"Nel, Lu, kenapa ga berubah, sih! Masih aja main api!" ucap Mira yang merasa kesal dengan sahabatnya.
"Ya mau gimana lagi, Mir. Usaha Mas Guna lagi menurun, jatah gue sering dikurangin. Stres gue jadinya. Bukannya menikah jadi bahagia, ini malah sengsara. Ya wajar dong, gue cari pemasukan di luar," sahut Nela membela diri.Semenjak menikah ia berhenti dari pekerjaannya sebagai penyanyi di cafe. Saat itu ia menuruti karena berpikir Wiguna masih bisa bangkit lagi setelah kebakaran di toko itu terjadi. Rupanya, proses untuk menanjak lagi membutuhkan banyak pengorbanan, termasuk jatah bulanan yang dikurangi. Hal itu membuat Nela kesal dan menyesal telah menuruti Wiguna. Hingga kemarin jatahnya semakin diperkecil, ia langsung melemparkan murka.Sahabatnya hanya menggeleng, tak mengerti jalan pikiran Nela. Bertahun-tahun ia mengenal perempuan berkulit putih itu, kehidupan yang sulit di masa kecil membuatnya antipati terhadap kesulitan. Namun, ji"Saudara Tanti mengalami tekanan dalam hidup, trauma masa lalu masih membekas di alam bawah sadarnya. Jadi, ketika hal yang sama kembali terulang, membuat luka masa lalunya kembali teringat. Dan itu sangat menyakitkan buat Tanti.Dia mengalami kekhawatiran tinggi akan ditinggalkan oleh orang-orang terdekatnya, oleh sebab, itu ia akan melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan orang yang menurutnya menjadi ancaman. Namun, sepertinya kasus terakhir ini membuat Tanti merasa depresi. Seseorang yang sangat dicintainya lebih memilih orang lain. Dan membuat Tanti kehilangan kendali diri." Dokter menjelaskan."Jadi bagaimana penanganannya, Dok?" tanya Wiguna cemas."Saya sudah meresepkan obat untuk membuatnya lebih tenang. Tetapi, dukungan keluarga sangat diperlukan. Beri kekuatan pada Tanti, buat dia merasa nyaman dan berharga. Selain itu yakinkan dia bahwa keluarga selalu ada untuknya serta dengarkan segala keluh kesahnya.""Baik, D
Idam memasuki rumah dengan langkah kaki pelan. Ketika pintu di buka terlihat suasana rumah yang pencahayaannya sudah remang. Wajar saja, karena ketika tadi ia melihat jam di pergelangan tangan waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sepulang kerja tadi, teman lama dari Singapura yanag baru sampai ke Jakarta mengajaknya bertemu di sebuah club malam di Jakarta Selatan. Asiknya bercengrama sampai membuatnya terlena.Merasa lelah, ia merehatkan diri sejenak dengan duduk di sofa ruang tamu sambil menikmati senyapnya malam ditemani suara gemericik air dari aquarium yang berada di samping sofa."Baru pulang, Mas?" Idam terlonjak mendengar suara seseorang yang tiba-tiba bertanya. Tak terdengar langkah kaki yang mendekat."Eh, kamu. Bikin kaget aja." Wajah tegangnya berangsur menghilang. Sedangkan Mima terlihat santai dan terus berjalan memghampiri Idam."Malam banget, sih!""Tadi ketemu temen. Dia dari Singapura
"Anak-anak berhenti bermainnya! Turunkan kaki kalian!" titah Mima pada kedua anak lelaki juga keponakannya yang berjongkok juga berdiri di atas sofa ruang keluarga yang berdekatan dengan ruang makan. "Ini, Ma, Om Dion masih jadi buaya," sahut anak lelaki berusia delapan tahun.⁸"Iya, nih, Tante, kalau kakinya diturunin, nanti ketangkap sama buayanya." Cantika menjawab sambil menatap awas kepada lelaki yang berjongkok di depan mereka.Ketiganya tertawa-tawa menghindar dari kejaran buaya jadi-jadian yang mengintai mereka.Aum! Aum! Aum!"Ih, salah, Om. Masa buaya bunyinya gitu." Anak lelaki berusia enam tahun memprotes suara yaang tak sesuai dengan jenis binatangnya. Namun, lelaki yang tengah berpura-pura itu tak menghiraukan. Bahkan, berusaha menerjang mereka.Semua berteriak tatkala Dion semakin bergerak maju dan menakuti mereka. Mima menggeleng dengan wajah kesal. Ia sampai berjingkat karena k
Sepasang pengantin sudah duduk bersama di depan penghulu. Keduanya tampak berbinar bahagia. Semua orang yang menyaksikam turut bergembira melihat dua insan yang akan mengikat tali perjanjian yang mampu mengetarkan arsy. Penyatuan dua hati untuk membangun keluarga baru yang sakinah, mawwaddah, warrohmah.Masjid berlantai dua menjadi pilihan untuk menjadi saksi perjanjian keduanya. Beberapa sanak keluarga yang hadir juga tamu undangan telah siap menyaksikan serangkaian acara ijab qabul Ardi dan Virda. Tepat di belakang pengantin, Hilma bersama Bi Yah dan kedua anak kembar tengah mendengarkan Ardi mengucapkan ijab qabul. Ketika saksi memgatakan 'sah', perempuan yang mengenakan kebaya berwarna pastel dipadu bawahan batik itu meneteskan airmata, terharu dengan sahabatnya yang telah menempuh kehidupan baru bersama lelaki yang tulus mencintai.Ia tahu perjuangan teman yang selalu ada dalam suka duka itu. Dikhianati ketika sedang mengandung buah h
"Odeng, gyoza, ramyeon, masing-masing bikin dua, Mbak," ucap seorang pembeli kepada Hilma yang mencatat pesanan. "Minumnya banana milk sama air mineral, masing-masing tiga juga ya, Mbak," ucap perempuan berkacamata itu lagi.Hilma kembali mencatat kemudian mengangguk. "Baik, Mbak. Ditunggu pesanannya."Melihat kesibukan di warung, membuat Hilma turut membantu pekerja lainnya dengan menerima pesanan yang kemudian diserahkan pada bagian dapur. Ia juga turut membantu mengantarkan pesanan kepada pelanggan. Ia pun menyediakan meja dan kursi untuk makan di dalam kios juga di halaman sebelah kanan untuk pelanggan yang makan di tempat, sedangkan sebelah kiri diperuntukkan parkiran juga pengemudi online yang menunggu pesanan.Hampir empat jam pelangan yang datang silih berganti, di waktu makan siang, biasanya pembeli yang datang semakin banyak, baik yang makan di tempat ataupun memesan lewat online. "Mbak Hilma istirahat
Idam menatap cincin berlian yang dipegang antara telunjuk dan jempol. Diputar-putar lalu dilihat dengan seksama. Benda berbentuk bulat yang ia beli sebelum berangkat ke Jakarta, simbol untuk megikat hati yang telah berhasil menautkan hatinya. Akan tetapi, harapan tak sesuai kenyataan. Seseorang yang ingin ia jadikan pelengkap hidupnya terlihat lebih ceria dengan adik sepupunya.Berbulan-bulan ia merenungi diri, menelaah hati dan mencoba mencari makna dari setiap getaran juga perasaan yang ia rasakan ketika mendengar suara seseorang atau melihat Hilma dari kejauhan. Ada hal yang berbeda, telah mewarnai jiwa juga kehidupannya.Awalnya, semua itu masih terasa abu-abu, tak dipungkiri terkadang ia berusaha menepis segala yang singgah. Namun, senyum, tawa, juga resah, gelisah, selalu mewarnai diri ketika mengetahui tentang dia. Di saat mendengar celotehan Cantika yang ditanggapi penuh kesabaran juga perhatian membuat garis senyumnya mengembang, tatkala mengetah
[Assalamualaikum][Waalaikummussalam][Ini Idam. Boleh bertamu ke rumah][Ada apa,Pak][Ada yang mau saya sampaikan][Kapan][Habis maghrib][Baik, Pak. Silahkan datang][Oke, terima kasih][Sama-sama]Mendapati pesan dari lelaki yang tak pernah bertegur sapa walaupun kadang bersua membuat Hilma mengerutkan kening. Menerka apa yang hendak disampaikan."Ada apa, ya, kira-kira? Apa ada hubungannya dengan Cantika?"Mengulas ingatan selama kebersamaan dengan anak perempuan itu, ia merasa tak pernah melakukan kesalahan. Bahkan, hubungan mereka semakin baik. "Udahlah, dari pada nebak-nebak, lebih baik nanti dengar sendiri aja." Perempuan yang tadinya hendak ke kamar mandi itu bergumam sendiri, menghibur hatinya yang dilanda kegundahan. Walaupun berusaha abai, tetapi tetap saja merasuk dalam pikiran.
"Aku tak mau punya papa baru!""Ghava. Sini, Sayang." Meski terkejut mendengar teriakan anaknya, Hilma berdiri dan hendak meraih sang anak, tetapi ditepis. "Mama tidak boleh menikah dengan Om Idam!" tegas Ghava.Melihat situasi yang di luar rencana, lelaki yang tampak terkejut itu hanya terpaku."Ghava Sayang." Hilma kembali ingin merangkul anaknya, tetapi lagi-lagi mendapat penolakan."Om Idam jahat! Om mau mengambil Mamaku, Kan?""Om pasti akan membuang aku dan Mas Ghani jika menikah dengan Mama!""Om hanya akan sayang sama Mama!""Aku ga mau punya papa baru. Aku ga mau dibuang di jalanan!""Om pergi sekarang juga! Jangan pernah ke sini lagi!" Dengan wajah merah padam anak lelaki itu terus berteriak mengusir Idam. Melihat hal itu dengan tegas Hilma menegur dan menyuruh Ghava meminta maaf, tetapi perintahnya mendapat bantahan. Bahkan, anak itu semakin