Melihat kedatangan tuan mudanya, Heru bergegas menghampiri. Tepat di hadapan Aditama, ia membungkukan badan. "Apa yang hendak kau bicarakan denganku, Kak Heru?" tanya Aditama. Heru menegapkan tubuhnya kembali dan menjawab. "Ada yang hendak aku tunjukan kepada Tuan Muda." Dia kemudian menambahkan. "Mari, Tuan Muda. Ikuti aku." Usai mengatakan hal itu, Heru berbalik dan berjalan mendahului menuju ke arah mobilnya diikuti Aditama di belakang. Lalu, Heru membuka pintu mobil, menyuruh seseorang di dalam sana untuk keluar. Tampak seorang pria turun dari mobil dengan gerakan patah-patah setelahnya. Pria itu langsung gemetaran begitu disambut tuan muda keluarga Gandara di hadapanya, menatap sekilas, sebelum kemudian langsung menundukan kepala. Melihat wajah pria itu, Aditama menautkan alis. Merasa tak asing dengan wajah pria tersebut. Namun tiba-tiba mata Aditama melebar kala teringat siapa pria tersebut. Tak salah lagi, pria itu adalah tukang pukul penyusup yang telah membo
Aditama kembali diajak bertemu oleh Robert dan Andika. Ia menduga jika mereka berdua hendak meluruskan soal kejadian penyerangan waktu itu. Juga sudah pasti soal data-data yang selama ini sedang mereka incar. Akan tetapi, Aditama tidak akan memberitahu tukang pukul yang diselundupkan oleh mereka di keluarganya itu hanya lah dijadikan kambing hitam. Kali ini Robert dan Andika mengajak bertemu Aditama di gedung kantor perusahaan mereka. Melihat kedatangan Aditama, dengan gaya khas bermuka dua, Robert dan Andika langsung berdiri dari kursi masing-masing untuk menyambutnya. Seperti biasa dengan ramah. Seakan penyerangan yang mereka lakukan itu tak pernah terjadi. Aditama dipersilahkan duduk dan ia duduk di kursi dekat mereka diikuti Robert mau pun Andika setelahnya. Duduk kembali. Awalnya, mereka mengobrol basa-basi. Aditama tidak menyela pembicaraan, mau pun memotong, memutuskan menunggu hingga keduanya menyinggung kepada inti pembicaraan pada akhirnya. "Apa kau tahu, Tam?"
Malam hari, di rumahnya, Aditama mendapatkan panggilan masuk dari Heru. Ia pun segera menggusap layar dan menempelkan ponsel di telinga. "Aku ingin melaporkan jika Edwin baru saja pergi, Tuan Muda." ujar Heru di sebrang sana begitu panggilan terhubung. "Jika Tuan Muda ingin mengecek kamarnya, maka, sekarang lah waktunya." Aditama mengerjap mendengar hal itu. "Oke, Kak Heru." Sahut Aditama cepat. Dia kemudian menambahkan. "Tunggu aku di bawah. Aku akan segera ke sana." "Baik, Tuan Muda." "Ngomong-ngomong ... apakah dia memberitahumu hendak ke mana dia pergi?" tanya Aditama lagi. "Tidak, Tuan Muda." Jawab Heru. "Dia tidak bilang mau pergi ke mana padaku." Aditama menghela napas. Ia lalu lanjut berkata. "Tapi kau sudah menyuruh anak buahmu untuk mengikutinya, 'kan?" "Sudah, Tuan Muda. Tuan Muda tidak perlu khawatir. Selama ini aku mau pun anak buahku selalu mengikuti dan mengawasi gerak gerik Edwin." Rahang Aditama mengeras sembari manggut-manggut. "Bagus."Panggilan b
Di salah satu ruangan perusahaan, tampak Robert dan Andika sedang berbincang dengan seorang pria berseragam polisi. Robert memperbaiki posisi duduk, menatap pria berseragam polisi yang ada di depanya itu untuk beberapa saat. "Anda bisa melindungi kami jika Laksana nekat menyebarkan data-data tentang kejahatan yang kami lakukan, 'kan Pak Gunar?" ucap Robert dengan rahang mengeras diikuti tatapan keingintahuan Andika. Polisi bernama Gunar itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Sangat bisa, Tuan Robert dan Tuan Andika," jawabnya menatap keduanya bergantian. "Saya pastikan kalian akan tetap aman jika seandainya data-data yang dipegang Tuan Laksana Gandara saat ini akan tersebar ke publik." Lanjutnya penuh keyakinan. Seketika Robert dan Andika saling pandang, lantas saling melempar senyum. Setelah pembicaraan terakhir kali dengan Aditama, yang membuat mereka berdua lega dan senang karena Aditama bersedia menyerahkan data-data itu. Akan tetapi, hal tersebut malah membuat mereka b
Aditama semakin dibuat bingung. Namun jangan pikir Edwin bisa melakukan hal demikian. Tentu ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia akan menggagalkan rencana jahat Edwin ini! Mata Aditama lalu menutup seiring ia yang masih mencoba mencerna rencana jahat yang akan Edwin lakukan terhadap orang-orang yang ia sayangi. Alih-alih ia yang sedang menghadapi musuhnya yang tak lain dan tak bukan adalah Robert dan Andika—yang masih belum selesai juga—tapi kini harus ditambah musuh lagi, mirisnya dari orang dalam! Di sisi lain, ia masih shock bukan main. Pasalnya, ia benar-benar tak menyangka jika orang kepercayaan keluarganya, orang yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri, pun sang Ayah sudah mengambilnya, dari dia tak punya apa-apa, menjadi mempunyai segalanya sekarang. Dari bukan siapa-siapa, menjadi ketua tukang pukul yang disegani dan ditakuti. Tapi ... apa balasan Edwin terhadap keluarganya? Dia malah akan menikam keluarganya dari belakang? Akan melenyapkan oran
Setibanya di rumah keluarga besar Gandara, Ricard langsung menemui Aditama dan menceritakan semua informasi yang ia dapatkan. "Tahun itu, di kampung mereka terjadi penyerbuan oleh sekelompok orang yang berkuasa karena orang-orang di kampung itu menolak untuk bergabung dengan mereka, Tuan Muda ... tapi ada pula yang bilang juga karena ada pengkhianat di sana, ada pula yang bilang jika karena perebutan wilayah. Maka, kelompok preman, mafia itu menghabisi beberapa orang-orang di kampung itu." "Banyak orang yang meninggal, salah satunya adalah kedua orang tua dan kakaknya Edwin. Sebagian ada yang selamat, melarikan diri dalam penyerangan itu. Sedangkan adiknya Edwin itu pada saat kejadian berlangsung sedang tidak ada di rumah. Dia sedang di rumah saudaranya. Jadi, dia tidak tahu persis bagaimana penyerbuan itu terjadi. Hanya mendengar cerita dari orang-orang saja." "Dan sejak saat itu, Edwin bertekad untuk mencari dan membunuh orang yang telah membunuh keluarganya, Tuan Muda.""Wakt
Selesai berbincang dengan Ricard, Aditama langsung mencari keberadaan sang Ayah untuk bertanya dan memastikan kebenaranya. Ia menemukan sang Ayah sedang berada di ruangan berisi puluhan mobil-mobil mewah koleksinya berjejer rapi yang memanjakan mata—yang sudah seperti showroom mobil saja. Melihat kedatangan anak laki-lakinya, Laksana Gandara langsung mengajaknya ngobrol tentang mobil-mobil itu. Aditama memilih menanggapinya lebih dulu walau tidak terlalu antusias karena pikiranya saat ini sedang terfokus sepenuhnya dengan masalah yang sedang ia hadapi. Baru setelah agak lama, ia memotong perkataan sang Ayah dengan mengatakan jika ada yang hendak ia bicarakan padanya.Laksana Gandara tidak berpikir macam-macam, segera mengajak Aditama duduk. Keduanya duduk bersebelahan di kursi yang ada di tepi tembok ruangan tersebut. "Apakah Papa sudah tahu kalau Edwin berkhianat dari kita, Pa?" tanya Aditama dengan pandangan kosong, memulai pembicaraan. Usai mengatakan hal itu,
Laksana Gandara spontan berdiri seraya berkacak pinggang. "Katamu ... Edwin yang telah membocorkan tempat rahasia kita ... dan tukang pukul yang telah kita tangkap sebelumnya ternyata hanya dijadikan kambing hitam saja oleh mereka?" tanya pria paruh baya itu dengan rahang mengeras, pandanganya lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah anak laki-lakinya. Mendengar itu, Aditama yang masih duduk di kursinya mengiyakan. Ia baru saja memberitahu tentang hal itu kepada sang Ayah. Selama sesaat, Laksana Gandara berpikir. "Sudah jelas, Tam. Jika Robert dan Andika menggunakan Edwin dan mungkin mereka berdua berbohong kepada Edwin soal kematian keluarganya dengan menuduh Papa sebagai pelakunya karena kami masih menjadi partner bisnis pada waktu itu. Makanya, Edwin hendak membalaskan dendamnya kepada keluarga kita!" seru Laksana Gandara dengan gigi gemeretak, berpikir demikian. Aditama mangguk-mangguk dengan rahang mengeras, setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang Ayah.