Aditama dan Vania kompak terdiam untuk beberapa saat. Detik berikutnya, Aditama mengulas senyum seraya mengangguk—membenarkan pertanyaan ibu mertua. Mata Stephanie melebar!Mencerna dalam sepersekian detik, lalu tercengang. Walau ia sudah tahu hal itu dari Vania, tapi tetap saja kaget. Mendapat uang warisan sebanyak 1 triliun? Itu sangat lah banyak! Pasti, Aditama akan langsung diterima dikeluarga Hermanto jika mereka mengetahuinya. Namun tiba-tiba Stephanie tersadar dan buru-buru menguasai diri.Kemudian, ia kembali menatap Aditama, pandangannya memicing. "Apakah ... sebenarnya kamu itu membeli kalung seharga 31 miliar ... bukan hasil meminjam uang dari Ricard? Melainkan menggunakan uangmu sendiri, Tam?" tanya Stephanie lagi dengan suara tercekat, tertinggal di tenggorokan. Hendak memastikan hal itu. Aditama mengangguk lagi. Sontak, Stephanie mengerjap sebelum kemudian tercengang lagi. Walau sebenarnya ia juga sudah menebak hal itu, tapi tetap saja kaget saat menge
Di dalam kamar, tampak seorang dokter wanita sedang memeriksa Vania. Sesekali Vania menjelaskan keluhan yang ia rasakan kepada sang dokter. Setelah selesai memeriksa, sang dokter terlihat berpikir. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, ia mendongak dan menatap Vania untuk beberapa saat. "Anda sedang tidak masuk angin, Nona Vania. Bukan pula sedang sakit." Kata dokter itu. Sudut bibirnya lalu terangkat dan membentuk senyuman penuh arti.Mendengar hal itu, Vania mengerjap. Di saat ini, ia langsung teringat dengan dugaanya tadi. Kala memikirkan hal itu, jantungnya seketika berdetak kencang. Mendadak, ia berharap jika dugaanya itu seratus persen benar. Pasalnya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sudah sangat ingin hamil. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan langsung menatap sang dokter. "Lalu, jika saya tidak sakit apa-apa ... apa yang terjadi dengan saya, Dok?" tanya Vania hati-hati. Kemudian, ia menelan ludah. "Atau ... jangan-jangan ... sa ... saya hamil, Dok?"
Begitu pintu terbuka, Vania langsung dihadapkan pada sosok Bella yang berdiri di depan pintu unit apartemenya. Kepergian Bella karena diusir oleh keluarganya, tentu membuat Vania dan Aditama bersimpati. Mereka berdua mengkhawatirkan kakak sepupunya itu. Terlebih Bella sangat baik kepada mereka berdua. Maka, mereka berdua pun mencoba menghubungi Bella untuk mengetahui kabar terbaru darinya. Mereka berdua cukup lega setelah mengetahui jika Bella tidur di rumah temanya. Vania merasa kasihan dengan Bella. Maka, ia pun membicarakanya dengan Aditama supaya Bella tinggal bersama mereka berdua saja untuk sementara waktu. Aditama pun memperbolehkanya. Akan tetapi, Vania belum memberitahukan perihal hal itu kepada Bella. Ia hanya menyuruh kakak sepupunya itu untuk datang ke unit apartemenya saja dulu. "Kak Bella," panggil Vania. Kemudian, mata Vania tertutup. Ia begitu lega melihat kakak sepupunya dalam keadaan baik-baik saja dan sungguh atang ke unit apartemenya. Setidakny
Sementara itu, di tempat lain sebuah klab malam. Para pria dan wanita muda tampak sedang asik mengobrol, diselingi canda dan tawa. Sesekali, mereka menenggak minuman masing-masing. Sebagian dari pria itu ada yang merokok. Di sekeliling mereka, lampu berkelap-kelip dan suara musik juga terdengar keras. Mereka sedang membahas acara reuni yang akan diadakan esok malam hari. Selain itu, mereka juga tengah membicarakan Vania yang mengabarkan di group chat jika dia dan suaminya bersedia datang di acara reuni tahun ini. Hal tersebut tentu saja membuat mereka semua heran. Akan tetapi, tiba-tiba perhatian semua orang yang ada di situ teralihkan dengan kedatangan seorang pria tampan yang tengah berjalan ke arah sofa yang sedang diduduki oleh orang-orang itu. Kepala-kepala pun tertoleh, kemudian senyum lebar langsung menghiasi bibir mereka masing-masing. "Kevin!!!" seru pria bernama Robi yang secara refleks bangkit dari sofa, kemudian bergegas menghampiri pria bernama Kevin itu d
Vania dan Gabriella tengah berpelukan di cafetaria kantor Hermanto Group. Gabriella adalah teman Vania semasa kuliah dulu. Namun mereka berdua tidak terlalu akrab. Hanya sebatas kenal saja. Sebelumnya Gabriella mengabari Vania jika ingin bertemu karena ada hal yang mau dibicarakan.Berhubung Vania juga tidak sedang terlalu sibuk, mendekati jam makan siang pula, akhirnya ia pun mengiyakan. Setelah ngobrol basa-basi sebentar, mereka berdua duduk saling berhadapan di kursi masing-masing. Di saat yang sama, datang pelayan cafetaria ke meja mereka dengan membawa buku menu, lalu memberikanya kepada mereka berdua. Selama sesaat, mereka berdua disibukan dengan memilih makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi, Gabriella memperbaiki posisi duduk, menatap Vania dengan lekat. "Kamu ... sungguh akan menghadiri acara reuni nanti malam bersama kita, 'kan, Van?" tanya Gabriella, hendak memastikan kesanggupan Vania menghadiri acara reuni tahun ini di group chat itu. Vania balas menat
"Aditama ... Vania ... " Panggilan itu membuat Aditama dan Vania kompak membalikan badan, menoleh ke belakang, lalu mencari sumber suara. Tampak seorang pria tengah menunjuk mereka berdua dengan jarinya selagi berjalan mendekat. Ternyata pria itu adalah Steven. Teman lama Vania semasa kuliah dulu. Jadi sudah dipastikan jika pria itu akan menghadiri acara reuni juga sama seperti Vania dan Aditama. "Ini ... aku tidak salah lihat, 'kan?" ujar Steven terbata sambil menunjuk Aditama dan Vania bergantian begitu tiba di hadapan mereka berdua. "Kamu Vania, 'kan dan ini ... suamimu ... Aditama?" Lanjut Steven, hendak memastikan ia tidak salah tebak.Mendengar hal itu, Vania tersenyum miring. Begitu pula dengan Aditama. Vania lalu melipat tangan di depan dada. "Kau tidak salah liat, Steven. Aku benar Vania dan ini ... adalah suamiku ... Aditama." Kata Vania, sesekali menatap ke arah sang suami. Seketika terbit seringaian di bibir Steven. "Ternyata kamu beneran datang, Van. Kukira
Rendi menatap Aditama sinis. "Eh, miskin ... kau mendapatkan jas bagus ini dari mana?!" tanya Rendi dengan kedua alis terangkat tinggi seraya berkacak pinggang. "Pasti dibelikan oleh Vania lah. Mana mungkin dia punya uang sendiri untuk membeli jas yang kelihatanya mahal itu. Dia kan ... suami yang bergantung pada istrinya!" celetuk salah satu wanita. Rendi menyeringai mendengar hal itu, kemudian geleng-geleng kepala dengan senyuman menghina. "Kuli bangunan sepertimu sama sekali tidak pantas mengenakan jas mahal seperti itu ... kau itu tetap gembel ... selamanya ... akan tetap menjadi gembel!" Rendi tertawa, yang langsung diikuti oleh semua orang setelahnya. Aditama dan Vania geram mendengar hal itu. Akan tetapi, mereka berdua bersikap seolah tak terpengaruh. Berusaha mengontrol emosi dalam diri masing-masing supaya tidak meledak dulu. "Emang bener-bener pria sialan kau, Tam!" sambung pria lain bernama Alex dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menuding muka Aditama.
"Ini ... suami kamu, Van?" tanya Kevin sambil menunjuk Aditama, sesekali menatap Vania. Mendengar hal itu, Vania mengangguk.Kening Kevin berkerut. "Katanya ... kamu terpaksa menikah denganya ... karena dijodohkan oleh Papamu?" tanya Kevin lagi, hendak memastikan kebenaran cerita dari teman-temanya. Vania mengangguk lagi dengan tetap mempertahankan ekspresi wajah datar. "Dan ... aku dengar dari teman-temanku jika suamimu ini adalah menantu yang tidak berguna, Van? Suami yang cuma menjadi beban bagimu ... dan keluargamu saja? Dan katanya dia juga ... bekerja sebagai kuli bangunan?" Kevin langsung memberondong Vania dengan pertanyaan. Lagi-lagi, Vania mengangguk, terpaksa membenarkan semua pertanyaan Kevin lebih dulu. Mendengar jawaban Vania, Kevin menghela napas berat. Selama sesaat, ia mengedar pandangan ke sekeliling seraya mengusap wajah. Dia kemudian berkata. "Astaga ... kenapa nasibmu menyedihkan sekali, Van ... aku benar-benar tidak menyangka ... wanita secantik da