Orang-orang berlarian menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Semuanya merangsek maju ke tempat yang ditunjukkan oleh pihak keamanan. Mereka saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke arah tangga. Wajah-wajah panik terlihat diiringi suara teriakan dan jeritan para perempuan dan anak-anak.
Di belakang, api menjalar dengan cepat, berkobar melahap benda-benda yang ada di dekatnya. Gerakannya meliuk-liuk menyambar ke setiap arah membuat semua orang semakin panik karena api semakin membesar, terlebih lagi ketika menyadari tangga yang dituju disesaki banyak orang.Suara alarm yaang menyala, turut membuat orang yang berada di lantai bawah juga berlarian menuju pintu keluar. Namun, beberapa pegawai lelaki justru melawan arus, mereka mencoba membantu rekannya di atas yang berusaha memadamkan api yang semakin melebar.Tabung-tabung darurat mereka semprotkan dari berbagai arah. Nyala api memantul dari mata para petugas keamanan juga beberapa pegawaiSatu hari setelah kebakaran."Penyebab kebakaran karena faktor kesengajaan. Jadi, memang ada yang berniat membuat toko Anda terbakar," ucap lelaki berkumis tipis yang membuat Wiguna terperangah. Tak mengira ada orang yang berniat menghancurkam sumber kehidupannya."Setelah diselidiki, api berasal dari gudang di lantai dua. Dan setelah kami identifikasi penyebabnya karena sebuah lilin yang sengaja dinyalakan di dekat bahan yang mudah terbakar.""Siapa orangnya, Pak?" Tanti bertanya dengan mimik wajah kesal mengetahui jika kebakaran terjadi karena ulah seseorang."Masih kami selidiki. Hanya saja kemungkinan besar pelakunya adalah orang dalam," sahut lelaki yang memakai jaket kulit."Jangan-jangan Hilma!" sahut Nela, membuat Wiguna menoleh."Ga mungkin!" sanggah Wiguna."Loh, kenapa engga, Mas! Kan, Hilma juga orang dalam. Mungkin dia dendam, makanya sengaja membakar tokomu!" Perempuan ber
Mendengar suara orang berteriak kencang, Hilma beserta lainnya yang sedang mengobrol di teras terkejut dan langsung menengok ke asal suara. Kemudian, mereka saling pandang mempertanyakan kedatangan tamu yang tak diundang.Anak-anak yang sedang bermain menjadi ketakutan dan langsung berlari mendekati Hilma."Ga apa, Sayang. Ada Tante," ucap Hilma merengkuh Cantika yang memeluknya. Dua orang anak lelakinya juga turut dipeluk sambil ditenangkan. Kemudian Hilma meminta tolong kepada Bi Yah untuk membawa mereka ke dalam rumah."Hilma!" Virda menahan pergelangan Hilma yang hendak melangkahkan kaki menghampiri orang asing tersebut, sementara Mima masih terpaku dengan kehadiran mereka yang terlihat tidak bersahabat."Ga apa, Vir." Hilma menyentuh punggung tangan Virda lembut. Sambil mengangguk dengan wajah tenang ia menyakinkan semuanya akan baik-baik saja."Maaf, ya, Mima, ada masalah sedikit. Aku ke depan dulu."
Senyum lega terukir dari seorang perempuan yang baru keluar dari pengadilan agama. Di tangannya sebuah akta yang menegaskan status barunya telah di genggaman. Kini, setelah enam bulan menjalani proses perceraian, ia bisa bernapas lega, telah resmi terputus dari mantan suaminya.Perjalanan yang tidak mudah, karena berkali-kali Wiguna berusaha menghambat jalannya persidangan. Berbagai upaya lelaki itu lakukan untuk mempersatukan kembali kepingan hati yang telah hancur. Namun, Hilma teguh pada pendirian, sampai kapan pun tak akan sanggup diduakan."Selamat, ya, Hilma. Akhirnya selesai juga," ucap Virda memeluk sahabatnya"Makasih, ya, Vir." Hilma mempererat pelukan yang selalu menenangkan dari seorang sahabat yang selalu ada dalam suka maupun duka. Pada masa sulitnya, perempuan yang seminggu lagi akan melangsungkan pernikahan itu selalu memberi solusi atas seriap masalahnya juga mengulurkan tangan untuk meringankan segala beban.
Dua orang yang tengah terbuai dengan sentuhan pasanganya lansung terlonjak kala mendengar pintu dibuka paksa. Mereka menoleh bersamaan, lalu tersentak saat melihat seseorang yang sangat dikenali tengah berdiri dengan wajah memerah dan mata yang melotot tajam.Tubuh yang berada dalam pangkuan, segera dihempaskan. Lalu, si lelaki membenarkan kancing-kancing yang terbuka jejak penjelajahan dengan tubuh gemetar dan wajah yang menegang. Ia bangkit berdiri dan berusaha menghampiri tunangannya.Sementara si perempuan dengan rambut lurus sebahu yang terlihat berantakan tengah mengaitkan kancing di dadanya yang sempat menjadi pusat perhatian si lelaki.Ia yang hampir terjatuh karena terdorong, terlihat memasamkam wajah. Sambil menggerutu ia membereskan penampilannya. Tidak peduli dengan Tanti yang napasnya tengah memburu, ingin menumpahkam segala kekesalan."Ta-Tanti, Mas bisa jelaskan!" ucap Arif menghampiri Tanti lalu menyentuh lenga
Tiga hari telah berlalu setelah kejadian di kantor Tanti. Gadis dengan kulit sawo matang itu masih mengurung diri di kamar, hatinya yang rapuh masih terlena dengan kesedihan. Dalam kesendirian, terkadang ia menangis, lalu tertawa, sesudahnya menatap hampa, tak berapa lama menumpahkan amarah. Yana merasa kewalahan dengan sikap putri keduanya.Sepulang bekerja tiga hari lalu. Tanti selalu menangis dan histeris. Segala benda di dekatnya dilempar ke berbagai arah, seringkali ia mengamuk, dan meneriakkan sumpah serapah. Yana mencoba bicara, tetapi selalu berakhir kecewa. Tanti tak mau bercerita"Bagaimana Tanti, Bu?" Wiguna bertanya khawatir."Masih sama, Gun. Susah diajak bicara," sahut Yana."Makannya gimana?""Ga mau makan. Kalau Ibu paksa, Tanti malah mengamuk! Ga tega ibu, badannya jadi kurus sekali."Lelaki yang wajahnya tampah lelah itu menghembuskan napas. Melihat sang adik yang berubah perilaku,
Hilma tengah membuat nasi goreng seafood di dapur tempat usahanya untuk para pengemudi online yang sedang mengantri ketika pesanannya diproses. Lihai tangannya memasukkan bumbu yang telah dihaluskan, menumisnya sampai harum lalu memasukkan udang dan ayam yang sudah dipotong kecil-kecil. Setelah itu memasukkan nasi dalam ukuran banyak, kemudiann mengaduknya sampai rata, terakhir dimasukkan sayuran ke dalamnya.Ketika sudah matang, Hilma dibantu pegawai lainnya menbagi-bagi di piring dengan porsi yang sama. Setelah itu bersama es teh manis, nasi goreng itu di berikan pada pejuang nafkah yang menunggu di luar."Pak, ini silahkan dimakan?" Perempuan yang menggunakan pashmina pink itu menyerahkan nampan berisi makan siang. Wajah-wajah yang lelah itu antusias menerima, senyum merekah diiringi ucapan terima kasih bahkan ada yang sampai mendoakan berbagai kebaikan untuk usaha Hilma. Semuanya menikmati makanan yang dibuat sepenuh hati di depan kios yang telah dise
Terdengar avanza hitam memasuki halaman rumah, Yana gegas membuka pintu utama dan menghampiri Wiguna yang baru kembali dari toko. "Tanti sudah siap, Bu?" Wiguna bertanya ketika melangkah ke teras."Sudah, Gun. Hari ini juga udah agak baikan. Udah mau bicara. Tapi ibu ga nyinggung soal Arif, takut ngamuk lagi," sahut ibunya."Oh, ya, ga apa, Bu. Memang sebaiknya jangan bertanya dulu hal-hal yang buat Tanti jadi sensitif."Yana Mengangguk. Keduanya melangkah memasuki rumah. Melihat anaknya yang tampak lelah, sigap Yana menuju dapur dan membuatkan minuman segar."Nela mana, Bu?"Wiguna langsung menyeruput minuman yang disajikan ibunya. Udara panas yang menyengat membuatnya selalu merasa haus."Ada di kamar." Yana menjawab dengan wajah sedikit bertekuk. Namun, Wiguna tak terlalu memerhatikan perubahan itu.Menantunya itu baru pulang pagi tadi, dengan alasan kemalaman. Jadi, m
"Nel, Lu, kenapa ga berubah, sih! Masih aja main api!" ucap Mira yang merasa kesal dengan sahabatnya. "Ya mau gimana lagi, Mir. Usaha Mas Guna lagi menurun, jatah gue sering dikurangin. Stres gue jadinya. Bukannya menikah jadi bahagia, ini malah sengsara. Ya wajar dong, gue cari pemasukan di luar," sahut Nela membela diri. Semenjak menikah ia berhenti dari pekerjaannya sebagai penyanyi di cafe. Saat itu ia menuruti karena berpikir Wiguna masih bisa bangkit lagi setelah kebakaran di toko itu terjadi. Rupanya, proses untuk menanjak lagi membutuhkan banyak pengorbanan, termasuk jatah bulanan yang dikurangi. Hal itu membuat Nela kesal dan menyesal telah menuruti Wiguna. Hingga kemarin jatahnya semakin diperkecil, ia langsung melemparkan murka.Sahabatnya hanya menggeleng, tak mengerti jalan pikiran Nela. Bertahun-tahun ia mengenal perempuan berkulit putih itu, kehidupan yang sulit di masa kecil membuatnya antipati terhadap kesulitan. Namun, ji