***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
"Nikahin aku, Dan."Dengan degupan jantung yang tak menentu, ucapan tersebut meluncur dari mulut Adara yang kini duduk berhadapan dengan Danendra, sang sahabat.Barusaja mendapat musibah, Adara memang mengajak Danendra untuk bertemu dan karena merasa tak punya banyak waktu, to the point pun dia lakukan—membuat raut wajah pria di depannya tersebut seketika berubah."Lusa nanti, tolong nikahin aku.""Kenapa, Ra?" tanya Danendra dengan suara tercekat, setelah sebelumnya diam selama beberapa detik.Syok, mungkin itulah yang Danendra rasakan karena setelah sekian lama memendam rasa, diajak menikah secara dadakan oleh gadis yang dia cintai, bukanlah hal sepele."Rafly, Dan. Di-dia ...." Adara menjeda ucapannya ketika rasa sesak melanda. "Dia hilang.""Hilang?!" Lagi, untuk yang kedua kalinya, Danendra dibuat terkejut dengan ucapan Adara. "Hilang gimana maksud kamu?"Adara menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Danendra.Tepat empat hari sebelum pernikahan, Adara mendapat kabar buruk ten
"Menikah lusa? Are you kidding, Danendra Alexander?"Adam Manuel Alexander, terlihat begitu terkejut ketika Danendra—sang putra mengutarakan niatnya untuk menikahi seorang gadis lusa nanti.Tahu dengan siapa putra keduanya itu memiliki hubungan, Adam tak menyangka Danendra meminta izin untuk menikahi gadis yang nyatanya bukan kekasih dia."Jangan ngaco, Dan. Kamu ini kalau bercanda suka enggak kira-kira."Sekarang bukan hanya Adam yang terlihat begitu terkejut dengan pernyataan Danendra, tapi Teresa—sang mama pun ikut terkejut. Bahkan, menduga jika semua ini hanya sebuah candaan belaka.Tentu saja. Selama sebulan ini Danendra sudah menjalin hubungan dengan Felicya—gadis cantik yang sengaja dijodohkan Teresa agar putra keduanya itu berhenti mengharapkan Adara.Namun, malam ini—tanpa ada kabar sebelumnya, Danendra tiba-tiba saja datang membawa Adara dan bilang akan menikah. Bukankah itu terlalu mengejutkan?Ah, jika seandainya Teresa punya penyakit jantiung, mungkin dia sudah di rumah s
***Garden party.Begitulah tema pesta resepsi pernikahan Adara dan Danendra sore ini. Digelar di tempat yang sama dengan tempat akad nikah, acara nampak meriah oleh tamu-tamu terhormat.Menjalani serangkaian proses, siang tadi Adara dan Danendra resmi menikah. Direstui kedua pihak keluarga, acara berjalan dengan lancar dan khidmat.Menggantikan Rafly, Danendra menjalankan tugasnya dengan baik—membuat keluarga Adara bahagia. Namun, tentunya tidak dengan Adara sendiri, karena alih-alih hanyut dalam kebahagiaan, perempuan itu justru dilanda sedih.Tak sebentar, rasa sedih Adara awet hingga sekarang karena melihat semua yang ada di venue pernikahan, dirinya teringat pada Rafly yang entah bagaimana nasibnya.Ah, Rafly. Di tengah hingar bingar pesta resepsi, pikiran Adara justru berkelana memikirkan kekasihnya itu. Masih hidupkah dia? Selamatkah dia? Atau mungkin sekarang Rafly sudah di surga?Ah, Ya Tuhan. Rasanya semua ini berat bagi Adara. Membayangkan Rafly tak selamat membuat hatinya
"Memalukan!"Adara hanya menunduk tanpa berani menatap sang papa yang terlihat cukup marah padanya.Pesta resepsi selesai, Ginanjar yang malu dengan kelakuan Adara—meninggalkan Danendra tadi begitu saja, tentunya langsung menarik tangan sang putri lalu membawanya ke kamar untuk dia tegur.Ginanjar Lazuardi—pengusaha yang memiliki ambisi tinggi itu memang cukup menjunjung tinggi nama baik keluarganya. Siapapun itu—sekalipun itu Adara, jika berani mencoreng nama baik keluarganya, Ginanjar akan memberikan teguran."Maaf, Pa. Adara cuman refleks tadi," kata Adara. "Adara tiba-tiba aja denger suara Rafly, Pa.""Pembodohan," celetuk Ginanzar. "Kamu pikir Papa akan percaya dengan cerita halusinasi kamu, hm? Rafly sudah mati, Adara. Lupakan dia. Suami kamu sekarang, Danendra.""Pa." Adara mendongak—menatap sang papa tak terima ketika kata 'mati' terlontar begitu saja. Padahal, sampai detik ini Adara masih berharap Rafly masih hidup. Meskipun kemungkinannya kecil. "Rafly belum tentu meninggal!
***"Dan, ini baju aku simpan di mana?""Di lemari yang putih aja, Ra. Kosong kok itu.""Oke."Hari ini—satu hari setelah hari pernikahan mereka, Danendra dan Adara langsung pindah ke apartemen milik Danendra.Tak terlalu membawa banyak baju, keduanya hanya menggerek dua koper menuju apartemen yang terbilang cukup mewah tersebut.Seorang Danendra Putra Alexander memang tak bisa diragukan lagi. Di usianya yang baru saja menginjak dua puluh delapan tahun, karirnya sudah bersinar.Disokong sang Papa yang menjadi salah satu pimpinan di perusahaan besar Alexander grup, tak sulit rasanya bagi Danendra membangun karir."Capek juga."Selesai membereskan semua bajunya di lemari, Adara duduk di ujung kasur dengan kedua tangannya yang bertumpu ke belakang."Capek?" tanya Danendra."Lumayan," jawab Adara.Danendra tersenyum lalu ikut duduk di samping Adara. "Habis ini kita makan," ucapnya."Makan apa?""Makan hati?" tanya Danendra yang membuat Adara memandangnya. "Aku bercanda."Adar tersenyum. U
***"Lagi ngerjain apa, Dan?"Baru keluar dari kamar mandi, Adara langsung melayangkan pertanyaan tersebut ketika melihat Danendra duduk di depan laptop yang disimpan di meja kerjanya.Memiliki ukuran yang cukup luas, kamar tersebut memang diisi beberapa furniture. Selain sofa, di kamar Danendra juga terdapat meja kerja, meja rias juga lainnya."Laporan keuangan," jawab Danendra. Dia kemudian menoleh—memandang Adara yang masih memakai bathrobes berwarna putih juga handuk yang melilit rambut basahnya. "Udah selesai mandinya?""Udah," jawab Adara. "Kenapa?""Mau ajak kamu makan," kata Danendra. "Aku udah pesen makanannya tadi. Udah datang juga.""Oh oke, aku pake baju dulu," kata Adara. Setelah itu dia berjalan menuju lemari lalu mengeluarkan setelan piyama satin berwarna merah muda dari sana. "Dan.""Ya?""Aku males ke kamar mandi," ucap Adara. "Kamu bisa keluar dulu, enggak? Aku mau pake baju.""Oh oke," kata Danendra. Tak banyak bicara, dia langsung meng-shut down laptopnya lalu meny