Sungguh perempuan di belakangnya tidak mengerti perkataan Wira, di saat mereka bertemu terakhir kali, pria itu berpesan agar jangan terlalu jauh.
“Ya, aku tahu.” Si gadis mengalah.
“Lalu, untuk apa kau di sini? Kau tidak membaca buku-buku aneh itu lagi?” Kiran bertanya lagi. Sebab ini pertama kali melihat pria kaku merenung sendirian.
“Maksudmu?”
“Buku yang selalu kau baca setiap malam. Itu kan hobimu yang aneh.”
Wira tertawa…. Bahkan terpingkal-pingkal mendengar bahasa unik dari sang istri. Perempuan itu berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan Lukman. Menurutnya lebih menyenangkan.
Kiran menjadi keheranan, sebenarnya apa yang membuat putra sulung Arasatya kelakar. Julukan lelaki aneh memang sangat pas ia berikan. Apapun yang berkaitan dengan Wira semuanya tampak semakin aneh.
“Itu bukan aneh, otakmu saja yang tidak sampai.” Celetuk Wira. Jiwa Arina sedikit ter
Pertikaian suami istri terus terjadi hingga Wira memilih untuk mengalah. Nyatanya argumen putra tertua tidak sehebat yang dibicarakan orang-orang – para anggota meja rapat. Kebetulan pembelaan dari Kiran dibumbui sebuah ancaman, hanya sedikit di lebih-lebihkan. Gadis pembuat emosi baru untuknya secara tidak langsung menaklukan kegilaan yang tanpa sengaja ia dapatkan, dan pikirnya penyakit ini akan abadi, terus menguasai serta beriringan dalam setiap gerak-geriknya. Seulas sunggingan tanpa disadari menunjukkan Wira sebagai pria normal pada umumnya. Rasa kemeja basah yang dingin akibat tercebur seakan hilang, pikiran kotornya kembali pada bentuk unik dan menarik milik sang istri. “Wira, aku sudah selesai. Cepat ganti bajumu, nanti kau sakit.” seruan Kiran membangunkannya dari dunia fantasy sebuah pikiran. Tubuh mungil itu sekaligus menyebarkan keharuman dari sabun yang biasa ia gunakan. Menjadi aroma kesukaan teman sekamar. “Iya. Kau sering sekali berte
Dengan cepat tetua ARS Corp menghampiri putra sulungnya, membalikkan bahu pemuda itu, lalu hendak mendaratkan kepalan tinju yang ingin menghantam wajah Wira. Berdiam diri akan semakin membuatnya naik pitam. Ketika tangannya siap menyentuh muka Wira, pandangan Wisnu tanpa sengaja tertuju pada gadis pengintip di atas. Mengharuskan perseteruan mereka berakhir. Berikutnya lirikan tajam Wira menangkap gadis pada ujung tangga, menjadikan Kiran salah tingkah, sebentar lagi ia akan diamuk pria aneh sekaligus payah itu. Karena lancang mengetahui urusan tuan muda dan ayahnya. Si istri pun nyengir tanpa dosa. Langkah kecilnya perlahan mundur. “Wira kau seperti monster – mengerikan. Sepertinya aku tidak akan pernah bisa pergi dari rumah ini.” nona muda bergumam mengungkapkan pikirannya. Ia tahu bahkan sangat tahu kalau pria itu tengah mengikutinya, sungguh ia seperti manusia ketakutan, wajah mencekam Wira siap melumpuhkan gadis mungil – seperti dirinya, meskipun
Teman asing Riana hari ini membawa pertanyaan-pertanyaan yang entah itu akan terjawab atau tidak. Kiran mengulik informasi sebanyak mungkin hanya karena keingintahuan dibalik alasan gadis penunggu perpustakaan selalu membahas pernikahan dan ayahnya. “Aku tidak tahu alasanmu sebenarnya, Kiran, yang bahkan aku tidak memahami ucapanmu sedari tadi. Kau dan Arina tidak dekat, bahkan aku masih kurang mengenalimu. Semasa sekolah pun kami tidak mengingatmu.” Tutur Riana. Ia tampak bingung harus dimulai dari mana kisah Arina sebelum kecelakaan. Kiran menunduk lesu, apakah ia menceritakan perjanjian waktu itu sekarang (perjanjian Arina dan Kiran untuk bertukar jiwa)? Namun, bagaimana mungkin Riana percaya. Solusi lainnya tentu diawali perginya Arina di malam sebelum kecelakaan ketika ia bertemu pemuda di sebuah restoran bergengsi. “Ah, baiklah, aku gadis yang pemurah asal kau tahu. Tidak tega melihat wajah cantik itu ditekuk. Silakan tanya apa yang mau kau tanya.” Rian
‘Apa dia pria gila yang terobsesi denganku?’ tuduhan tanpa dasar istri Wira seusai panggilannya dimatikan. Ia bahkan tidak memberitahu apapun tentang Riana – sebatas nama. Rasanya hubungan mereka sedang tidak baik. Di awal pagi suami istri ini tengah bertengkar. Kiran berdiri, melangkah dan mencari manusia tidak tahu diri. Lelaki itu bersembunyi dalam mobil mahalnya, bukan karena ia pengecut – tidak mau menemui Kiran lebih dulu – hanya saja ia tak tahu rumah Riana. Dalam sudut pandang Wira, mencari alamat rumah lebih sulit dari pada perencanaan dan perancangan sebuah mall. Ini sama saja dengan membuang-buang waktu, biarlah urusan seperti itu Aris yang mengurusnya. Dalam satu lirikan saja, Kiran telah menemukan laki-laki penggangu, kendaraannya terlalu mencolok. Para gadis lain akan langsung menggila kala tahu siapa pemiliknya, seakan siluet gagah di sana mengundang untuk dilihat. Kiran masuk mobil dengan cepat. “Wira, apa maumu?” nada bicaranya sudah kesal.
“Tuan?” sang sekretaris berbalik, menegur tuannya yang masih berdiri diam di ambang pintu ruang rapat. Wira tertinggal lima langkah dari Aris. “Anda baik-baik saja?” ia mendapati raut terkejut seorang yang tersadar dari lamunan. “Perlu kita tunda pertemuannya?” “Tidak-tidak. Kita harus melakukannya hari ini.” Tuan muda melangkah melewati sekretaris. Semua anggota rapat segera bangun memberi salam hormat dari posisi masing-masing kepada pemimpin pertemuan ini. Aris yang disebut tangan kanan CEO Ars Corporation berdiri di samping Wira. Ada tiga petinggi sebagai perwakilan Digital Local System (DLS), perusahaan yang diusahakan Wira agar bergabung dengannya. Perusahaan muda yang cukup dikenal kalangan bisnis kecil menengah. Wira memperhatikan satu per satu petinggi perusahaan DLS, mereka terbilang muda. Keputusannya tepat, jiwa muda dalam berbisnis bisa mengantarnya pada puncak keberhasilan. Universitas dan sekolah tinggi negeri ini sangat mampu mencetak
“Aku ikut ayah.” Kiran berucap di luar dugaan. Istri manisnya memilih Lukman secara terang-terangan. Apakah Wira saja yang berpikir jika Kiran tidak akan pergi bersama pria di sana? Pria yang dipanggil ‘ayah’ tetapi dengan sukarela menawarkan sang putri kepada laki-laki sakit seperti dirinya. Kiran juga sudah tahu alasan mereka menikah, adalah Lukman menjadikan gadis itu layaknya pengganti untuk kerugian bisnisnya. Pria tak tahu malu itu pun menggunakan Linda sebagai alasan. Wira begitu gusar, ia bahkan tidak paham perasaan apa ini. Egois? Benarkah apa yang dikatakan papa waktu itu? Lirikan tajam netra cokelat seakan memiliki dorongan – merebut istrinya. Tapi... apakah sikap itu akan disukai Kiran? Wira sangat bimbang. Wisnu sedikit terkejut mendapati putra tertuanya tengah berdiri tak jauh. “Wira, cepat sekali kau pulang? Ada yang ketinggalan? Biasanya kau menyuruh Aris untuk mengambilnya.” Seolah ia benar-benar tidak tahu. Nyatanya, tuan ini waswas melihat
“Ada masalah pada foto itu, sayang?” “Bibi itu…” “Kenapa dengan bibi Sarah? Apa mereka menemuimu tanpa sepengetahuanku, Kiran?” Lukman tahu adiknya – Sarah – tidak menyukai Kiran. 'Benar, mereka masih saudara Kiran'. “Em… Ya! Kami bertemu di minimarket.” “Mereka mengganggumu?” Lukman langsung mengecek bagian tubuh putrinya, khawatir. Kiran menjawab berupa gelengan. “Tidak sampai seperti itu, ayah.” senyum manisnya meneduhkan. ‘Aku baru sadar, selama ini aku belum pernah melihat ibu Kiran. Apa dia perempuan yang cantik?’ Ia ingin menanyakan, namun pertanyaan itu bisa berupa kesalahan fatal, mengakibatkan timbulnya kecurigaan bagi Lukman. “Kiran, ayo.” Ajak Lukman. Ia telah berada di depan gadis itu, mereka akan mengunjungi kamar putri rumah ini yang sudah ditinggal sebulan belakangan. Sembari mengikuti ayahnya berjalan, menantu keluarga Arasatya masih penasaran tentang Sarah dan gadis berparas C
Teman sekamar menghubungi gadisnya melalui pesan, Wira terlihat ke sana ke mari menunggu sebuah balasan. Dia layaknya pemuda jatuh cinta yang sedang menunggu jawaban gadis incaran.*Apa?Bergegas Wira mengecek balasan dari gadis penuh pesona.*Kau baik-baik saja? apa dia melukaimu? (Wira)Kiran membaca sambil terheran, apa maksudnya?*Tentu saja.*Hubungi aku kalau membutuhkan sesuatu. (Wira)Hanya tanda pesan telah dibaca yang tuan muda saksikan, gadisnya tak membalas lagi. Secercah harapan agar obrolan ini panjang menjadi ketidakmustahilan. Wira menjatuhkan handphonenya ke atas ranjang. Menggeram sendiri.Ia memukul-mukul bantal di sebelah. “Kau laki-laki payah. Payah. Payah. Memberi tahu yang sebenarnya saja tidak bisa. Lukman pria licik asal kau tahu, Kiran, jangan terlalu percaya dengannya.”***‘Kenapa aku tidak bisa bertemu Kiran di perpustakaan?’Arina terjaga setelah percoba