Juna yakin sekali bahwa wanita yang dilihatnya keluar dari dalam ruang dokter kandungan adalah Lea. Ia hafal betul raut wajah bahkan cara Lea berjalan sekalipun. Mata laki-laki ini juga masih normal, tidak mungkin salah orang."Lea?"Setelah berhasil mengikis jarak, Juna memberanikan diri untuk memanggil, membuat wanita itu berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang. Tepat sekali dugaan Juna. Ternyata itu memang benar Lea, mantan kekasih gelapnya pada waktu itu.Sesaat Lea tertegun mendapati seseorang yang kini ada di hadapan matanya. Sama sekali tak menyangka akan bertemu Juna di sini. Namun, rasa terkejut itu segera ia hempaskan. Berganti ekspresi cuek seiring dengan hembusan napas kasar. Saat itu pula, ia melengos, memalingkan wajah dari Juna. Entah apa alasannya. Satu hal yang pasti, ia sudah malas berurusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Juna."Kamu ... kamu ngapain di sini, Le?" tanya Juna setengah ragu. "Tadi aku lihat kamu keluar dari ruang dokter kandungan."Le
Juna baru saja masuk ke dalam kamar rawat Diana saat Airish masih duduk di atas kursi bundar dekat ranjang pasien. Ia berjalan mendekat, setelah bola matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin Airish yang ... sudah lama sekali, tak pernah sehangat dulu."Mom, maaf ya nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus pulang sekarang," kata Airish. Wanita itu tahu, situasi akan berubah canggung kalau ia berada pada satu ruangan yang sama dengan Juna. Terlebih lagi, mereka tak mungkin bertengkar di hadapan Diana yang kondisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja.Airish bangkit dari duduknya, lalu mengecup punggung tangan Diana dengan sopan. "Semoga Mommy cepet sembuh, ya. Makan yang banyak."Diana sersenyum, sedangkan Juna masih berdiam diri memperhatikan kedua manusia di hadapannya."Makasih udah meluangkan waktu buat jengukin Mommy," ujar wanita itu diiringi perasaan senang."Sama-sama, Mom." Airish berbalik badan, nyaris meninggalkan ruangan jika saja posisi Juna berdiri tidak berada tepa
Telah berulang kali Lea menekan bel rumah seseorang yang didatanginya. Menunggu siapa saja membukakan pintu lalu menyuruhnya masuk ke dalam untuk kemudian menanyakan ada keperluan apa ia datang kemari. Namun, hingga dirinya mulai hilang kesabaran dan beralih menggedor pintu tanpa menghiraukan fungsi adanya tombol bel, pemilik rumah masih tak kunjung memperlihatkan wujudnya di balik daun pintu.Tok! Tok! Tok!Kembali, Lea mengetuk untuk kesekian kalinya. Benar-benar menguji kesabaran. Kalau bukan demi masa depan janin di dalam kandungannya, sampai gunung Krakatau meletus pun Lea takkan sudi berdiri lama-lama di sini tanpa kepastian yang jelas.Cklek!Lea mundur satu langkah. Seseorang dari dalam baru saja membuka pintu. Akhirnyaaa! Batin Lea menjerit girang. Seperti menerima segelas air di musim kemarau setelah menunggu sekian lama.Sepasang mata Lea bertemu dengan manik cokelat milik seseorang yang berdiri di hadapannya.Dengan satu tangan bertumpu pada handle pintu minimalis di sisi
Pada akhirnya, Lea harus pulang membawa kekalahan. Tanpa hasil yang ia harapkan. Alih-alih sukses mendapat pertanggungjawaban, dirinya malah mendengar kalimat caci maki serta dijambak keras oleh gadis remaja yang merupakan anak kandung dari laki-laki yang telah menghamilinya.Dan sekarang Lea tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat laki-laki brengsek itu bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Kini Lea ditinggalkan tanpa secercah pun harapan yang tersisa.TINNN!!"WOY! Udah bosen idup, ya?!"Lea tersentak kaget. Sebuah mobil berkendara di sampingnya dan nyaris menyerempet tubuhnya. Sejak tadi ia terlalu asyik melamun, memikirkan masalah yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya, sampai-sampai tidak memperhatikan kondisi sekitar.Sejenak Lea berhenti melangkah, memandang rapuh laki-laki paruh baya yang terlihat marah-marah di dalam mobil sambil menatapnya. Setelah puas memaki, orang itu kembali melajukan mobil, pergi menjauh meninggalkan Lea begitu saja.Lea menarik napas
Ray tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan saat melihat wanita hamil sedang mengalami kram perut. Jadi, ia mengajak Lea masuk dulu ke dalam mobil, membiarkan wanita itu duduk di sebelah Airish yang sejak tadi hanya menunggu di sana.Melihat kondisi Lea yang tampak kesakitan sambil terus memegangi perut, Airish mengaku panik, takut terjadi sesuatu pada bayi di dalam kandungan Lea. Saat ini, sama sekali tak terlintas di pikiran Airish perihal masalah yang terjadi antara dirinya dengan Lea.Tentang luka yang menganga lebar di rongga dadanya ... meskipun masih basah dan belum terobati, ia akan mengesampingkannya sejenak. Sebab untuk saat ini, hatinya tak memiliki waktu untuk patah hati.Tak ada kesempatan baginya untuk balas dendam, walaupun sebenarnya ia bisa saja melakukan itu dengan cara membiarkan Lea kesakitan di jalan seorang diri. Namun, Airish tidak melakukannya, karena balas dendam hanya akan mengotori tangannya saja."Kamu tau tindakan apa yang harus kita lakukan saat meli
Pada akhirnya, Airish mengantar Lea pulang ke rumahnya. Walau bagaimanapun, Airish tetap tidak tega meninggalkan Lea seorang diri di jalanan dalam kondisi kram perut.Mereka telah sampai di area pelataran rumah Lea."Kamu ... bisa, Le?" tanya Airish ketika melihat wanita itu hendak turun dari mobil.Lea menghentikan pergerakan, menoleh pada Airish yang kelihatan masih mengkhawatirkan dirinya. Membuatnya semakin merasa bersalah, karena ternyata Airish masih menjadi orang yang paling peduli padanya.Setelah diam beberapa detik, Lea pun mengangguk. "Aku baik-baik aja, kok," katanya. Nada suaranya terdengar canggung dan dingin. Akan tetapi, siapa sangka, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Lea sangat menyesali segala perbuatan jahatnya terhadap Airish.Mendengar jawaban Lea, Airish menghela napas lega. Itu artinya, janin di dalam kandungan Lea baik-baik saja, bukan?"Rish ...?"Airish menatap Lea semakin dalam. Wanita itu baru saja mengeluarkan suara untuk memanggil namanya. Membuatny
Airish baru saja memasukkan ponsel ke dalam tas—setelah menghubungi Lea via telepon untuk menanyakan wanita itu berada di meja nomor berapa.Iya, mereka sudah membuat janji untuk bertemu di salah satu kafe di Jakarta.Walaupun Airish sudah berkali-kali menolak dan menghindari pertemuan dengan Lea, tetapi Lea bersikeras ingin mengajaknya bertemu. Wanita itu juga mengatakan bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk diberitahukan kepadanya. Jadi, Airish akhirnya menyerah atas penolakan yang tak kunjung menggoyahkan usaha Lea."Maaf lama," ucap Airish saat dirinya baru saja duduk di kursi yang berhadapan dengan Lea."Nggak masalah," balas Lea seraya menyelipkan senyuman tipis. "Kamu mau pesen apa?""Bebas."Lea pun memanggil waitress, menyebutkan makanan dan minuman yang ingin dia pesan, lalu waitress itu segera berlalu usai mencatat pesanan Lea.Airish meletakkan tas di sisi meja, sedangkan Lea tampak menggigit bibir bawahnya, mencoba bersikap tenang di hadapan Airish."Kamu mau ngomong
Sambil menggenggam map berisi surat cerai yang siap ditandatangani, Airish datang ke kafe yang telah dipilih oleh Juna. Ya, mereka sudah membuat janji untuk bertemu. Bukan karena ingin mengenang kisah lalu, melainkan untuk mengakhiri hubungan dan berhenti saling menyakiti.Airish tahu, hari ini akan tiba. Hari di mana dia harus melepas Juna sebagai suaminya.Dengan satu tarikan napas panjang yang kemudian dia hembuskan secara perlahan, Airish meyakini perasaannya kepada Juna sudah benar-benar mati."Maaf telat."Suara khas seorang pria yang sejak tadi dia tunggu-tunggu, membuat Airish mendongak dan mengalihkan perhatian dari layar ponsel yang menampilkan video reels Instagram.Akhirnya Juna tiba, setelah hampir setengah jam Airish menunggu. Bahkan dia sudah mulai bosan. Namun, mengingat ini akan menjadi hari terakhir baginya menjalani biduk rumah tangga dengan Juna, maka segala keterlambatan Juna akan dia maafkan.Airish menghela napas. Mencoba memperlihatkan senyum di sudut bibirnya—