“Ada masalah pada foto itu, sayang?”
“Bibi itu…”
“Kenapa dengan bibi Sarah? Apa mereka menemuimu tanpa sepengetahuanku, Kiran?” Lukman tahu adiknya – Sarah – tidak menyukai Kiran.
'Benar, mereka masih saudara Kiran'.
“Em… Ya! Kami bertemu di minimarket.”
“Mereka mengganggumu?” Lukman langsung mengecek bagian tubuh putrinya, khawatir.
Kiran menjawab berupa gelengan. “Tidak sampai seperti itu, ayah.” senyum manisnya meneduhkan.
‘Aku baru sadar, selama ini aku belum pernah melihat ibu Kiran. Apa dia perempuan yang cantik?’
Ia ingin menanyakan, namun pertanyaan itu bisa berupa kesalahan fatal, mengakibatkan timbulnya kecurigaan bagi Lukman.
“Kiran, ayo.” Ajak Lukman. Ia telah berada di depan gadis itu, mereka akan mengunjungi kamar putri rumah ini yang sudah ditinggal sebulan belakangan.
Sembari mengikuti ayahnya berjalan, menantu keluarga Arasatya masih penasaran tentang Sarah dan gadis berparas C
bantu author untuk menaikkan cerita ini, dgn cara memberikan permata sebanyak-banyaknya serta rating 5 bintang, ya.
Teman sekamar menghubungi gadisnya melalui pesan, Wira terlihat ke sana ke mari menunggu sebuah balasan. Dia layaknya pemuda jatuh cinta yang sedang menunggu jawaban gadis incaran.*Apa?Bergegas Wira mengecek balasan dari gadis penuh pesona.*Kau baik-baik saja? apa dia melukaimu? (Wira)Kiran membaca sambil terheran, apa maksudnya?*Tentu saja.*Hubungi aku kalau membutuhkan sesuatu. (Wira)Hanya tanda pesan telah dibaca yang tuan muda saksikan, gadisnya tak membalas lagi. Secercah harapan agar obrolan ini panjang menjadi ketidakmustahilan. Wira menjatuhkan handphonenya ke atas ranjang. Menggeram sendiri.Ia memukul-mukul bantal di sebelah. “Kau laki-laki payah. Payah. Payah. Memberi tahu yang sebenarnya saja tidak bisa. Lukman pria licik asal kau tahu, Kiran, jangan terlalu percaya dengannya.”***‘Kenapa aku tidak bisa bertemu Kiran di perpustakaan?’Arina terjaga setelah percoba
“Em… nona apa kau melupakan sesuatu?” akhirnya Dani bertanya. “Melupakan sesuatu? Kurasa tidak.” “Kurasa, ya. Biasanya nona sibuk bertanya aku ingin minum apa, tanpa kujawab pun nona tahu kesukaanku.” Dani semakin mencurigai temannya. Perbedaan mereka terlalu mencolok. Bola mata hitam Kiran bergerak ke kiri kanan – memikirkan kebohongan lagi. “Ma-mana mungkin aku lupa. Aku sengaja melakukannya untuk mengetesmu. Kukira kau tidak akan menanyakannya.” Putri Lukman berdalih. “Baiklah, mau minum apa? Nanti aku buatkan untukmu.” “Apa kau benar-benar nona Kiran?” tanya Dani lagi. Kiran tertegun sesaat. “Te-tentu saja.” ia terkekeh, namun kekehan yang terkesan memaksa. “Apa wajahku ini tampak berbeda, Dani?” putri Lukman mendekatkan wajahnya – sembari terpejam. Seketika jantung pemuda itu tak terkendali, tapi untunglah… ia berhasil kembali dalam kenormalan. “No-nona, anda terlalu dekat.” Dengan cepat Kiran menjauh. “Ehem…
“Halo, sayang…” keajaiban ketika Kiran menyapa lebih dulu menggunakan panggilan intim. Bahkan di luar dugaan sang pemuda seperti Wira.Istrinya sengaja membuat panggilan video di depan Linda, dia harus memanaskan kepalsuan bibinya, Kiran tidak lebih suka dari ucapan Linda yang seolah mengolok.“Sa-yang?” wajah tampan Wira kebingungan. Ia terlihat menggaruk-garuk dahi.Wira yang tanpa sadar mengembangkan senyuman, ia merasa senang, entahlah… hanya perasaan baru seorang pria seperti dirinya.“Sayang, jangan lupa menjemputku di rumah ayah besok, aku tidak mau pulang sebelum kamu jemput.” Kalimat panjang Kiran menambah kegugupan tuan muda. Panggilan intim yang ia inginkan terwujud tanpa diminta.“I-iya.”“Kamu sedang sibuk, ya? Ya sudah bekerjalah mencari uang yang banyak.” Manis sekali ucapan putri Lukman, sangat pandai membuat Linda termangu. Menjadikan alasan untuk meng
“Nona, bukannya terlalu cepat memanggilku dua kali dalam sehari?” Dani berusaha menggapai tepian jendela – menahan tubuhnya agar tak terjatuh dari ketinggian lantai dua, kamar Kiran. Pemuda itu kemudian melompat masuk – memilih tempat semula – duduk tanpa rasa bersalah. Nona muda masih celingukan, memastikan sesuatu di luar, jalur teman lama gunakan sebagai jalan keluar masuk selama mengunjunginya. Apa benar Dani bertahan pada pijakan tepian jendela yang hanya seukuran kaki orang dewasa? Tangga pun tidak ia temukan – pemikiran putri Lukman mencari tahu kebenaran dari dugaan sederhana yang ia buat. “Dani, kau…” “Aku tidak bisa melompat ke bawah, tuan pasti menangkapku kalau aku ketahuan pergi dari sini. Jadi aku bersembunyi. Untung saja ada sedikit tempat untukku di dekat jendelamu.” Mengingat di antara jendela satu dan dua ada dinding sebagai pemisah, memungkinkan Dani menutupi seluruh anatomi tubuhnya. “Tapi, ayah tahu tentangmu. Dan
Laki-laki yang baru didatangkan perasaan berbeda terhadap perempuan, tersenyum malu-malu, seolah remaja yang jatuh cinta pada kekasih pertama. Wira hampir-hampir tidak menyadari raut wajahnya – yang bahkan aneh menurut pandangan orang lain. Gerakan mata Jimmy mengikuti gerakan anak asuhnya hingga tiba di hadapannya. Meja sebagai sekat mereka yang terlalu dikenali pria pengidap haphephobia. “Sampai jam berapa hari ini?” Wira menanyakan masa terapi rutinnya. “Tidak ada.” Lalu tuan muda yang semula duduk santai berganti dengan duduk tegap. “Tidak ada? Aris menyuruhku menemuimu, Jimmy. Jangan bilang-” “Dia berbohong?” potong si dokter. Sementara Wira menyeluk saku – menggapai ponselnya, Jimmy dikejutkan air muka asing putra sulung Arasatya. Wira merengut lucu. Ia tampak seperti Rakin jika melembutkan pandangan, wajah kesalnya menarik perhatian. Ekspresi yang hampir tak dijumpai dokter itu. (Iya, ada sesuatu yang dibutuhkan, tuan?) Aris men
“Kau malu?” teman perempuan Wira tanpa berpikir berkata demikian. Dengan cepat Wira berbalik dan memunggungi. Berharap wajah memalukannya segera hilang. “Mengapa aku harus malu?” Wira mempertahankan nada bicaranya yang elegan sembari memperbaiki kancing-kancing tak bermoral tersebut. Seorang gadis yang belum diketahui namanya kemudian memalingkan wajah serta memperhatikan benda hias di atas meja, juga yang terpajang pada dinding. Di sayangkan, dia tak melihat pria di sana – pria yang seolah melindungi jati diri – CEO Ars Corp yang tak terjamah dan dikenal sebagai orang hebat. Midi dress hitamnya juga turut memutar mengikuti gerakan sang nona. “Apa aku bisa menyentuhmu lagi?” lalu ungkapan tulus pria yang penasaran karena aliran kehangatan dari genggaman tadi seolah menagih. Si gadis menangkap sorot mata Wira yang mengarah padanya. “Boleh.” Lalu tersenyum. “Baru kali ini aku melihat sosok anak kecil dalam diri orang dewasa.” “Kau menyam
Gelombang suara jendela yang diketuk mengganggu nona muda sedang tertidur pulas. Entah sejak kapan ia berhasil membujuk mata itu agar beristirahat. Namun, saat ini Kiran begitu malas menyambut tamu laki-laki kemarin.Suara ketukan kembali terdengar, barulah pemilik kamar berancang-ancang menuju sumber pengganggu. Dengan indera penglihatan menyipit – menahan kantuk – Kiran membuka benda persegi empat tersebut dan cukup terpaksa.“Selamat pagi, nona.” Sapa penuh keriangan dari pemuda bernama Dani. “Nona, ada apa? Kau kurang tidur?” Dani mencubit dagu kecil itu, menegakkan wajah sang nona dan menghadapnya.Kemudian mata bulat hitam terbuka lebar, mendapati wajah laki-laki yang ia kenal satu hari belakangan.“Dani, apa yang kau lakukan?” Kiran berbicara dengan suara yang mencicit. Dirinya sedikit terkejut.“Nona bermimpi buruk? Lihatlah wajahmu sangat tidak pantas, ada kantong di bawah sini." Ia men
“Dani… apa aku bisa sepenuhnya percaya padamu?” Pria itu menegakkan pandangan. Mengamati tiap inci kecantikan gadis yang berhasil membelenggu hatinya. Sayangnya, hanya rasa sepihak, sehingga kemungkinan kecil atau bahkan tidak akan mungkin bersambut. Kemudian Dani mengangguk – penuh keyakinan. “Bagus. Kalau begitu mengapa ada keraguan padamu? Bukankah kita bersama sejak kecil?” Kiran berkata tanpa memalingkan pandangan. Pemuda itu terhanyut pada raut serius dan gerakan bola mata hitam sang nona. Lalu Dani mengangguk pelan untuk kedua kalinya, ia sempat bodoh mengikuti keraguan yang dianggap benar. Di mulai dari pertemanan mereka – di awal kedatangan Dani sebagai anak pekerja rumah Lukman. Dani kecil memiliki rambut sedikit panjang, bersembunyi di balik tubuh ibunya kala perempuan itu sedang berbicara pada pemilik rumah. Waktu itu, Kiran berumur sepuluh tahun sedangkan Dani masih delapan tahun. Menjadi anak pekerja rumah, menyadari si Dan