Vania dan Gabriella tengah berpelukan di cafetaria kantor Hermanto Group. Gabriella adalah teman Vania semasa kuliah dulu. Namun mereka berdua tidak terlalu akrab. Hanya sebatas kenal saja. Sebelumnya Gabriella mengabari Vania jika ingin bertemu karena ada hal yang mau dibicarakan.Berhubung Vania juga tidak sedang terlalu sibuk, mendekati jam makan siang pula, akhirnya ia pun mengiyakan. Setelah ngobrol basa-basi sebentar, mereka berdua duduk saling berhadapan di kursi masing-masing. Di saat yang sama, datang pelayan cafetaria ke meja mereka dengan membawa buku menu, lalu memberikanya kepada mereka berdua. Selama sesaat, mereka berdua disibukan dengan memilih makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi, Gabriella memperbaiki posisi duduk, menatap Vania dengan lekat. "Kamu ... sungguh akan menghadiri acara reuni nanti malam bersama kita, 'kan, Van?" tanya Gabriella, hendak memastikan kesanggupan Vania menghadiri acara reuni tahun ini di group chat itu. Vania balas menat
"Aditama ... Vania ... " Panggilan itu membuat Aditama dan Vania kompak membalikan badan, menoleh ke belakang, lalu mencari sumber suara. Tampak seorang pria tengah menunjuk mereka berdua dengan jarinya selagi berjalan mendekat. Ternyata pria itu adalah Steven. Teman lama Vania semasa kuliah dulu. Jadi sudah dipastikan jika pria itu akan menghadiri acara reuni juga sama seperti Vania dan Aditama. "Ini ... aku tidak salah lihat, 'kan?" ujar Steven terbata sambil menunjuk Aditama dan Vania bergantian begitu tiba di hadapan mereka berdua. "Kamu Vania, 'kan dan ini ... suamimu ... Aditama?" Lanjut Steven, hendak memastikan ia tidak salah tebak.Mendengar hal itu, Vania tersenyum miring. Begitu pula dengan Aditama. Vania lalu melipat tangan di depan dada. "Kau tidak salah liat, Steven. Aku benar Vania dan ini ... adalah suamiku ... Aditama." Kata Vania, sesekali menatap ke arah sang suami. Seketika terbit seringaian di bibir Steven. "Ternyata kamu beneran datang, Van. Kukira
Rendi menatap Aditama sinis. "Eh, miskin ... kau mendapatkan jas bagus ini dari mana?!" tanya Rendi dengan kedua alis terangkat tinggi seraya berkacak pinggang. "Pasti dibelikan oleh Vania lah. Mana mungkin dia punya uang sendiri untuk membeli jas yang kelihatanya mahal itu. Dia kan ... suami yang bergantung pada istrinya!" celetuk salah satu wanita. Rendi menyeringai mendengar hal itu, kemudian geleng-geleng kepala dengan senyuman menghina. "Kuli bangunan sepertimu sama sekali tidak pantas mengenakan jas mahal seperti itu ... kau itu tetap gembel ... selamanya ... akan tetap menjadi gembel!" Rendi tertawa, yang langsung diikuti oleh semua orang setelahnya. Aditama dan Vania geram mendengar hal itu. Akan tetapi, mereka berdua bersikap seolah tak terpengaruh. Berusaha mengontrol emosi dalam diri masing-masing supaya tidak meledak dulu. "Emang bener-bener pria sialan kau, Tam!" sambung pria lain bernama Alex dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menuding muka Aditama.
"Ini ... suami kamu, Van?" tanya Kevin sambil menunjuk Aditama, sesekali menatap Vania. Mendengar hal itu, Vania mengangguk.Kening Kevin berkerut. "Katanya ... kamu terpaksa menikah denganya ... karena dijodohkan oleh Papamu?" tanya Kevin lagi, hendak memastikan kebenaran cerita dari teman-temanya. Vania mengangguk lagi dengan tetap mempertahankan ekspresi wajah datar. "Dan ... aku dengar dari teman-temanku jika suamimu ini adalah menantu yang tidak berguna, Van? Suami yang cuma menjadi beban bagimu ... dan keluargamu saja? Dan katanya dia juga ... bekerja sebagai kuli bangunan?" Kevin langsung memberondong Vania dengan pertanyaan. Lagi-lagi, Vania mengangguk, terpaksa membenarkan semua pertanyaan Kevin lebih dulu. Mendengar jawaban Vania, Kevin menghela napas berat. Selama sesaat, ia mengedar pandangan ke sekeliling seraya mengusap wajah. Dia kemudian berkata. "Astaga ... kenapa nasibmu menyedihkan sekali, Van ... aku benar-benar tidak menyangka ... wanita secantik da
"Singkirkan kakimu dari kursi itu, Rob." ucap Aditama dengan nada dingin dan ekspresi wajah datar, tanpa menatap sang lawan bicara. Mendengar hal itu, Robi mengerjap, mencerna perkataan Aditama dalam sepersekian detik. Begitu pula dengan semua orang. Kenapa ... Aditama berani membalas ucapan Robi? Di saat ini, benak semua orang langsung teringat dengan kejadian tiga tahun yang lalu. Dimana, Aditama tidak berani bicara—membalas semua hinaan yang dia terima. Dia hanya terdiam dan pasrah. Tapi sekarang berbeda ... pria itu sudah berani bicara! Namun tiba-tiba Robi tersadar dan buru-buru menguasai diri. Paling-paling Aditama sudah berani bicara saja, tapi pasti tidak akan berani berbuat macam-macam. Aditama berani melawan mereka? Itu sama saja dengan dia mau cari mati! Robi pun tergelak dan berujar. "Kau itu gembel, Aditama ... gembel sepertimu itu tidak akan bisa memerintahku!" Lalu, Robi tertawa diikuti oleh yang lainya. Tentu saja mereka jadi semakin bersemangat ingin
Vania lalu bangkit dari kursi seraya melipat tangan di depan dada dan menatap Gabriella untuk beberapa saat. Dia kemudian berkata. "Menurutku ... apa yang dilakukan Aditama kepadamu itu ... tidak berlebihan, Gab." Jawab Vania dengan nada dingin dan ekspresi wajah datar. "Dia ... hanya menyiramu saja." Kemudian, ia memicingkan pandangan. "Dia tidak menamparmu ... tidak pula memukul atau ... menendangmu ... seperti apa yang Aditama lakukan kepada Robi, Alex dan Rendi tadi!" Lanjut Vania, sesekali melirik ke arah tiga pria yang baru saja ia sebutkan. Mendengar hal itu, Gabriella terpelongo diikuti yang lainya. Setelah tersadar, Gabriella langsung gelagapan dengan alis tertaut. "What?! Apa yang ka ... kamu katakan, Van?! Dan ... ka ... kamu membela suamimu, Van?!" ucap Gabriella terbata seraya menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. "Aku tidak perlu melakukan sesuatu kepada Aditama karena dia tidak melakukan tindakan diluar batas ... tindakannya itu hanya semata-mata untuk mem
Mendadak, seisi ruangan dipenuhi tawa keras. Jelas diantara mereka tidak ada yang percaya. Bagimana mungkin seorang menantu tidak berguna yang bekerja sebagai kuli bangunan ... bisa membeli kalung seharga 31 miliar? "Astaga ... jangan gilaa deh kamu, Van!!!" "Suamimu itu cuma seorang kuli bangunan!" "Suamimu itu adalah menantu yang tidak berguna!" "Gajinya kecil sekali. Dan bahkan, untuk kebutuhan hidup kalian sehari-hari saja masih kurang!" "Lucu sekali!" "Bercandamu sungguh kelewatan, Van!" Mendengar komentar-komentar penuh tidak percaya itu, Vania dan Aditama tetap bersikap tenang. Memang itu tujuan mereka berdua, akan membiarkan orang-orang itu tertawa sepuasnya lebih dulu karena nanti, pasti mereka akan tercengang dan bungkam pada akhirnya. Vania lalu menatap satu persatu teman-teman lamanya yang masih tertawa keras dengan saksama selagi melipat tangan di depan dada. Perlahan, sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman penuh arti. Dia kemudian berkata. "Su
"Kaa ... kau serius, Stev?""Melihat Vania dan Aditama datang ke sini dengan mengendarai BMW?!" "Mungkin kau salah lihat, Stev!" "Tidak mungkin mereka berdua ke sini dengan mengendarai BMW!" Mendengar hal itu, Steven menggeleng cepat. "Tidak! Aku tidak salah lihat!" sambar Steven menyela perkataan teman-temanya. "Aku melihat dengan kepala mataku sendiri jika mereka berdua keluar dari mobil BMW dan aku juga sempat mengobrol dengan mereka tadi!" Lanjut Steven tegas penuh penekanan pada kalimatnya, sesekali menatap Aditama dan Vania. Seketika semua mata melebar. Selagi semua orang tertegun, Steven angkat suara lagi. "Tapi aku yakin jika mobil itu bukan milik mereka ... mungkin mobil hasil meminjam atau mungkin ... rental!" ucap Steven dengan sinis. "Sungguh mustahil mereka memiliki mobil BMW!" Sontak, semua orang langsung tersadar kala mendengar hal itu, kepala-kepala pun tertoleh ke arah Steven lagi.Mencerna dalam sepersekian detik, lalu kompak setuju. Sementara Kevin mende