Tanti terkikik geli melihat kakak iparnya yang syok melihat gambar yang telah dikirimnya.
"Rasakan itu!" Gumam gadis berkulit sawo matang itu menyungging senyum sinis.Ia memasang kamera tersembunyi, dan dapat melihat kegiatan di luar melalui laptop. Ia mengamati layar persegi itu, terlihat jelas Hilma sedang terduduk sambil menangis dengan suara tertahan karena khawatir didengar Ghani dan Ghava. Ia semakin melebarkan tawa ketika bahu itu semakin berguncang.Namun, senyumnya memudar ketika sosok yang sedang ia jauhi datang menghampiri, lalu ikut mensejajarkan diri dan menanyakan sebab Hilma menangis. Tanti bisa mendengar percakapan mereka dari CCTV."Kamu kenapa, Hilma?"Perempuan yang menunduk itu belum bisa berkata-kata. Masih terus menikmati tangisnya. Lalu, Yana mengambil ponsel yang masih berada di genggaman sang menantu."Wiguna?!" teriak Yana dengan wajah memerah dan mata yang membulat.Dadanya ikutan sesak, pantaPukul dua belas siang, dua orang turun dari mobil yang diparkir di garasi rumah, lalu berjalan beriringan menuju pintu utama dan menekan bel."Mas, aku deg-degan, nih!"Nela meremas kedua jemarinya.Lelaki berkulit sawo matang yang masih dipenuhi kekhawatiran itu hanya tersenyum, ia pun sedang mengontrol debaran jantungnya yang berpacu cepat. Memikirkan bagaimana respon Hilma, membuatnya sedikit tegang.Walau sebelum berangkat ia sudah meneguhkan hati, jika istrinya tidak mengizinkan, ia akan tetap menikah. Tentu Hilma tak akan membantah dan memilih mengalah."Eh, Mbak Nela," sapa Tanti ketika membuka pintu.Mereka seolah-olah tak berjumpa lama, cipika cipiki dengan pekik kegirangan lalu berjalan ke ruang tamu sambil mengobrol.Bahkan, ia menambahkan kata 'Mbak' pada perempuan yang memakai dress selutut dengan rambut dibiarkan terurai, untuk memberi kesan menghormati walau usia mereka s
"Mulai hari ini, silahkan keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun!" ucap Wiguna menjalankan tips selanjutnya, dan ia berharap Hilma langsung berubah pikiran ketika tahu tak mendapatkan apa-apa."Mas, maksud kamu apa?""Loh, benar, kan? Kamu bukan istriku lagi. Jadi, ga pantas kamu serumah dengan yang bukan muhrim."Hilma menggeleng."Bukan begitu aturannya, Mas? Lagipula, kenapa Mas Guna sampai setega itu. Walaupun, aku hanya seorang bekas istri, setidaknya Mas punya belas kasih memberiku kesempatan mencari tempat tinggal, bukan langsung menyuruh keluar seperti ini!"Hilma semakin mendekati mantan suaminya."Setidaknya beri aku waktu dua hari. Setelah itu aku akan pergi, walau sebenarnya aku masih berhak di sini selama masa iddah tiga bulan. Tapi aku hanya membutuhkan dua hari. Mas juga harus memikirkan anak-anak. Mempersiapkan mental mereka untuk perpisahan kita."Wiguna terdiam, me
"Ya ampun, Hilma. Suamimu itu memang gila, ya? Masa tega sama istri dan anak anak sendiri?"Virda menggerutu kesal dengan wajah memerah."Gara-gara perempuan otaknya sampai geser ga karuan."Ia menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan para lelaki.Hilma duduk di kursi kayu yang berada di teras rumah. Bangunan berlantai satu yang ditempati Virda bersama bibinya berada di Rawamangun. Posisinya yang di depan jalan, membuat mereka bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat.Virda sendiri masih tetap berdiri, mengurai kemarahan yang dirasakan ketika mendengar penjelasan perempuan yang dikenalnya sejak sekolah menengah atas.Menghadapi kemelut rumah tangga karena adanya orang ketiga memang membuang banyak energi.Ia saja yang hanya mendengar, sudah merasakan sakit juga kesal dengan sikap Wiguna, Tanti, dan Nela. Apalagi Hilma yang mengalami langsung.Lebih parah lagi,
Hilma menggeser gorden yang ada di kamar, kemudian membuka jendela. Udara sejuk menerpa kulit putih yang tampak lebih segar. Memberi sensasi seperti berada di pegunungan.Walaupun berada di tengah kota, tetapi udara di sekitar rumah Virda terasa alami. Banyaknya pepohonan dan dan tumbuhan yang ditanam, membuat rumah bercat biru itu tampak asri dan memberikan keteduhan tersendiri.Silau matahari yang memancar masuk melalui jendela membuat salah satu anak lelaki yang terbaring mengerjap, ia membuka perlahan matanya sambil menyesuaikan dengan silau yang menerpa."Assalamu'alaikum, selamat pagi anak Mama."Dengan senyum mengembang, perempuan yang memakai kaos dan celana panjang menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap kepala dan membungkuk memberi ciuman selamat pagi.Anak lelaki yang matanya sudah membuka sempurna itu tersenyum, dan bergerak untuk duduk."Pagi, Ma," ucap Ghani."Ma,
"Hilma!" panggil Wiguna dengan rahang mengeras setelah ia melihat lelaki berjas hitam telah keluar ruangan dengan tergesa.Hilma tersentak mendengar namanya dipanggil dengan nada keras, bahkan anak kecil yang masih berada dalam gendongannya ikut terkejut. Ia mundur selangkah. Melihat hal itu, Mima menatap tak suka pada lelaki yang berteriak di butiknya. Ia segera menghampiri orang yang merupakan calon suami klien-nya."Maaf, Pak, tolong jangan berteriak di sini!" Mima berkata dengan suara tegas. "Itu istri saya, Bu." Wiguna yang merasa tidak enak, bingung mencari alasan. "Istri? Bukannya calon istri Bapak ada di sana?" tanya Mima menyelidik.Ia menunjuk ke arah Nela yang sedang berada di ruang pengepasan."Oh, itu. Itu calon istri kedua saya, Bu," sahut Wiguna salah tingkah.Perempuan dengan wajah oriental itu terlihat mengerutkan kening. Namun, kemudian bersikap biasa
"Mbak, per jam tarifnya berapa?"Hilma langsung membulatkan mata mendengar ucapan lelaki tak dikenal yang berdiri di hadapannya.Mendapati tatapan liar dari lelaki asing yang menyoroti tubuhnya dari atas sampai bawah sambil membasahi bibir dengan satu tangan ingin menyentuh membuat Hilma lebih waspada. "Tolong jaga sikap, ya, Mas!" protes Hilma sambil memundurkan langkah menghindari sentuhan.Lelaki dengan wajah dipenuhi brewok itu tertawa sinis."Ga usah jual mahal, Mbak!" Nih, saya bayar sejuta buat satu jam."Segepok uang dilemparkan di bawah kaki Hilma. Orang yang berlalu lalang menatap heran ke arah dua orang yamg terlihat sedang berbicara. Mereka tampak acuh, berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih atau suami istri yang sedang bermasalah.Dapat dilihat dari wajah perempuan yang tampak marah. Dan mereka memilih untuk mengabaikan, tak peduli dan tak mau mencampuri u
Pukul sembilan malam.Hilma menyelimuti anak-anaknya yang terlelap tidur, dilihatnya kembali wajah-wajah yang mewarisi gurat kemiripan sang ayah.Dalam usia masih belia mereka dipaksa untuk menerima keputusan orang dewasa yang kadang membuat luka. Namun, terkadang hidup tak memiliki pilihan. Perpisahan punbtak selalu membawa keburukan. Tergantung penyikapan dan kerjasama dari pasangan yang berpisah untuk saling menjaga agar anak-anak tetap mendapat haknya walau dari orangtua yang terpisah.Hilma akan selalu ada untuk mereka, dalam suka duka, sedih bahagia, tangis dan tawa. Sepenuh jiwa, selelah raga akan diperjuangkan segala cita juga cinta untuk kedua buah hati yang dianugerahkan padanya.Ia akan merenda masa depan walau harus tertatih-tatih dalam pencapaiannya."Jadi penguat Mama, ya, Nak!"Satu persatu kening sang anak dikecup, tanda kasih menuju alam mimpi.Sesudahnya
Orang-orang berlarian menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Semuanya merangsek maju ke tempat yang ditunjukkan oleh pihak keamanan. Mereka saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke arah tangga. Wajah-wajah panik terlihat diiringi suara teriakan dan jeritan para perempuan dan anak-anak.Di belakang, api menjalar dengan cepat, berkobar melahap benda-benda yang ada di dekatnya. Gerakannya meliuk-liuk menyambar ke setiap arah membuat semua orang semakin panik karena api semakin membesar, terlebih lagi ketika menyadari tangga yang dituju disesaki banyak orang.Suara alarm yaang menyala, turut membuat orang yang berada di lantai bawah juga berlarian menuju pintu keluar. Namun, beberapa pegawai lelaki justru melawan arus, mereka mencoba membantu rekannya di atas yang berusaha memadamkan api yang semakin melebar.Tabung-tabung darurat mereka semprotkan dari berbagai arah. Nyala api memantul dari mata para petugas keamanan juga beberapa pegawai