Mendadak, seisi ruangan dipenuhi tawa keras. Jelas diantara mereka tidak ada yang percaya. Bagimana mungkin seorang menantu tidak berguna yang bekerja sebagai kuli bangunan ... bisa membeli kalung seharga 31 miliar? "Astaga ... jangan gilaa deh kamu, Van!!!" "Suamimu itu cuma seorang kuli bangunan!" "Suamimu itu adalah menantu yang tidak berguna!" "Gajinya kecil sekali. Dan bahkan, untuk kebutuhan hidup kalian sehari-hari saja masih kurang!" "Lucu sekali!" "Bercandamu sungguh kelewatan, Van!" Mendengar komentar-komentar penuh tidak percaya itu, Vania dan Aditama tetap bersikap tenang. Memang itu tujuan mereka berdua, akan membiarkan orang-orang itu tertawa sepuasnya lebih dulu karena nanti, pasti mereka akan tercengang dan bungkam pada akhirnya. Vania lalu menatap satu persatu teman-teman lamanya yang masih tertawa keras dengan saksama selagi melipat tangan di depan dada. Perlahan, sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman penuh arti. Dia kemudian berkata. "Su
"Kaa ... kau serius, Stev?""Melihat Vania dan Aditama datang ke sini dengan mengendarai BMW?!" "Mungkin kau salah lihat, Stev!" "Tidak mungkin mereka berdua ke sini dengan mengendarai BMW!" Mendengar hal itu, Steven menggeleng cepat. "Tidak! Aku tidak salah lihat!" sambar Steven menyela perkataan teman-temanya. "Aku melihat dengan kepala mataku sendiri jika mereka berdua keluar dari mobil BMW dan aku juga sempat mengobrol dengan mereka tadi!" Lanjut Steven tegas penuh penekanan pada kalimatnya, sesekali menatap Aditama dan Vania. Seketika semua mata melebar. Selagi semua orang tertegun, Steven angkat suara lagi. "Tapi aku yakin jika mobil itu bukan milik mereka ... mungkin mobil hasil meminjam atau mungkin ... rental!" ucap Steven dengan sinis. "Sungguh mustahil mereka memiliki mobil BMW!" Sontak, semua orang langsung tersadar kala mendengar hal itu, kepala-kepala pun tertoleh ke arah Steven lagi.Mencerna dalam sepersekian detik, lalu kompak setuju. Sementara Kevin mende
Gabriella menurunkan ponsel dari telinga dengan memasang ekspresi wajah tak berdaya, lalu memberikan ponsel kepada Aditama setengah tidak fokus. Ia telah selesai bicara dengan manager toko resmi Tiffany & Co dan mendapatkan jawaban yang begitu mencengangkan.Manager toko membenarkan jika Aditama membeli kalung di sana. Mendadak, kepalanya terasa berat bukan main karena dipenuhi oleh berbagai macam dugaan dan pertanyaan. Alhasil, ia pun membeku di tempat. Melihat Gabriella bersikap demikian, orang-orang pun menduga jika kebenaran telah terungkap. Segala pertanyaan pun langsung terlontar keluar dari mulut-mulut semua orang, mendesak Gabriella untuk segera memberitahu apa yang tadi dia dan manager toko bicarakan di telepon.Hal tersebut membuat wanita itu tersadar pada akhirnya, lalu menatap semua orang bergantian dengan memasang ekspresi wajah linglung. Terdiam sejenak sebelum kemudian mengangguk pelan. Melihat hal itu, semua orang terkejut bukan main. Mendadak, seisi ruanga
Semua mata kompak tertuju pada Vania, wajah-wajah tampak begitu penasaran, menunggu jawaban dari wanita itu. Selama sesaat, Vania terdiam, tengah mencari kata-kata yang pas untuk ia sampaikan kepada Kevin. Setelah merasa siap, Vania pun mendongak, menatap pria itu untuk beberapa saat. Dia kemudian berkata. "Maafkan aku, Vin. Aku tidak bisa menerima bunga pemberian darimu dan itu artinya ... aku tidak bisa menerimamu!" Sontak, mata Kevin melebar. Begitu pula dengan semua orang. Apa?! Vania ... menolak Kevin?!Alhasil, semua orang seketika tercengang. Sedangkan Kevin tiba-tiba membeku di tempat—tengah mencerna jawaban Vania. Setelah tersadar, ia buru-buru menggeleng. Tidak-tidak! Tidak mungkin! Vania tidak mungkin menolak dirinya! Kevin langsung menyangkal jawaban Vania. Ia lalu mensugesti dirinya sendiri jika mungkin saja salah dengar. "Tidak mungkin kamu menolaku, Van. Ka ... kamu ... paa ... passti bercanda, 'kan, Van?" ucap Kevin terbata, hendak mem
Kevin mendengus dingin, menatap Vania dengan mata berkilat tajam, serta dengan napas yang memburu tak beraturan. "Kamu ... benar-benar telah mempermalukanku, Vania!!!" Kevin berteriak tak kalap, suaranya menggelegar. Ekspresi wajahnya buruk, otot-ototnya menegang—menyembul keluar—memancarkan aura kemarahan hebat. Kening Vania berkerut. "Aku ... telah mempermalukanmu ... Vin?" Vania balik bertanya, menunjuk dirinya dengan jari telunjuknya, hendak memastikan ia tidak salah dengar seraya tersenyum kecut.Kemudian, ia menggeleng selagi melipat tangan di depan dada. "Aku merasa tidak mempermalukanmu sama sekali, Vin. Itu adalah kesalahanmu sendiri yang tidak dipikir matang-matang dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tanggaku terlebih dahulu." "Justru rencanamu itu membuatmu malu sendiri pada akhirnya, Vain!" Lanjut Vania. Suaranya tidak kalah meninggi dan wajahnya juga mengeras. Kentara jelas jika wanita itu juga sedang sama marahnya. Para pendukung Kevi
Vania tetap berusaha untuk tidak gentar membalas perkataan Kevin. Meskipun dadanya sesak, hatinya terasa sakit bukan main dikarenakan mendengar tuduhan Kevin barusan. Ia sudah mengantisipasi jika kejadianya akan jadi seperti ini jika ia menolak Kevin. Mendengar hal itu, wajah Kevin seketika mengeras. Giginya bergemeretak. Ucapan Vania terdengar begitu menjengkelkan di telinganya."Kalau iya kenapa?!" bentak Kevin sambil melotot ke arah Vania. Ia lalu maju satu langkah. Berdiri tepat di hadapan Vania seraya berkacak pinggang. Tengah mengintimidasi wanita itu. Sikap lembut yang beberapa saat lalu dia tunjukan, serta perkataan penuh cinta dan terdengar romantis, kini mendadak terhempas begitu saja—tergantikan dengan sikapnya yang berubah kasar. Kevin lanjut berkata. "Kamu tau, Van? Semua wanita ... pada datang kepadaku dan mengemis cinta padaku!" Kemudian, matanya memicing. "Sedangkan dirimu? Kamu ... adalah wanita terbodoh yang pernah kukenal karena kamu berani
Aditama mendelik ke arah Kevin—seolah bola matanya mau keluar dari tempatnya. "Jaga bicaramu, bajingan!" bentak Aditama dengan gigi gemeretak seraya mencengkram kerah baju Kevin dengan begitu kuat. "Sedari tadi ... aku cuma diam saja karena masih memantau. Tapi, setelah kau memfitnah dan mengatai istriku? Jangan harap ... aku akan tetap diam!" Lanjut Aditama, dengan emosi penuh menggebu. Kini, posisi Kevin tergeletak mengenaskan di lantai dengan hidung berdarah dan wajah dipenuhi beberapa luka. Aditama baru saja menghajar pria itu habis-habis dan dengan brutal. Kevin menggeram marah mendapati hal itu. Sialan. Rasa sakit yang tengah ia rasakan membuatnya tidak bisa apa-apa. Apalagi saat ini dirinya dalam kendali Aditama sepenuhnya.Namun ia berjanji akan menghabisi Aditama setelah ini. Sementara itu, para pendukung Kevin langsung memperingati Aditama. "Aditama! Jangan keterlaluan kau kepada Kevin!""Berani sekali kau memukul Kevin sampai hidungnya berdarah!" "Ka ...
"Bersujud lah kau di kakiku ... jilat sepatuku ... meminta maaf ... serta memohon-mohon kepadaku," Kevin menghentikan kalimatnya sejenak. Sudut bibirnya terangkat dan membentuk senyuman penuh arti. Kemudian, ia menggeleng. "Maka ... aku tidak akan menyuruh para bodyguardku untuk meringkusmu." Mendengar ucapan Kevin, darah dalam diri Aditama semakin memanas. Ia pun mendengus dingin, menatap pria itu tajam, dengan kedua tangan terkepal kuat. Namun tiba-tiba Aditama tersadar, kemudian terbit senyum kecut di bibirnya. Jangan harap, ia akan melakukan permintaan dari pengecut itu!Kevin tersenyum licik seraya melipat tangan di depan dada. "Bagimana, Aditama?" Ia mengangkat sebelah alisnya. Para pendukung Aditama dan Vania mencoba memperingati Aditama untuk memikirkan kembali keputusanya melawan para bodyguad itu. Akan tetapi, Aditama tetap bersikeras. Alhasil, mereka pun hanya bisa pasrah dan membiarkan Aditama pada akhirnya. Suaminya Vania itu lalu kembali menatap Kev