“Njenengan yakin nggak kenapa-kenapa, Gus?” Mas Abraham kembali bertanya.“Insya Allah tidak apa-apa, Mas. Cuma pusing sedikit!” jawabku seraya menoleh ke arah Mas Abraham yang sedang fokus mengemudi.“Saya jadi nggak enak sama njenengan. Gara-gara saya tidak fokus menyetir, njenengan malah jadi korban.”“Apa sampean masih mencintai Dek Mayla, Mas?” Memberanikan diri untuk bertanya.Hening. Hanya suara derum mesin kendaraan serta suara napas berat Mas Abraham yang terdengar.Sekali lagi menoleh menatap wajahnya, dan lelaki berambut panjang itu masih duduk dalam mode yang sama. Tetap fokus mengemudi tanpa menghiraukan pertanyaan dariku.Tidak apalah. Mungkin dia merasa sungkan jika mengakui perasaan yang sebenarnya. Aku anggap diamnya itu sebagai jawaban tidak. Dan semoga saja benar adanya. Mas Abraham sudah benar-benar melupakan Dek Mayla serta menepis rasa cinta yang bertakhta di sanubari.“Sudah sampai, Gus!” ucap Mas Abraham pelan, memecah keheningan.Aku menatap sebuah rumah berga
Pelan-pelan kuteguk air putih yang ada di tangan, walaupun tenggorokan ini rasanya begitu sulit untuk menelan.Takut. Begitu khawatir jika doa Mas Abraham didengar oleh Allah dan Yang Maha Kuasa memisahkan aku dengan Dek Mayla.Astaghfirullahaladzim...Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil adziimi...Meletakkan gelas di atas meja. Berjalan terhuyung menuju kamar kemudian lekas menggelar sajadah, bertafakur diri memohon supaya Tuhan tidak mengabulkan doa-doa lelaki berambut gondrong itu.Aku sudah terlalu lama menunggu agar bisa bersatu dengan Dek Mayla. Aku juga sangat mencintai perempuan bermanik coklat itu, dan tidak akan sanggup jika harus dipisahkan dengannya.Mengusap wajah perlahan, bertilawah sebentar sambil menunggu azan Subuh berkumandang, agar hati serta pikiran terasa tenteram.“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Mas Abraham mengetuk pintu seraya mengucap salam. Gegas beranjak bangun dari atas sajadah, membuka pintu untuk tuan rumah yang sedang aku
“Ya sudah. Semoga saja Mas segera bertemu dengan Mas Ibnu dan bisa membawa Raihan kembali. Aku sudah kangen banget sama dia. Dedek bayi perut juga sudah kangen sama Abinya,” ucapnya dengan manja.Aku melirik ke arah Mas Bram yang terus saja memperhatikan. Berusaha bersikap biasa kepada Dek Mayla, tidak ingin menunjukkan kemesraan si depan pria berambut gondrong tersebut demi menjaga perasaannya.“Ya sudah, Dek. Mas maem dulu, ya. Adek juga jangan lupa maem, istirahat yang cukup, jangan mikir yang berat-berat. Jangan lupa juga minum vitamin sama susu hamilnya ya sayang.”“Iya, Mas. Mas juga hati-hati di Jakarta. Assalamualaikum!”“Waalaikumussalam!” menekan tombol merah lalu meletakan kembali ponselku di atas meja.Sesaat suasana menjadi hening. Mas Abraham terus saja menatap ke luar jendela, seperti sedang menyembunyikan perasaannya yang pasti terbakar cemburu melihatku sudah bahagia dengan istri.Maafkan saya, Mas Bram. Bukan maksud memanas-manasi, tapi kalau Dek Mayla menghubungi da
Astagfirullah ....Aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap dia. Mas Abraham tidak mungkin mempunyai pemikiran sejahat itu. Dia datang ke tempat kerjanya Mas Ibnu, pasti juga sedang mencari informasi tentang keberadaan putraku.Perlahan-lahan mobil hitam yang selalu dibawa ke mana-mana oleh Mas Abraham berjalan menjauh dari parkiran. Aku segera masuk ke dalam gedung itu, mencari informasi tentang Mas Ibnu dan ternyata tidak ada satu orang pun yang tahu di mana dia tinggal sekarang.Aku hampir saja putus asa karena tidak jua menemukan titik terang di mana Raihan berada.Baru saja hendak menstater motor, ponsel di dalam tas tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk, dari Mas Abraham. Lekas kugeser tombol hijau, penasaran karena tiba-tiba dia menghubungiku.“Assalamualaikum. Ada apa, Mas?” sapaku kepada lawan bicara yang ada di seberang sana.“Waalaikumussalam, Gus. Saya sudah menemukan Raihan. Njenengan segera datang ke mal Taman Anggrek. Saya menemukan dia sedang bersama Mas Ibnu. Tap
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai