Tepat pukul dua siang akhirnya Suratman sudah sampai di kantor Rayhan. Setelah memarkirkan mobilnya dia keluar dari mobil dengan senyuman semringah, berjalan tegak dengan membusungkan dadanya. Pria paru baya itu yakin kalau selain kerja sama itu dia juga menawarkan Ayu untuk dinikahinya. Apalagi kata putrinya sendiri kalau Rayhan juga sangat mencintai Ayu.“Ah sebentar lagi perusahaan ini akan menjadi milikku . Rasanya tidak sabar untuk bisa masuk di dalam keluarga Rayhan,” batin Suratman sambil menatap gedung tinggi itu, lalu melanjutkan langkahnya menuju lift. Dia pun menekan tombol lift pergi ke lantai empat tempat di mana ruang kerja Rayhan berada. Rasa gugup dan sedikit gelisah sudah menyelimuti hatinya. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dia ib berjalan sedikit cepat karena waktu sudah menunjukkan pukul dua lewat lima menit.“Selamat siang Pak, dengan Bapak Suratman dari PT. Citra Kencana?” tanya Mila sekretaris Rayhan, menghentikan langkah Suratman yang ingin langsung masuk
Memang tidak diragukan dulu saat mereka satu kampus. Ayu yang terlahir dengan wajah cantik dan tubuh seksi, membuat siapa saja akan jatuh cinta dan tergoda, sehingga banyak para lelaki yang mencuri pandang dengannya dan ingin merasakan pelukan hangat dari Ayu. Apalagi cara berpakaian yang sangat terbuka membuat para pria panas dingin dibuatnya.“Apakah Ayu yang mengatakan hal itu dengan Bapak?” “Iya, kamu juga mencintai Ayu, kan?” tanya Suratman bersemangat dan melirik sinis kearah Suratmin. Rayhan menghela napas panjang, dia tahu akan terjadi seperti ini. Apalagi beberapa hari yang lalu Rayhan bersama Hanin melihat Ayu bergandengan tangan dengan pria yang lebih tua darinya.Saat mereka berbincang di ruangan Rayhan, tiba-tiba saja Pak Dibyo ayah kandung Rayhan masuk ke ruangan itu. Dia pun ikut terkejut dengan kehadiran dua orang saudara kembar itu. Dengan cepat Suratman berdiri untuk menyambut Pak Dibyo dan menghambur ke pelukan seakan mereka baru bertemu kembali sebagai seorang
“Min, kapan anakmu lahir?” tanya Suratman saudara kembar Suratmin dengan nada mengejek.“Alhamdulilah, Mas, kata bidan sih tinggal menghitung hari saja paling tidak tiga atau lima hari lagi,” jawab Suratmin dengan santai sembari membuat meja kecil dari kayu untuk di dapurnya.“Berarti istri kamu melahirkan nanti di bidan dong?”“Iya, nggak apa-apa, lagian nggak ada uang juga kalau harus di rumah sakit, bayarannya mahal, nggak sanggup aku,” kilahnya merendah diri.“Iya sih kamu kan jadi OB di warung makan kecil, gajimu berapa di sana, Min?”“Nggak cukuplah pastinya, kalaupun ngutang nanti susah bayarnya, apalagi sama saudara nanti pura-pura amnesia kalau ditagih, lebih baik yang sesuai kemampuan saja, nggak usah neko-neko!” hardiknya sembari mengejek dengan jelas.“Iya, Mas, makanya disesuaikan dengan kemampuan kami.” Suratmin tersenyum walaupun di dalam hatinya sangat sakit dengan perkataan saudara kembarnya itu.“Bagus deh tahu diri juga kamu. jadi nggak menyusahkan aku, soalnya ist
Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.Setelah selesai makan mereka bersantai ria duduk di teras rumah, walaupun rumahnya kecil tetapi teras dan halaman rumah kontrakan Suratmin sedikit luas.Terdapat dua buah kursi yang terbuat dari kayu itu, menselonjorkan kedua kakinya yang terasa pegal tadi karena duduk bersila, membuat Siska yang hamil besar sedikit merasa rikeks di tempat itu.Angin yang datang hilir mudik membuat Suratman dan Siska malas beranjak dari tempat duduknya seakan-akan mereka pemilik kontrakan itu.“Sus, enak juga ya di rumah kontrakan kamu, biar dikatakan kecil, sumpek, bau, dan kotor kalau sudah ada angin sepoi-sepoi bawaannya ngantuk melulu, kayak kita lagi di pantai, benar nggak sih Mas?” tanya Siska yang asyik menikmati angin yang melewati dirinya.“Iya,
“Ayuk Sus, kalau mau bareng ke warung kebetulan kita juga mau ke sana, rencananya kita mau rujakan, kamu ikut saja,” ajak Bu Retno dengan senang hati mengajak Susi.Siska yang mendengar kalau ada makanan gratis pun dengan sigap mendatangi mereka yang asyik ngerumpi.“Loh, Bu saya kok nggak diajak ikutan gabung?” tanya Siska dengan panik karena takut ketinggalan makan rujak.“Siska kalau mau ikut sumbang dong, katanya orang kaya apa kata dunia kalau kamu tidak ikut, apalagi suamimu kan setiap Jumat sedekah tuh bagi-bagi sembako, sekalian buat pencitraan kalau istri dari Bapak Suratman Jayadiningrat Satroatmojo itu suka membaur di kalangan warga kampung, tidak pelit dan juga tidak sombong,” jelas Bu Retno yang selalu membanggakan Siska hingga dia pun tersenyum malu-malu.“Usul Ibu boleh juga, baiklah saya izin suami dulu, sebentar!” ucap Siska dengan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.Susi dan Ibu-ibu lainnya tersenyum puas karena bisa mengerjai Siska habis-habisan, hanya s
“Ada Mas, nih seribu!” ucap Susi enteng.“Loh kok cuma seribu? Aku tadi kan ngasihnya seratus ribu, kok kembaliannya cuma seribu perak?” tanyanya dengan wajah yang sudah terlihat kusam dan jutek.“Loh Mas Ratman ini bagaimana sih? Tadi ada nggak nyuruh aku kembalikan uangnya harus berapa kan nggak ada bilang, berarti bukan salah aku dong!” ucapnya sedikit kesal.“Lagian katanya nggak boleh pelit-pelit sama saudara nanti nggak berkah loh, itu kan yang Mas, bilang?” jelas Susi mencoba mengingatkan kembali perkataan Suratman tadi.“Memang tadi aku tadi ngomong seperti itu?” tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapannya sendiri.“Iya, Mas, bukannya berbagi itu indah?” timpa Suratmin mengelabui saudara kembarnya yang sudah keterlaluan pelitnya.“Sudah toh Man, nggak usah dipikirkan lagi lebih baik nanti kita makan rujak, enaknya nampol loh panas-panas begini makan yang pedas-pedas,” sahut Bu Retno yang masih mengupas buah-buahan itu lalu mengirisnya dengan penuh semangat empat lima.
“Yang benar kamu, Sayang?”“Memang wajahku seperti bercanda memang, cepat Mas, antar aku ke Bidan Wati, nggak tahan nih, kok tiba-tiba mulesnya,” ucap Susi yang sedang memegang perutnya.“Mungkin kebanyakan makan sambal rujak, makanya mules,” ucap Bu Retno merasa khawatir.“Ayuk cepatan bawa perlengkapannya, Man, pakai mobilmu kasihan adik iparmu mau melahirkan!” teriak Bu Retno tanpa memedulikan wajah Siska cemberut dengan mulutnya manyun seperti ikan mujair.“Suratman masih diam dalam kebingungan antara istrinya dan Bu Retno, tetapi karena berpikir pencitraan yang harus dijunjung tinggi akhirnya mau tidak mau, dia pun membawa Susi dan Suratmin ke Bidan Wati yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.“Mas, aku nggak kuat, sakit Mas!” teriaknya sepanjang perjalanan.“Sabar Sayang, perbanyaklah berdoa’a yakin ke dalam hatimu kalau kamu adalah wanita tangguh, sebentar lagi kita sampai di rumah bu Bidan, tenang ya, berselawat saja!” ucap Suratmin mencoba menenangkan istrinya sembari tak
“Wah, selamat ya Sus, Ratmin, kalian sudah menjadi orang tua, duh gemas banget lihatnya,” ucap Bu Retno bahagia.“Terima kasih, Bu Retno,” jawabnya dengan tersenyum bahagia.“Aku juga ngucapin selamat deh buat kalian, tetapi kok hidungnya pesek gitu dan kulitnya ... duh makanya Sus, kalau lagi hamil itu perawatan juga dong kasihan banget bayi kamu, bukan memperbaiki keturunan malah lebih parah lagi,” hina Siska tanpa koma.“Iya, kamu juga Min, sebagai suami itu harus memanjakan istrinya seperti aku ini, masa kamu biarkan Susi nggak terawat banget, lihat bayimu saja aku malas gendong deh!” rutuknya sewot.“Aduh, sudah deh Mbak, Mas, kalau kalian di sini hanya untuk berkomentar nggak jelas, lebih baik kalian pulang deh, aku mau menikmati menjadi Ibu dulu,” ucapnya tanpa melihat ke arah mereka.“Kalian pulang saja sana, tuh lihat kasihan istrimu sudah seharian di luar,” sahut Bu Retno yang geram juga melihat tingkah laku sepasang suami istri itu.“Ya sudah, kami pulang dulu nggak betah j