SummerAgustus, 2015"Apa yang kau lakukan di sini?!" pekik cewek yang sedang memakai masker itu di depan pintu rumahnya, tatkala tahu bahwa aku yang tengah berdiri menunggunya di beranda.Aku langsung tersadar dari lamunanku dan menoleh mendengar suaranya. Ingin sekali menghambur padanya. Sesaat air mataku tumpah lagi. Sungguh payah, cengeng, dan nampak kacau. Pasti gadis di depanku ini tak segan menertawakan betapa jeleknya aku sekarang. Tapi, Rub hanya melongo. Ia maju menghampiriku. Cewek itu mengambil ujung jaketku yang bebas dan melapkannya pada pipiku yang basah. Sikapnya barusan bikin aku ingin memeluknya. Dahi di balik masker putih itu berkerut, mungkin khawatir atau masih heran. Ia menarik lenganku segera mungkin."Ayo cepat masuk!""Siapa, Rub?" suara wanita menggema dari ruang dalam. Itu pasti ibunya."Hanya Summer, Mom. Kami ada tugas kelompok. Kami langsung ke kamarku." Ruby mengeraskan suaranya agar didengar ibunya. Ia berusaha mengalahkan suara kencang tv yang menyiar
SummerSeptember 2015Pagi di minggu awal bulan ini membuatku setengah bergidik. Bisa jadi karena aku was-was jika peristiwa antara aku, Jon, dan Cloud kemarin bocor di lingkungan sekolah. Dan mungkin juga karena suhu udara yang semakin menurun. Muramnya hariku kini bertepatan dengan masuknya musim gugur. Daun-daun sudah mulai meranggas. Menguning dan berguguran. Membuat janji dengan sesama untuk merayakan pedihnya hatiku. Jika tahu begini, aku mengomel sendiri kenapa namaku tidak "Seasons" saja karena kisah hidupku silih berganti layaknya pergantian musim. Bukan summer, karena sama sekali tidak cocok.Aku menghela nafas. Pagi-pagi sekali setelah keluar dari rumah Rub, lalu merasa kedinginan mengantar koran, aku menyelinap melalui pintu belakang dengan kunciku sendiri. Aku tidak mau lewat depan karena mom belum berangkat bekerja dan jika ia melihatku, aku malas sekali berdebat dengannya.Segera aku naik ke kamarku dengan sebisa mungkin tanpa suara. Lalu mencuci muka, menggosok gigi, d
JonSeptember 2015Cemas. Tentu saja. Ini pertama kalinya aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Apa artinya jika bukan ada hal yang serius. Pasti tentang kekacauan yang kubuat kemarin. Tidak kupungkiri kalau aku salah. Aku tahu aku salah dan terlalu terbawa emosi. Setelah melihat kembali rekaman peristiwa kemarin yang sudah menyebar luas hingga satu sekolah sepertinya tahu, aku jadi tambah sadar kalau aku lah yang salah. Aku tidak bisa mengontrol emosi. Padahal pelatih basketku saja tidak hanya mengajariku teknik bermain, tapi juga bagaimana cara mengatur emosi. Oke. Sepertinya kali ini aku kecolongan karena masalah cewek. Tapi, bagaimana aku tidak tersulut? Aku menyayangi Summer sejak kecil, dan melihat seorang yang membuat hatinya berantakan masih berani mendekatinya, rasanya sulit diterima. Menjengkelkan.Sekarang aku duduk di hadapan Mr. Shirley. Pentolan sekolah ini yang sejujurnya ditakuti oleh semua murid. Aku tahu, setelah menghadapi pria yang tengah mengamatiku ini, persoal
JonSeptember, 2015Langkahku semakin berat ketika melewati lorong panjang menuju ke kelas. Semakin berat saat kelas sudah ada beberapa langkah di hadapanku. Aku berhenti. Menjernihkan pikiranku yang mendadak sangat ingin marah dan membanting sesuatu. Sejenak kuambil nafas panjang sembari menatap langit-langit berwarna putih itu. Lalu dengan perlahan membuang nafas dan menenangkan diri. Kusadari sekarang, kembali ke sini sendiri salah. Ini tidak tepat!Kuputar tiga ratus enam puluh derajat kakiku. Lalu secepat mungkin berlari ke arah aku datang tadi. Setiap langkah kakiku yang melayang lalu menginjak lantai, setiap itu pula pikiranku hanya padanya. Aku berharap aku belum terlambat. Nafasku memburu. Jantungku berdetak lebih cepat. Temperatur tubuhku meninggi. Aku tak peduli sekesal dan selelah apapun diriku, hanya satu yang ingin kutuju di sana. Aku berbelok ke kanan di persimpangan. Kembali berlari di lorong.Kulihat dari jauh, satu-satunya orang yang saat ini ingin kurengkuh untuk pe
JonSeptember, 2015Matanya terbelalak. Sangat berbinar. Rasa kesalnya padaku sirna seketika. Summer masih saja Summer yang kukenal. Sekesal apapun ia padaku, bila aku menyogoknya dengan sesuatu yang ia suka, maka seketika kesalnya hilang.Ia berlari-lari kecil di depanku. Mendahuluiku. Langkahnya tak sabaran. Aku menertawainya. Jelas karena tingkah kekanakannya muncul begitu saja."Jon! Kenapa tidak dari dulu sih kau ajak aku kemari?" protesnya padaku."Hanya orang spesial yang kuajak kemari," kataku jujur padanya. Dulu sebelum dekat kembali dengan Summer. Hampir saja yang ku ajak kemari adalah Roxie."Kenapa tidak Roxie saja yang kau ajak kemari?" tanyanya enteng. Jemarinya menyisiri rak-rak dan toples kaca besar berisi permen warna-warni.Ya. Kami sedang berada di toko permen dan coklat kesukaanku.Pertanyaan Summer barusan berhasil menyentilku. Aku sedikit terkejut. Aku pun terdiam memandangi sekitar.Summer berhenti seketika. Sepertinya ia baru saja tergelak dan sadar dengan ucap
SummerSeptember 2015Aku bernafas bebas. Tiap kali aku melangkah dan menjelajah bersamanya. Jonathan Finch, namanya. Bocah laki-laki yang dari dulu hingga kini masih saja menjadi favoritku untuk bermain bersama. Tiap kali langkahku berderap ringan, adrenalinku memuncak, jiwaku bergemuruh antusias, dan darahku berdesir. Aku adalah aku, saat bersamanya. Bebas merajuk sekaligus terkekeh sampai jelek. Tak masalah melotot dan berdebat dengannya. Tak masalah bergelayut padanya ketika butuh kenyamanan.Ketika ia mengaitkan jemarinya padaku, aku tahu aku tak sendiri. Ia menggenggamku bersamanya. Ajaibnya, segala sakit, perih, dan kecemasan yang kurasakan hilang seketika. Seakan potongan-potongan diriku yang rapuh dan hampir pecah melekat kembali seketika saat ia bersamaku, terlebih saat ia merengkuhku. Seperti contohnya kini, saat aku berjalan kembali ke sekolah bersama Jon. Seharusnya aku memikirkan segala tentang Cloud, keretakan menyakitkan di antara kami yang terjadi begitu cepat serta k
Summer September 2015 "Masalahnya bukan begitu! Sulit buatku melupakannya." Rubby berdecak setelah mendengar curahan hatiku. Ia tak tahu lagi harus berkata apa agar aku benar-benar lepas dari galau hati terhadap Harry. Ia jadi sebal dengan sepupunya itu. Bisa-bisanya memutuskan jatuh cinta dengan gadis SMA yang ternyata murid di kelasnya. Aku. "SANGAT MELANGGAR ATURAN!" Begitu pekiknya tadi. Aku sadar itu pelanggaran berat. Tapi, hati tak pernah memilih. Tak pernah memaksa. Mengingat kisahku dan Cloud. Itu seperti mimpi indah dan mimpi buruk. Ada rindu dalam diriku. Mengingatnya membuatku pedih. Sekarang ia bersikap naik turun, semaunya sendiri. Sementara aku, berusaha keras tidak memikirkan gejolak tentangnya, pun berusaha keras menjauhkan diri dari keinginan menjadikan Jon sebagai pelarian semata. Sejauh ini Rub mengambil kesimpulan bahwa Harry belum bisa melepaskan diriku seutuhnya, meskipun situasi mengharuskannya bertindak demikian. Kami berdua masih bungkam. Belum melanju
Summer September 2015 Malam itu Jon datang tanpa peringatan. Ia ingin bercengkrama denganku. Dan dengan konyol mengusir Rub pulang dari rumahku. Rub tak menggubris. Ia dengan santai menonton tv dan bercanda bersama ibuku. Hal yang membuatku melongo setengah mati. Tanpa pikir panjang Jon menyeretku keluar dari sana. Rub dan mom hanya melambaikan tangan padaku sembari cekikikan. Aku tak habis pikir bagaimana bisa keduanya dengan cepat bisa berkomplotan. Jon mengajakku duduk di undakan beranda. Menikmati angin malam terakhir di musim panas. Ia membawakanku sebotol jus jeruk dingin. Aku menegaknya dengan senang hati. Ia mengeluarkan sebuah rubik dari saku. Rubik yang tidak terlalu besar. "Kau ingat?" ia menatapku sejenak, lalu memainkan benda itu. "Yeah..." aku tersenyum padanya. "Mainan yang membuat resah hilang sejenak." Ia terkekeh. "Roxie tidak pernah bisa menyelesaikannya, sebanyak apapun aku mengajarinya. Rupanya kau lebih pandai..." Aku tersenyum hangat padanya. "Kau mulai