***"Oke anak-anak, ujian nasional hari ini resmi selesai ya. Untuk kalian anak-anak kelas IX, besok dipersilakan untuk beristirahat di rumah lalu masuk kembali hari senin."Mendengar penjelasan sang guru, semua siswa yang saat ini masih duduk di bangku masing-masing seketika menyaut dengan kompak."Siap, Bu.""Sekian untuk pertemuan kali ini, Ibu pamit. Selamat siang.""Siang, Bu."Setelahnya perempuan berambut sebahu yang hari ini memakai pakaian dinas itu melangkahkan kakinya meninggalkan kelas juga dua puluh siswa yang baru saja menyelesaikan ujian mereka masing-masing."Hai, Nara. Pulang bareng yuk."Gadis cantik yang saat ini tengah sibuk membereskan barang-barangnya seketika mendongak ketika sebuah ajakan dilontarkan seorang siswa laki-laki yang sudah berdiri di depannya.Queenara, gadis cantik yang baru saja dipanggil Nara adalah Queenara Malani Sanjaya—salah satu siswi kelas IX yang cukup terkenal di sekolah karena kecantikan juga kepintarannya."Enggak, makasih."Seperti bia
***"Mama ada?"Sejenak, Nara memandang dua orang di depannya ini dengan tatapan heran, sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja dilontarkan si perempuan yang sepertinya istri dari pria yang berdiri persis di depannya."Ada," kata Nara pada akhirnya. "Ibu siapa ya?""Louisa," kata perempuan tersebut. "Saya ada kepentingan sama Mama atau mungkin Papa kamu.""Oh ya sudah, silakan masuk.""Terima kasih."Nara berbalik lalu membiarkan sepasang suami istri itu masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Meminta tamu tersebut menunggu, dia melangkahkan kakinya masuk lebih dalam untuk menemui Adara yang saat ini tengah di dapur—memasak dengan Elara."Ada siapa, Nara?" tanya Adara ketika Nara sampai di dapur."Enggak tau, enggak kenal," kata Nara. "Katanya mau ketemu sama Mama.""Ketemu Mama?""Iya.""Oh ya udah," kata Adara. Sebelum pergi ke ruang tamu, dia melirik Elara. "El, titip supnya ya. Diaduk aja.""Iya, Ma." Elara menjawab patuh."Nara bisa bikinin tamunya minum?" tanya Adara pada Nara."
***"Nara."Nara yang sejak tadi sibuk membereskan semua pakaiannya seketika menoleh ketika suara seseorang memanggilnya terdengar dari arah pintu."Kenapa?"Nara bertanya singkat ketika dia tahu jika orang yang memanggilnya sekarang adalah orang yang sedang dia hindari di rumah ini.Reano.Karena pernyataan cintanya tempo hari, Nara akhirnya memutuskan untuk ikut bersama Louisa juga Charley ke Jerman dan bersekolah di sana.Sebenarnya berat, bahkan Nara pun tak mau pergi sejauh itu meninggalkan keluarga yang selama ini sudah menyayanginya. Namun, Nara tak punya pilihan.Terus tinggal di rumah Danendra—satu atap dengan Reano, membuat dia tak nyaman bahkan takut jika sewaktu-waktu perasaan cinta Reano padanya akan terbongkar.Nara tak mau mengecewakan Adara juga Danendra karena kedua orang tua angkatnya itu pasti tak suka dengan hubungan lebih dari sekadar saudara Reano dan Nara."Kamu pergi gara-gara aku?" tanya Reano sesaat setelah dia melangkah lalu berdiri persis di depan Nara."Bu
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan