Kesabaran Albi sudah di ambang batas. Kedua tangan mengepal di bawah sana, menunjukkan betapa ia sangat marah mendengar perkataan Shera, bahwa semua ini adalah ulah Vivia. Sungguh menyulut bara emosi di dadanya. Dia harus menemui Vivia sekarang juga. “She, kau pulanglah duluan. Aku akan mengurus masalah ini dengan Vivi,” katanya. Jika kedua mata itu bisa menyalakan api, tentu tempat itu sudah terbakar oleh sorot mata Albi. “Tapi, Bi.” “Menurutlah, Shera... aku harus menuntaskan masalah ini, sebelum Vivia lebih berani!” Meski tidak membentaknya, Shera tetap merasa takut oleh nada suara Albi yang begitu tegas dan... kelam. “Oke, aku akan pulang lebih dulu. Tapi, Bi, aku akan pulang ke rumahku. Kau juga pulanglah ke rumahku setelahnya, kita tak mungkin tinggal di rumah Vivia lagi. Kita tak tahu dia akan melakukan hal yang lebih gila.” Tangan Shera menyentuh dada bidang Albian, mengelusnya lembut. “Ingat, jangan membuat hal yang merugikan kita, saat kau marah,” imbuhnya berpesan. O
Albi tak sudah tak mau terkecoh oleh kepolosan yang Vivia tunjukkan. Vivia adalah dalang dari hancurnya hubungan Albi dan Shera. Vivi begitu liciknya mengambil kesempatan oleh kuasa orang tuanya, sehingga keluarga Albi harus memaksa dirinya menikahi gadis ini. Jika Albi pikirkan kembali ke belakang, Albi adalah korban atas ketamakan Vivia. Ia harus meninggalkan Shera, dengan imbalan karier yang ia dapatkan selama ini. Andaikan Vivi tidak melakukan hal licik itu, Albi rasa dia tak harus berpisah dengan Shera, sehingga segalanya menjadi rumit seperti sekarang. Tanpa berkata-kata lagi, Albian mengeluarkan sebuah flashdisk dari saku celana kain yang dikenakannya. Flashdisk itu berisi foto-foto dirinya dan Shera saat bercinta, yang dikirimkan Vivia melalui kurir. Ia letakkan flashdisk itu secara kasar di atas meja rias tepat di depan Vivia. “Apa ini, Vivia?” tanya Albi dengan tangan gemetar menahan amarah. “Kau ingin menghancurkan aku dengan ini? Tapi sebelumnya, aku yang akan menghan
Vivia melangkah pelan menaiki anak tangga. Kakinya berhenti tepat di tempat Albi menggauli Shera malam itu. Masih teringat jelas di matanya, ekspresi kedua manusia itu yang tengah dipenuhi nafsu. Albi sangat berhasrat, itu yang selalu terngiang di kepalanya. Kembali ia melangkah, kemudian berhenti di pintu kamar tidurnya. Kamar yang dahulu ia tempati dengan Albi, sebelum Shera masuk ke dalam kehidupan mereka lagi. Dulunya, meski Albi tidak selalu bersikap hangat, Vivi ingat sangat banyak kenangan yang ia lalui dengan Albi di kamar itu. Di atas ranjang beralas kain putih itulah Vivia menyerahkan kesuciannya pada Albi. Kenangan itu pun kembali berputar di ingatan.“Kita sudah menikah satu minggu,” kata Vivia saat itu, ketika Albi merebahkan diri di sisinya. “Tapi selama itu juga kita seperti orang asing. Jika kamu tidak nyaman dengan pernikahan ini, kenapa tidak menolak lamaran papaku?” Albi yang tadinya membelakangi Vivia, perlahan berbalik menatap Vivia. “Aku tahu kamu menikah buk
Prang! Bunyi gaduh dari gelas yang berderai di lantai, terdengar sangat keras. Vivia yang merasa sangat dipermalukan, baru saja melemparkan gelas tersebut. Ia muka, sangat penuh amarah. Setelah semua usahanya mempertahankan Albi tetap di sisinya, ternyata hanya mendapat hinaan dari pria itu. Bahkan, Albi tidak memutar wajah untuk melihat Vivia ke belakang, yang berarti cinta pria itu memang tidak pernah ada untuknya. “Seharusnya aku tahu, sejak awal kau hanya mengharap kariermu yang bagus dari pernikahan ini. Albi, kau akan menyesal sudah berani melakukan ini padaku!” bisik Vivia, dadanya bergemuruh menahan sakit tak terungkapkan. Betapa bodoh Vivia berpikir Albi akan mempertimbangkan tawarannya. Tapi semua sudah terlanjur, anggap saja ini usaha terakhirnya untuk pria itu, sebelum benar-benar membuat Albi kehilangan segalanya! “Dapatkan bukti-bukti keguguran Shera tujuh tahun yang lalu!” perintahnya di dalam telepon. Sebelum menghancurkan karier Albi, Vivia akan membuat pria itu sa
Shera tersenyum getir. Apakah dia akan menerima Albi saat tak memiliki apa-apa? Mata Albian tidak berkedip sedetik pun, takut terlewatkan jawaban dari Shera.“Kau meragukanku, Bi?”“Tidak, bukan begitu. Lebih tepatnya, harga diri seorang pria adalah pekerjaannya. Jika aku tak memiliki pekerjaan, aku takut kau akan tidak memandangku,” jujur Albi.Saat Albi dan Vivia di awal menikah, istrinya itu begitu perhatian dan sayang. Tak terlewatkan sedetik pun bagi Vivia untuk mengurus segala kebutuhan Albi, meski sering gadis itu dia abaikan. Akan tetapi, setelah Vivi mulai mengejar karier di tempatnya sekarang, Vivia menjadi sangat sibuk bahkan lupa menyiapkan segala kebutuhan Albi. Apalagi di saat Vivia naik jabatan menjadi pembicara handal yang mendapat banyak undangan dari sana sini, dia menjadi lalai akan pernikahan mereka. Vivia hanya peduli pada diri sendiri, menganggap Albi lelaki yang menumpangkan hidup padanya. Bahkan saat Albian naik jabatan menjadi Komisaris Besar pun, istrinya itu
Di pagi hari, Albian terbangun dari tidurnya yang begitu nyaman. Terkejut ia tak mendapati Shera sudah tak ada di sebelahnya. Pria itu memindai seluruh kamar dengan kedua mata, tak ada tanda-tanda keberadaan Shera di sana.Ke mana Shera? Tadi malam mereka sepakat akan menikah hari ini. Albi berharap Shera membangunkannya cepat dan bersiap mencari tempat mereka melangsungkan pernikahan.Dengan langkah sedikit gontai, Albi turun dari ranjang untuk mencari keberadaan kekasihnya. Ketika kakinya tiba di ruang tengah, terdengar suara gaduh dari arah dapur. Pria itu memutar wajahnya dan langsung bisa melihat punggung Shera.Gadis itu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Albi bersandar di tiang pintu mengamati Shera yang belum menyadari keberadaannya. Ia tersenyum melihat begitu lihai Shera mengerjakan segalanya. Shera adalah istri impian yang selama ini Albi cari.Hal ini lah yang tidak Albi dapatkan dari Vivia. Istrinya itu hanya sibuk mengejar karier, tidak begitu telaten dalam mengurus suami
Tangan lelaki itu menggandeng Shera turun dari mobilnya. Mereka baru saja kembali dari rumah pak Arifin dan Bu Wati dengan perasaan bahagia. Ia tersenyum menatap wajah gadis yang sejak lama dia cintai. “Ada apa menatapku seperti itu?” tanya Shera, memutar kenop pintu masuk utama rumahnya. Mengecup kening Albi, dia kemudian masuk lebih dulu. “Aku sangat bahagia, akhirnya bisa memenuhi janjiku untuk menikahimu.” Dari belakang Shera memeluk pinggang Albi, menyandarkan wajahnya di punggung bidang pria yang kini resmi menjadi suaminya di dalam agama. “Terima kasih, Bi. Aku juga sangat bahagia, akhirnya kau memenuhi janji itu.” Dia peluk perut Albi lebih erat, seperti dunianya adalah sepenuhnya ada pada pria itu. “Lantas, kapan surat cerai akan kau kirimkan pada Vivia?” “Secepatnya, tentu saja. Aku sudah meminta pengacara membuatkannya untukku.” Shera mengangkat wajahnya dari punggung Albian, berputar dan berdiri di depan pria itu. “Secepat itu?”“Bukankah kita ingin ini secepatnya? A
Ketika Albi memasuki ruang private restoran itu, dia menemukan Vivia sudah menunggunya di sana. Segera Albi mengambil salah satu kursi di depan Vivi, lantas tak sabaran dia bertanya.“Apa yang akan kau tunjukkan?”Vivia tersenyum kecut menatap pria yang masih resmi sebagai suaminya. Sangat buru-buru, seakan Albi tak ingin berlama-lama menatap wajahnya. Miris. Pria yang selama ini ia harapkan akan menua bersama, sungguh menyakiti hatinya.Tanpa mengatakan apa pun, Vivia mendorong map di atas meja, tepat ke depan Albi.“Katakan, apa isi map ini?” tanya Albi, ragu dia menyentuh map berwarna cokelat itu. “Vivia, sebelumnya kau harus tahu. Aku tidak akan peduli perkataanmu, jika berpikir akan merusak hubunganku dan Shera. Apa pun yang berusaha kau lakukan, percayalah aku dan Shera tidak akan terpengaruh.”“Bahkan jika kekasih yang sangat kau cintai itu mendustaimu?” Vivia balik bertanya.Mata Albian bergetar. Apakah dia akan memaafkan jika Shera melakukan kecurangan? Hatinya tak yakin, t