Aku tidak berani mengatakan ini pada Muzammil. Aku sudah terlambat tujuh hari, ini membuat perasaanku berdebar tak menentu. Bagaimana kalau aku hamil anaknya Faruq sementara aku sedang jadi istrinya Muzammil.
Kini Sultan Mahmud benar-benar datang ke Inagara. Dia bertemu dengan dengan Raja Inagara sebelum menemui Muzammil dan aku. Dari pertemuan kedua orang penguasa itu, semua masalah selesai dan tertutup rapi. Ada negosiasi tentunya, yang orang kecil dan rendahan seperti aku jelas tidak mengerti.
Aku mendengar Muzammil sedang telepon dengan papanya, hatinya berbunga-bunga. Dia begitu bahagia, tapi aku hanya menatapnya dari jauh. Ada rasa bersalah dan benci pada diriku sendiri. Kalau sampai Sultan Mahmud tahu aku hanya TKW yang dijadikan budak nafsu majikan dan akhirnya punya anak, bahkan sekarang sedang mengandung anaknya. Tentu ini bukan hanya aib, tapi harga diri kerajaan akan hancur hanya karena Fahim yang hina dan nista ini.
"Iya Pa, saya share lokasi ya?
Aku akhirnya menuruti keinginan Muzammil untuk membuka cadarku untuk mengobati rasa penasaran mereka. Sambil membuka cadarku aku memperkenalkan diri. "Hei Kakak, nama saya Zhee Amalia," ujarku sambil membuka cadarku dan menundukkan tubuh tanda hormat. "Wow cantik sekali istrimu, Kak Zammil," ujarnya takjub. "Subhanallah!" lanjutnya. Aku juga menatap Faruq yang penasaran memperhatikan aku sejak awal. Dia pasti sedang curiga kalau wanita yang bersama Muzammil adalah Fahim. Aku tidak tahan menatap mata Faruq, dia pasti akan mengenaliku bila tahu aku sedang gugup. Maka itu aku harus menghindari tatapan matanya. Aku segera menutup kembali cadarku. Muzammil memperhatikan aku yang salah tingkah saat di depan Faruq, dia segera meraih tanganku dan merangkul pundakku. "Ih romantis sekali," kata Marwa. Aku hanya mengangguk, aku melihat tangan Faruq merangkul pinggang Marwa mesra juga. Tiba-tiba hati perih dan sesak, apakah ini cemburu?
Aku menatap Muzammil yang tegang penuh emosi, tapi hebatnya dia bisa menahannya. "Kak Zammil, lekas bantu aku agar segera pulang ke Indonesia. Semakin lama aku di sini hanya akan membuatmu malu. Maafkan aku yang bodoh ini, Kak Zammil," ucapku. Muzammil hanya diam, mungkin kalau papanya tidak sedang disini dia pasti akan meluapkan emosinya. Tapi selama aku bersamanya tidak pernah sekalipun dia marah. "Masakkan sop buntut yang lezat buat papaku!" perintahnya. Kenapa dia tidak merespon kata-kataku sama sekali. Dia pasti terluka sekali, aku berkali-kali menyesalinya, tapi apa daya nasi sudah menjadi bubur. Aku menyiapkan makan siang bersama Muzammil. Aneka masakan spesial Tukasha dan Inagara serta sop buntut masakan andalanku dari Indonesia. Menu kesukaan Muzammil dan papanya Kebab daging, Baklava dan Kofte. "Ayo kita makan bersama!" ajak Sultan Mahmud. "Ayo, Zhee!" ajak Muzammil, memaksakan diri berlagak romantis di depan papanya.
"Hati-hati kamu bicara, Zhee! Di sini banyak telinga, dinding pun ikut mendengarkan," pesan Muzammil sambil telunjuknya menutup bibirku yang sedang berbicara. Kami saling berpandangan, perlahan tanganku meraih tangan Muzammil dan aku mencium tangannya sambil berlutut. "Maafkan aku, Kak Zammil! Jangan tinggalkan aku, ampuni semua kebodohanku," ucapku menangis menyesal. "Apa yang kamu lakukan, Zhee? Berdirilah, jangan buat aku merasa berdosa atas keadaanmu!" perintah Muzammil datar. "Apa yang harus aku lakukan, Kak Zammil? Haruskah kugugurkan bayi ini?" tanyaku berbisik. "Jangan berbuat keji dengan membunuh bayi yang tidak berdosa, Zhee, itu sama halnya dengan Faruq, biadab! Setelah melihat di layar USG tadi, kamu masih bisa berbuat ingin menyingkirkannya?" ketus Muzammil berbisik. "Apa yang harus saya lakukan, Kak Zammil?" tangisku tersedu. "Aku tidak mungkin melakukan kebohongan sebesar ini dan seorang pangeran malah membantuku seperti
Muzammil mengantarkan aku untuk dirias dan gaun dari desainer ternama. "Aku hanya ingin kamu percaya diri, Zhee," kata Muzammil dengan pelan. "Aku takut membuat kamu malu, Kak Zammil!" kataku ragu. "Tidak perlu takut! Santai saja, kamu tidak perlu banyak interaksi dengan mereka. Aku akan selalu menemanimu!" janji Muzammil. Dia memberiku keberanian, aku semakin percaya diri. Saat Muzammil menggandeng aku turun dari mobil, aku bahagia sekali. Sorot kamera banyak tertuju kepada kami berdua. Para wartawan mengerumuni kami dan semua pertanyaan dijawab oleh Muzammil dengan sopan dan ramah. Aku hanya tersenyum ramah, dan mengangguk mengiyakan saat Muzammil memandangku lembut. "Apakah istri anda juga seorang putri raja atau seorang keturunan bangsawan?" tanya salah seorang wartawan. "Dia seorang Cinderella," jawab Muzammil sambil menggenggam tanganku dan tersenyum menatapku. "Hah Cinderella!" ujar para wartawan saling bergu
"Siapa kamu? Kenapa kalian berpelukan begitu mesra dengan Iqbal?" tanya Marwa yang datang mendekati kami. "Maaf Kak, dia persis adik saya, lama saya tidak bertemu dengannya. Dia bersekolah di Amerika," jawabku berbohong. "Aneh, bukan apa-apa, cuma mirip adik kamu bisa memperlakukan dia semesra itu? Nggak masuk akal banget sih, Zhee!" ujarnya sambil memeriksa aku dengan cermat. "Kamu mengingatkan aku pada Fahim," lanjutnya sambil menarik tangan Iqbal dan membawanya pergi. "Anakku," desahku. Aku cemburu melihat Marwa memperlakukan Iqbal seperti itu. Dia menjaga dan mengawasi seperti anaknya sendiri. Bagaimana kalau Iqbal akhirnya menyayanginya dan melupakan aku? "Ada apa, Zhee?" tanya Muzammil yang tiba-tiba muncul. "Aku menahan Faruq malah Marwa yang datang," lanjutnya. "Tidak apa-apa, Kak Zammil, aku takut kehilangan Iqbal! Aku takut Iqbal akan melupakan aku, setelah mendapat perhatian lebih dari Kak Marwa," ujarku. "Tida
Aku masih shock, akhirnya aku harus keguguran lagi. Tapi demi menyelamatkan Iqbal yang juga anak kesayanganku. Sebagai ibu aku berada di posisi dilema, keduanya merupakan buah hatiku. Aku jadi berpikir, pasti kini Faruq sudah mengetahuinya kalau aku adalah Fahim. Aku teringat Iqbal histeris berteriak memanggil umi saat aku mendorongnya minggir dan mobil menabrakku. Sekarang dia berada di dekatku, aku tidak mau lagi melihat wajahnya. "Kak Zammil, suruh orang itu pergi, aku tidak mau melihat wajahnya!" pintaku. Muzammil memandang Faruq dengan berharap tanpa berucap. "Biarkan Iqbal menemaniku sebentar saja, ada yang ingin aku bicarakan!" pintaku lagi. "Aku hanya ingin bertanya kepada Fahim, apakah bayi itu adalah anakku? Jawab yang jujur, Fahim!" pinta Faruq memohon. "Kamu gila ya, bagaimana kamu berpikiran sepicik itu. Aku istrinya Kak Zammil bagaimana mungkin hamil anak kamu? Pergi ... pergi aku bilang!" teriakku his
Aku sudah berusaha mengingat-ingat tato siapakah itu tapi tidak bisa mengingatnya. "Bagaimana kalau Sultan Mahmud mendengar tentang insiden ini, Kak Zammil?" tanyaku takut dan sedih. "Lambat laun beliau pasti mendengarnya, Zhee, tapi sebelum itu terjadi kita berusaha lagi ya? Semoga Allah lekas mengaruniakan lagi si kecil buat kita," bisik Muzammil. Dokter sudah mengijinkan aku pulang ke rumah. Muzammil mendorong kursi rodaku sampai di depan pintu mobil. Fattah membantu membawakan koper ke mobil dan di tata di bagasi. Kemudian mobil melaju kencang menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan Muzammil memeluk tubuhku dengan sayang. Tubuhku yang masih lemah dan tidak berdaya membuatku semakin nyaman terlindungi. Dret ... dret ... dret! Ponsel Muzammil bergetar, mamanya yang menelepon. "Assalamualaikum, Sayang?" sapanya. "Waalaikum salam, Ma," jawab Muzammil pelan. "Kamu dimana, Sayang?" tanya mamanya. "Aku lagi di
Permaisuri sangat terkejut melihat Muzammil membentak Hema, bagaimanapun Hema adalah istri pilihannya. "Zammil, kamu marah kepada Hema hanya karena dia, seorang pembantu Indonesia yang tidak berpendidikan dan udik. Yang benar saja?" sahut Permaisuri emosi. "Aku cuma ingin dia tidak asal nyeplos, aku ingin mereka bisa saling menghargai," usul Muzammil. "Dia mau dihargai? Pantaskah? Apanya yang perlu dihargai, semua yang ada padanya tidak berharga," ejek permaisuri sambil menatapku. Aku hanya diam dan menunduk takut. Aku menyadari apa yang dikatakan permaisuri itu benar. Padahal dia belum mengetahui siapa aku? Kalau saja dia tahu pasti akan lebih sulit bagiku masuk istana Muzammil. Aku wanita kotor yang hanya membawa aib. "Kalau saja bayi itu masih hidup, dia bisa mengangkat sedikit hargamu," lanjutnya. "Sudah Ma, aku dan Zhee sudah cukup tersiksa dengan kehilangan anak kami, jangan ditekan lagi!" pinta Muzammil pelan. "Lihat apa