Mata Aliesha terbuka sedikit. Dia mengerjap meski masih dalam keadaan lemah.
Setelah berbaring beberapa saat, Aliesha tersadar. Kepalanya terasa berat dan pusing.“Nona?”Tangan kanannya memegang pelipis dan keningnya sendiri.Terasa sakit sekali.“Nona, minumlah teh hangat ini. Ini manis.” Noah memberikan secangkir teh itu untuk istrinya.“Ah, ya. Terima kasih…” Aliesha menyeruputnya perlahan. “Bagaimana aku bisa masuk ke kamar?”Seingatnya terakhir kali tersadar, dia masih ada di lobby setelah Noah mendapatkan kunci.“Aku menggendongmu ke sini.” Jawab Noah pelan.Aliesha tak percaya. “Kamu yang menggendongku?”Noah mengedikkan bahunya, “Siapa lagi?!”“Noah, ayah…”“Ssst… tenanglah. Kamu jangan membebani dirimu dengan pikiran-pikiran semacam itu..” ucapnya menenangkan.Aliesha memang mudah gelisah dan terbawa pikiran.“Ini menyangkut keluargaku“Celine?” Eros mengangguk. “Bagaimana bisa wanita yang masih muda dan cantik mau dengan kamu!!!” protes Soraya. “Aku curiga!” “Soraya, kamu itu lucu. Lihat, kamu yang sudah mapan dan berkelas saja juga datang padaku. Kalian semuanya sama… butuh kemewahan dan kehangatan! Hahahahaahaha…” Soraya menganggap kalimat itu sama sekali tidak lucu. Dirinya merasa direndahkan. Tapi, sekarang tak ada lagi pilihan. Dia harus bisa merebut hati Eros atau jika gagal dia akan menjadi gelandangan yang homeless. “Eros, aku berbeda dengan dia. Aku adalah wanita yang loyal dan bisa mengurus lelaki…” “Soraya, jangan membuatku tertawa lagi. Buktinya sekarang kamu meninggalkan suamimu yang bangkrut.” Dia terkejut ketika Eros mengetahui beritanya. “Eros… aku…” “Sudahlah. Ayo ikut aku ke dalam. Kamu bisa menumpang tinggal di sini sampai kapanpun kamu mau. Di sini ada banyak kamar tamu yang bisa kamu pilih…” serunya. Seorang pembantu membawakan barang-barang Soraya masuk. “Mari, Nyonya…” Diapun menu
Jatuh. Itu yang kini dirasakan Aliesha. Rasanya dia sudah tak sanggup lagi menghadapi hidup sendiri. Malam harinya di rumah sakit, pembantunya benar-benar datang. “Non, bagaimana keadaannya sekarang?” Mata Aliesha tampak kosong. Tatapannya nanar dan entah ke mana. Hatinya terasa ngilu. “Non, ini kata dokter kita sudah boleh pulang. Biaya perawatan sudah dibayar sama Noah tadi. Dia menitipkan ini pada saya…” sang pembantu, Lastri, memberikan sebuah amplop cokelat tebal. Aliesha tak bergeming. Dia tak ingin lagi mendengar nama itu! Baginya semua orang sama saja. Hanya datang saat butuh dan saat bosan, satu demi satu orang akan pergi dari kehidupannya. “Kalau Bi Lastri mau pergi, sekarang saja. Tidak usah nunggu besok. Keluarga saya sudah bangkrut.” Kata Aliesha sambil mencoba untuk duduk. “Nggak, Non. Saya ikut Tuan Martin sejak kecil. Bagi saya, ini adalah pengabdian.” Ucapnya tulus. “Mari, kita pulang. Sudah ada
“Aliesha, lepaskan bajumu. Cepatlah! Aku sudah tak tahan lagi…” Suara itu terdengar jelas di telinganya. Nafasnya terasa menghembus di dekat wajahnya. Apa dia tidak salah dengar? “Noah?!” Aliesha terbangun di tengah malam. Tidak ada siapapun. Dia tidur sendirian di kamarnya di lantai dua, sementara yang lain tidur di bawah. Rupanya itu tadi hanyalah mimpi. Diurutnya wajahnya sendiri dengan kedua tangannya. Beberapa hari terakhir, Noah memang sering datang ke mimpinya. Dia mencoba untuk tidur lagi, namun nihil. Bayangan wajah Noah selalu muncul setiap kali dia memejamkan kedua matanya. Haruskah dia melakukan itu lagi? Seperti kemarin, dia memeluk jaket denim milik Noah yang tertinggal. Mencium aroma tubuhnya yang masih tersisa, rupanya membuat pikiran Aliesha sedikit tenang. Seolah suaminya sudah pulang. Tak lama kemudian, dia bisa tertidur pulas. Paginya, saat sarapan, dia mendengarkan tayangan d
Sesuai dengan janji sebelumnya, Aliesha datang langsung ke lokasi yang akan dirancangnya. Hujan yang turun cukup deras membuatnya sedikit kesulitan menemukan site lokasi. “Halo?” Aliesha menelpon calon klien-nya itu. Perjalanan yang ditempuh memakan waktu lebih lama dari rencana. Kliennya tentu harus tahu ini. “Iya, ini nomornya Aliesha?” suara maskulin terdengar dari seberang. Hati Aliesha bergetar. Sudah lama sekali dia tak berhubungan dengan orang asing. “Betul, saya Aliesha yang mau mendekorasi kantornya Pak Benedict. Kira-kira apa masih jauh lagi dari lampu merah dekat indoma*et? Atau saya bisa lewat jalur alternatif?” “Ahhh… sepertinya kamu kejauhan, Aliesha! Baiklah. Kamu berhenti saja di situ. Saya akan jemput langsung.” Dia merasa tidak enak karena telah merepotkan klien. Tapi, mau bagaimana lagi. Sejak tadi dia hanya berputar-putar tak kunjung menemukan tempat yang dicarinya. “Bagaimana Mbak?” sopir ojek online yang dia pesan bertanya. “Pak, kita berhenti di sini s
Kenapa hari ini ada banyak hal yang mengingatkan dia dengan laki-laki itu? Itu tandanya kamu rindu. Sebuah bisikan halus merasuki pikirannya. Cepat-cepat ditepisnya feeling itu. “Nona, cepat diminum susu hangatnya, biar badannya anget…” Bi Lastri menyuguhkan segelas susu ketika Aliesha pulang. “Rotinya cepat dimakan…” Badannya sedikit basah. Dia lupa tidak sarapan dan terlambat makan siang. Tangan kanannya memegang gelas sementara tangan kirinya membolak-balik hasil pengukuran kantor yang akan dia rancang. “Hmm… cukup luas.” Gumamnya berbicara pada diri sendiri. Tak lama kemudian, Ben mengirimkan sebuah pesan singkat. ‘Aliesha, sebaiknya kita diskusi dulu sebelum kamu mulai. Aku ada referensi yang bisa kamu pakai untuk merancang nanti. Kita ketemu besok?’ Sebenarnya bagi Aliesha, ini akan membuang-buang waktu. Dia sudah tahu apa yang dimaui oleh klien. Tapi, demi menjaga servis dan keprofesional
Noah mengira kalau sosok yang akan diceritakan sepupunya adalah Aliesha. Itu harapannya. Nyatanya, dia justru mendapatkan kabar tentang Celine. “Dia bersama Eros sekarang. Kelihatannya mereka sangat dekat. Bisa jadi, mereka berpacaran… atau… lebih.” Dugaan Ben membuat Noah semakin malas. Tidak ada kenangan indah yang dimilikinya baik dengan Eros maupun Celine. Keduanya bagaikan mimpi buruk. “Halo, Noah, kenapa kamu tidak bersemangat lagi?” Ben sengaja memancingnya. “Reaksi apa yang kamu harap dariku?” ungkap Noah sambil beranjak dari ranjangnya. Semalam dia pulang jam tiga pagi. Kepalanya masih terasa sangat berat karena lembur dan ketiduran di kantor. “Bukankah kamu masih memiliki rasa pada Celine?” Noah terdiam dengan pertanyaan Ben. Semenjak pergi dari kehidupan Aliesha, Noah telah memblokir nomor Celine. Pun ketika Celine berusaha beberapa kali menghubunginya dengan nomor lain, dia tak bereaksi apa-a
“Aw!” suara Noah membuat sepupunya terbangun.Ricky dan Ben semalaman berjaga di rumah sakit menungguinya.“Noah, kamu sudah siuman?” tangan Ben terasa kaku karena semalaman tidur di posisi duduk dan kepalanya disangga oleh tangannya di atas ranjang.“Aku… kepalaku masih pusing dan perutku sakit…” keluhnya.“Setidaknya kamu sudah siuman. Aku akan memberi kabar Kakek dan yang lain. Biar Ben yang menunggumu di sini…”Ricky pergi keluar IGD dan tinggallah dia berdua dengan Ben saja.“Apa kamu mengingat kejadian semalam?” tanya Ben penasaran.Penyesalan terlambat saat dia tahu saudara sepupunya sudah ambrug dan tak sadarkan diri. Orang di sekitarnya pura-pura tak tahu menahu saat ditanyai.“Aku tak ingat apapun.” Dia tak sepenuhnya berkata jujur.Ada bagian yang dia samar-samar ingat, yaitu ketika bertemu Aliesha. Meski dia tahu itu
“Tidak perlu basa-basi, mau apa datang ke sini?” Aliesha sengaja memasang wajah garang, karena baginya orang ini bukan keluarganya lagi. Namanya telah dicoret dari benaknya. “Aliesha… kenapa kamu jadi kasar begini?” Soraya dengan tak tahu malu mengelus tangan anak tirinya. “Cepat katakan saja apa urusanmu! Aku sibuk.” Lanjutnya dengan mata memandang ke arah lain. Intinya dia muak dengan keberadaan ibu tirinya itu dan tak ingin melihat wajahnya. “Tak bolehkah aku menjenguk ayahmu? Mau bagaimanapun, dia adalah suamiku.” Serunya dengan nada sombong dan penuh percaya diri. Meski sudah meninggalkan ayahnya, sepintas tak ada yang berubah dari penampilannya. Masih saja glamor dan mewah. Hanya saja, sekarang Soraya berdandan dengan pakaian serba berani dan menampilkan aura yang lebih muda. Aliesha yakin pasti ibu tirinya sudah mendapatkan mangsa baru untuk dijadikan ATM hidup. “Suami? Masih ingat punya suami??”