“Han, boleh aku angkat teleponnya sebentar?”“Oh, angkat saja, Mas. Enggak apa-apa.”Dia berdiri, mengambil gawai dan menjauh dariku. Di sudut ruangan, Mas Hada mengangkat telepon. Meskipun tampak serius bicara, tapi tatapan matanya terus tertuju padaku. Aku merasa, dia seperti menghawatirkan sesuatu. Selesai bicara, pria itu kembali ke mejaku, duduk dan melanjutkan makan seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara rasa bahagiaku yang tadi hinggap, kini berubah jadi rasa penasaran yang beberapa hari ini terus coba kulupakan. “Mas kerja lagi, ya?” tanyanya selesai makan. Aku mengangguk. Mas Hada berdiri, lalu kembali sibuk melayani pengunjung. Kafe tutup pukul 23.00, karena sepi. Di luar, air yang berasal dari langit mengguyur bumi. Beberapa teman Mas Hada sudah pulang lebih dulu. Ada yang memesan taksi OL, ada yang dijemput temannya, hingga tinggallah kami berdua di depan kafe. Kebetulan, Mas Hada tak membawa jas hujannya. “Han, kamu mau pulang duluan? Mas pesenin taksi OL, ya?”“Eng
“Assalamu’alaikum warahmatullah. Assalamu’alaikum warahmatullah.”Kami telah selesai melakukan salat Subuh berjamaah. Aku mengulurkan tangan, dan mencium punggung tangan itu dengan takzim. “Mas, terima kasih untuk semalam.”Mas Hada tersenyum kecil, mendekat dan mencium puncak kepala ini. “Itu cara Mas supaya bisa memilikimu seutuhnya. Maaf, sedikit terlambat.”Meskipun tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya, tapi aku hanya tersenyum menanggapi. Mas Hada berdiri, dan mengambil sebuah Al-Qur'an mini. Dia juga mengambil dua buah bantal, dan meletakkan di tengah-tengah kami. “Kamu bisa baca Ayat Kursi?”“Bisa, Mas.”“Kita baca sama-sama, ya. Kalau surat Al-Waqiah?”“Bisa, tapi enggak hafal.”“Ya sudah, kita baca surat Al-Waqiah dulu saja. Sebelum baca, kita pejamkan mata. Mohon pada Allah agar mengabulkan hajat dan keinginan kita.”“Mas, mau minta apa?”“Penginnya bisa terus sama-sama dengan kamu, dan tetap bisa melakukan operasi mata untuk Ibu.”“Oh, Ibu mau melakukan operasi mata?
Mas Hada menarik napas panjang, kemudian kembali bicara, “Dia mengatakan akan menikah, tapi ragu karena kamu anak yang manja, anak yang terbiasa hidup enak. Dia khawatir kamu enggak akan bisa berubah. Kebetulan dia sedang ada pekerjaan di Belanda. Prio bilang, dia percaya aku bisa mengubahmu jadi lebih baik, dan saat itu juga ... dia memintaku menggantikannya sebagai pengantin pria. Kami sempat bertengkar. Kukatakan kalau aku keberatan, tapi dia terus meyakinkan kalau ini adalah kebaikan karena mengubah seseorang jadi lebih baik lagi.”Aku tertegun lama. Kesannya, aku seperti dijadikan alat agar Ibu bisa kembali melihat. Meskipun sebelumnya Mas Hada tidak tahu rencana licik Mas Prio. “Mas, jadi aku ....”“Dia mendengar perubahanmu dari seseorang yang disewanya untuk mengintai kegiatan kita. Semalam dia menelepon, mengabarkan sudah ada di Indonesia. Sudah kukatakan, aku membatalkan perjanjian itu, karena sebelumnya aku enggak pernah tahu harus menikahimu, Han. Jujur, aku kaget saat per
“Lebih baik ingkar janji pada manusia daripada ingkar kepala Allah. Kamu tahu, kan aku sudah menikahi Hana. Hari di mana aku memutuskan untuk menjadi pengantin pria menggantikan posisimu saat itu, hari itulah janjiku melangit dan ikrarku bukan hanya disaksikan oleh manusia, tapi juga semua malaikat yang mengamini pernikahan sakral kami. Enggak perlu, aku akan berusaha membuat Ibu bisa melihat tanpa bantuan darimu.”Terdengar gemeretak giginya di seberang sana. Aku paham, setelah ini, aku pasti akan mengalami banyak kesulitan. “Beraninya kau, Hada! Kau tahu, aku bisa melakukan apa saja!”“Ya, aku tahu, dan aku berpegang teguh pada prinsipku. Aku akan menghadapi apa pun yang akan kamu lakukan.”“Kau menantang? Kau tidak takut?”Aku tersenyum kecil, kemudian lebih dalam memandang Hana yang hanya diam sambil mengaduk-aduk makanan di hadapannya.“Enggak sama sekali. Aku enggak melakukan hal yang salah.”“Suhada! Kau membuatku marah, Bajingan!” teriaknya, kemudian terdengar seperti ada sesu
“Loh, Mas? Kok, tumben sudah pulang? Biasanya, kan malam?” tanya Hana, saat sore aku sudah sampai di rumah. “Duh, tumben banget bau badan kamu asem banget.” Dia menutup hidung yang membuatku tersenyum. Dilepasnya kancing bajuku satu per satu, dan langsung membawa pakaian itu ke belakang.“Sudah salat Asar?” tanyaku sambil duduk di ujung kasur.“Sudah, Mas. Kamu mandi dulu, gih! Biar segar.”Aku mengangguk. Berdiri, lalu menyambar handuk dari balik pintu kamar dan segera membersihkan diri. Sambil mandi, kupijat pundakku beberapa kali. Ah, pegal sekali. Selesai mandi aku bersiap, dan langsung berangkat ke masjid untuk salat Magrib.“Allahumma Innias’aaluka ta’jiila ‘aafiyatika washobron ‘alaabaliyyatika wakhuruu jam minaddun-yaa ilaa rohmatika. Yang artinya, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu disegerakan keselamatan-Mu untukku dan tetap sabar dalam menghadapi cobaan-Mu dan keluar dari dunia menuju Rahmat-Mu. Aamiin.” Kusapukan kedua tangan ke muka untuk mengakhiri doa. Saat in
“Em?” “Bagaimana pekerjaan, Mas?”“Baik-baik saja, kok, Han.”“Oh, syukurlah. Soalnya aku ... jarang lihat Mas di kampus.” Aku mengatakannya dengan sangat hati-hati supaya tak menyinggung hati.Mas Hada tak menjawab, hanya tersenyum kecil. “Sudah ada pengganti Mas di sana. Mas, kan sudah bilang, sekarang Mas sudah naik jabatan.”“Sebagai apa, Mas?” tanyaku penasaran, padahal aku sudah tahu kalau Mas Hada sudah dipecat.“Mau tahu saja, apa mau tahu banget?” godanya sambil mencubit gemas hidungku.“Ih, Mas. Mau tahu banget, lah!”“Nemenin dosen kalau pergi-pergi ke luar kota, Sayang.” Dia tak mau menatapku, saat mengatakan itu. Jika jujur, Mas Hada pasti tak ragu untuk menatap kedua mataku.“Oh, syukurlah. Mas!” panggilku sekali lagi.“Em.”“Aku kangen sama Ibu. Kapan kita bawa Ibu pulang?”Mas Hada berhenti mengunyah. Dia mengambil segelas air putih, lalu meminumnya sampai habis. “Mas usahakan secepatnya, ya.” Mas Hada menyudahi acara makan, dan menaruh piringnya ke belakang. Padahal,
POV : Suhada***Saat aku datang ke kampus untuk menanyakan jadwal skripsi, tiba-tiba datang Putra Manggala, teman sekelasku dulu. Dia duduk di hadapan. Kami mengobrol sejenak, dan dia bertanya mengapa wajahku murung. Kukatakan isi hatiku padanya. “Ya ampun, jadi kamu sekarang jadi kuli panggul di pasar?” Aku mengangguk lemah. Tampak Putra berpikir sejenak. “Suhada, sebenarnya papiku lagi cari karyawan. Apa kamu mau mencoba melamar di perusahaan papiku? Jadi salesman, gajinya UMR, dan ada tunjangan juga insentif kalau mencapai target.”“Serius, Put? Soalnya, dulu aku sudah pernah melamar kerja di mana-mana dan ditolak.”“Ya, seriuslah. Kamu tenang saja, nanti aku bilang ke Papi soal kepribadian kamu. Insyaallah diterima, Da.”“Eh, ini masuk KKN enggak, sih?” tanyaku tersenyum samar sambil garuk kepala.“Enggak, lah, ini mode on kepepet. Hahahaha.”Kami sama-sama tergelak. Aku mengucapkan banyak terima kasih pada Putra. Karenanya, semangat mencari kerja kembali membara. Tak berapa l
POV : Hada “Iya, Pak. Saya sendiri.”“Silakan duduk di sini.”Aku mendekat dan duduk di hadapannya. Pria itu meminta map berisi syarat-syarat dan membacanya. “Putra sudah cerita banyak soal kamu. Jadi, kapan mau bekerja?”Mataku membulat. Aku bahkan belum di tes dan wawancara seperti calon pekerja pada umumnya. “Tapi, Pak, saya belum dites seperti kebanyakan orang.”“Saya percaya anak saya, karena dia sering menceritakan kamu di rumah. Saya suka sama orang pekerja keras, bertanggung jawab, dan jujur seperti kamu.”“Terima kasih, Pak.”Tiba-tiba gawainya berdering. “Hai, Pak Prio. Apa kabar?”Tanganku mengepal mendengar nama itu. Dia pasti memata-mataiku. Tampak Pak Reo bicara sangat akrab dengan Prio. Aku diam, menahan rasa yang entah di dalam dada. Kemudian wajah ceria Pak Reo berubah. Dia beberapa kali melirik ke arahku, sementara aku hanya membisu dengan wajah datar. “Maaf, Pak Prio, kita memang teman, tapi kalau hanya karena hal remeh seperti itu membuat Anda membatasi ruang ge