan Annelies sendiri tak mengerti dan bertanya bingung. “Apa maksud Anda?!”“Jangan pura-pura bodoh, sialan!” Wanita paruh baya itu menyambar sambil melempar telur busuk lagi ke arah Annelies.Beruntung Dan Theo lekas menghalangi dan memeluk Annelies, hingga telur itu mengenai punggung lebarnya.Dia melihat Annelies memejam tegang, lalu bertutur, “kau tidak apa-apa?”Annelies perlahan membuka matanya dan lantas mengangguk. Namun, Dan Theo tau bahwa istrinya ini sangat terkejut. Terlebih ada banyak tamu penting dan media di sini.Pria tersebut menoleh pada para penjaga keamanan seraya berkata tegas. “Bawa pergi wanita itu!”“Baik, Tuan!”Namun, belum sempat penjaga itu mengusir wanita paruh baya tadi, kini seorang lelaki berkemeja hitam dan beberapa orang membawa poster wajah Annelies yang dicoret-coret, menerobos aula.“Apa-apaan ini?!” Para tamu berdiri
“Anda pasti salah. Mengapa tiba-tiba Tuan Morgan resign?!” tukas Cloe tak percaya.Jelas sekali itu meragukan, sebab Morgan adalah kepala produksi sejak pabrik L&F Cosmetic berdiri. Dia sangat loyal pada perusahaan dan tidak punya catatan buruk selama bekerja.“Beliau menyerahkan surat resign-nya pagi tadi, tapi kami semua tidak tahu alasan beliau mengundurkan diri, Nona,” sahut Staff pabrik itu.Cloe mengernyit, lalu bertanya, “selain Tuan Morgan, siapa yang bertanggung jawab atas bahan dasar produksi?”“Selama ini hanya Tuan Morgan yang menanganinya, Nona. Beliau tidak memiliki asisten,” balas Staff tadi yang kian membuat Cloe buntu.Namun, hal ini membuatnya jadi curiga. Seolah kepala produksi itu menghindari masalah tepat saat skandal besar menyeret perusahaan.“Tunjukan di mana ruangan Kepala Produksi,” tutur Cloe kemudian.“Baik, mari ikuti saya, Nona.” Staff tadi lantas memandu Cloe masuk.Sementara di kantor polisi metropolitan Linberg, Annelies sedang duduk di ruang interogas