“Min, kapan anakmu lahir?” tanya Suratman saudara kembar Suratmin dengan nada mengejek.
“Alhamdulilah, Mas, kata bidan sih tinggal menghitung hari saja paling tidak tiga atau lima hari lagi,” jawab Suratmin dengan santai sembari membuat meja kecil dari kayu untuk di dapurnya.“Berarti istri kamu melahirkan nanti di bidan dong?”“Iya, nggak apa-apa, lagian nggak ada uang juga kalau harus di rumah sakit, bayarannya mahal, nggak sanggup aku,” kilahnya merendah diri.“Iya sih kamu kan jadi OB di warung makan kecil, gajimu berapa di sana, Min?” “Nggak cukuplah pastinya, kalaupun ngutang nanti susah bayarnya, apalagi sama saudara nanti pura-pura amnesia kalau ditagih, lebih baik yang sesuai kemampuan saja, nggak usah neko-neko!” hardiknya sembari mengejek dengan jelas. “Iya, Mas, makanya disesuaikan dengan kemampuan kami.” Suratmin tersenyum walaupun di dalam hatinya sangat sakit dengan perkataan saudara kembarnya itu. “Bagus deh tahu diri juga kamu. jadi nggak menyusahkan aku, soalnya istriku rencananya sih mau lahiran di rumah sakit kalau perlu operasi secar biasalah mau cari tanggal yang hoki gitu,” jelasnya bersemangat. “Ngapain operasi secar Mas, kalau masih bisa normal, kecuali kalau memang harus jalan operasi ya mau nggak mau,” tandas Suratmin menjelaskan.“Itukan menurutmu, Min, kalau aku bedalah orang kaya itu harus terlihat kayanya dong, jangan kayak orang miskin!” sahutnya tak mau kalah. Senyum yang dipaksakan selalu dia lakukan lantaran agar tidak menyinggung perasaan Suratman yang lebih kaya dari Suratmin.Sudah sering kali Suratman merendahkan Suratmin lantaran menjadi orang miskin baginya.Perbincangan di hari minggu itu membuat Susi istri dari Suratmin menitikkan air matanya ketika mendengar percakapan mereka.Namun buru-buru dia usap air matanya dengan daster panjang yang terlihat kusam dan banyak tambalan di mana-mana, agar tidak ketahuan oleh Suratmin kalau dia baru saja menangis. Susi kembali ke dapur untuk memasak makan siang. Hanya goreng tempe, sambal terasi dan tumis kangkung membuat aroma masakan yang dibuat oleh Susi menyeruak sampai keluar. Penciuman hidung Suratman sangat tajam sampai tak terkendalikan sehingga perutnya selalu berbunyi. Di saat itu juga istri Suratman yaitu Siska ikut datang ke rumah kontrakan kecil milik Suratmin. Sudah hal lumrah untuk pasangan suami istri ini yang mereka bilang orang kaya itu setiap hari selain hari Jum’at mereka akan datang entah pagi, siang ataupun malam ke rumah kontrakan Suratmin. Apalagi kalau bukan minta makan, padahal Suratmin juga dalam kekurangan bahkan tidak pernah dia meminta apapun, tetapi Suratman dan istrinya tetap tidak peka dengan keadaan. “Assalamu’alaikum!”“Wa’alaikumsalam!” “Eh Mbak Siska, mau jemput Mas Suratman ya?” tanya Suratmin tersenyum renyah ketika selesai membuatkan meja kayu untuk istrinya. “Biasalah, hari Minggu main-main ke rumah saudara, nggak apa-apa kan?” balasnya dengan santai. “Berarti aku juga bisa main-main ke rumah sampean toh?” tanya Suratmin semringah.“Ngapain ke rumah nggak ada apa-apa di sana, lagian kalau di sini kan ada makanan, tuh sepertinya istrimu sudah selesai masak, ayuk kita makan,” ajak Suratman dan langsung masuk ke dalam tanpa di suruh. “Ayuk, Mbak silakan masuk!” ajak Suratmin tersenyum yang dipaksakan. “Wah dengan senang hati, dong,” jawabnya dan langsung menyelonong ke dalam. Sampai di dapur, Susi yang selesai masak pun langsung menghidangkan makanan diatas dipan yang terbuat dari kayu. Nasi yang masih panas mengepul dengan baunya yang wangi, ditambah sambal terasi yang menggugah selera.Mereka pun sudah duduk menghadap makanan yang disajikan Susi. “Loh, Mas dan Mbak mau numpang makan lagi, kenapa nggak makan di rumah?” tanya Susi yang mulai kesal dengan tingkah mereka. “Kamu kan tahu Mbakmu ini malas masak, lagian pembantu kalau masak itu-itu saja, bosan nggak ada variasinya, beda sama kamu selalu ganti-ganti walaupun hanya tempe saja,” kilah Suratman yang sudah tidak sabar ingin menyantap makanan yang ada didepannya.“Ya belajar dong, Mbak, sebentar lagi mau lahiran juga terus siapa yang mengurus, Mbak nanti?” tanya Susi kepada Siska.“Aku belum ngambil cuti sayangkan uangnya, nanti tunggu dua atau tiga harilah, baru aku rehat dan kita mau pakai baby sister aja, aku kan wanita karier ya bedalah sama kamu yang Cuma rebahan saja nggak ada kegiatan,” sahutnya dengan nada menyinggung. Tak lama kemudian Suratmin datang dan ikut bergabung duduk di antara mereka. “Ayuk, cepatan toh, aku sudah lapar nih!” ucapnya dengan cepat tangannya mengambil nasi itu sudah berpindah cepat dipiringnya. “Sus, kamu kok masak sedikit amat, jangan pelit-pelit sama keluarga, nanti nggak berkah loh!” ucapnya sembari melahap makanan itu dengan lahap begitu juga dengan Siska istrinya tanpa malu-malu dai pun menambah porsinya dengan alasan harus makan yang banyak karena hamil. Mendengar ucapan Suratman, Susi kembali terhenyak dan membuat selera makannya berkurang.“Loh bukannya kalian ya yang pelit, buktinya makan terus di sini gratis pula, kan duit banyak tinggal telepon pesan makanan terus datang lalu bayar, ngapain toh susah-susah ke sini!” “Berasku tinggal sedikit, Mas, yang jatahnya cukup untuk sebulan, eh malah nggak cukup, harusnya tahu diri dong!” ejek Susi tetapi mereka pun tetap tidak memedulikan omongan Susi, karena masih menikmati makanannya sehingga semua yang disajikan tadi ludes seketika tidak menyisakan Suratmin. “Wah enak sekali makananmu Sus, sampai lupa nggak nyisakan makanannya!” ucap Suratman dengan enteng. “Kalau mau makan banyak sini, mana uangnya biar aku buatkan lagi kayak tadi dan bisa sampean bawa pulang makan di rumah kalian saja!” ucap Susi sembari mengulurkan tangannya untuk minta uang. “Lah, aku nggak ada uang kecil, adanya juga uang merah semua, kalau kasih kamu yang untung kamu dong, makanan seperti ini nggak nyampe tiga puluh ribu juga nanti mau minta angsulannya bilang nggak ada kembaliannya, orang miskin kan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan!” rutuknya membuat Susi bertambah kesal.“Ya Allah, Mas nggak apa-apa, aku belikan di warung tunggu sini nanti uang kembaliannya tak kasih sampean lagi, bagaimana?”“Alah itu akal-akalan kamu saja, nanti kalau kamu lebih-lebihkan harga di warung bagaiamana bilang beli kangkung harganya cuma tiga ribu seikat nanti kamu bilang lima ribu, tekor dong aku!” hardiknya kesal. “Kalau begitu sama-sama ke warung supaya tahu harga semua kebutuhan yang di beli, bagaimana?” usul Suratmin padahal dia sudah tahu jawabnnya. “Nggak lah, aku malas kayak gitu, aku ini orang kaya, malu lah belinya kok gituan, nggak level!” tolaknya. “Ya sudah biar Mbak Siska saja yang ke warung, nanti biar aku yang masakan, bagaimana ini alternatif terakhir loh!” ucap Susi yang hampir putus asa mendengar alasaan demi alasan yang dibuatnya. “Aku kamu suruh ke warung nggak ah ... nggak mau, nggak level dengan warung kotor, bau, banyak kumannya ... iiihhh!” Siska mendelik jijik saat membayangkan pergi ke warung dengan memakai sandal uang harganya bisa mencapai satu juta rupiah itu.Suratmin yang mendengarnya hanya biaa tertawa kecil menampilkan deretan giginya yang putih, sedangkan Susi hampir kehilangan cara untuk membuat mereka mengerti tetapi dia tidak ingin selalu dikelabui oleh mereka yang bergelar sultan itu. “Loh Mbak ini bagaimana sih, masakan yang aku buat itu dari sana loh, yang Mbak bilang bau, kotor, banyak kumannya, berarti masuk ke perut bahaya dong?” ejek Susi. “Ya nggak lah, buktinya kamu dan Suratmin makan juga, nggak ada masalah tuh, baik-baik saja!” jawabnya lagi dengan santai.“Huh ... tenang Susi, tenang ... sabar ... aku harus banyak istighfar kalau menghadapi mereka, untungnya aku tidak menikah dengan Suratman, bisa pusing kepala aku dibuatnya tiap hari,” gerutunya dalam hati. “Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin, benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!” rutuknya dengan kesal.Setelah selesai makan mereka bersantai ria duduk di teras rumah, walaupun rumahnya kecil tetapi teras dan halaman rumah kontrakan Suratmin sedikit luas.Terdapat dua buah kursi yang terbuat dari kayu itu, menselonjorkan kedua kakinya yang terasa pegal tadi karena duduk bersila, membuat Siska yang hamil besar sedikit merasa rikeks di tempat itu.Angin yang datang hilir mudik membuat Suratman dan Siska malas beranjak dari tempat duduknya seakan-akan mereka pemilik kontrakan itu.“Sus, enak juga ya di rumah kontrakan kamu, biar dikatakan kecil, sumpek, bau, dan kotor kalau sudah ada angin sepoi-sepoi bawaannya ngantuk melulu, kayak kita lagi di pantai, benar nggak sih Mas?” tanya Siska yang asyik menikmati angin yang melewati dirinya.“Iya,
“Ayuk Sus, kalau mau bareng ke warung kebetulan kita juga mau ke sana, rencananya kita mau rujakan, kamu ikut saja,” ajak Bu Retno dengan senang hati mengajak Susi.Siska yang mendengar kalau ada makanan gratis pun dengan sigap mendatangi mereka yang asyik ngerumpi.“Loh, Bu saya kok nggak diajak ikutan gabung?” tanya Siska dengan panik karena takut ketinggalan makan rujak.“Siska kalau mau ikut sumbang dong, katanya orang kaya apa kata dunia kalau kamu tidak ikut, apalagi suamimu kan setiap Jumat sedekah tuh bagi-bagi sembako, sekalian buat pencitraan kalau istri dari Bapak Suratman Jayadiningrat Satroatmojo itu suka membaur di kalangan warga kampung, tidak pelit dan juga tidak sombong,” jelas Bu Retno yang selalu membanggakan Siska hingga dia pun tersenyum malu-malu.“Usul Ibu boleh juga, baiklah saya izin suami dulu, sebentar!” ucap Siska dengan tersenyum lebar memperlihatkan gigi gingsulnya.Susi dan Ibu-ibu lainnya tersenyum puas karena bisa mengerjai Siska habis-habisan, hanya s
“Ada Mas, nih seribu!” ucap Susi enteng.“Loh kok cuma seribu? Aku tadi kan ngasihnya seratus ribu, kok kembaliannya cuma seribu perak?” tanyanya dengan wajah yang sudah terlihat kusam dan jutek.“Loh Mas Ratman ini bagaimana sih? Tadi ada nggak nyuruh aku kembalikan uangnya harus berapa kan nggak ada bilang, berarti bukan salah aku dong!” ucapnya sedikit kesal.“Lagian katanya nggak boleh pelit-pelit sama saudara nanti nggak berkah loh, itu kan yang Mas, bilang?” jelas Susi mencoba mengingatkan kembali perkataan Suratman tadi.“Memang tadi aku tadi ngomong seperti itu?” tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapannya sendiri.“Iya, Mas, bukannya berbagi itu indah?” timpa Suratmin mengelabui saudara kembarnya yang sudah keterlaluan pelitnya.“Sudah toh Man, nggak usah dipikirkan lagi lebih baik nanti kita makan rujak, enaknya nampol loh panas-panas begini makan yang pedas-pedas,” sahut Bu Retno yang masih mengupas buah-buahan itu lalu mengirisnya dengan penuh semangat empat lima.
“Yang benar kamu, Sayang?”“Memang wajahku seperti bercanda memang, cepat Mas, antar aku ke Bidan Wati, nggak tahan nih, kok tiba-tiba mulesnya,” ucap Susi yang sedang memegang perutnya.“Mungkin kebanyakan makan sambal rujak, makanya mules,” ucap Bu Retno merasa khawatir.“Ayuk cepatan bawa perlengkapannya, Man, pakai mobilmu kasihan adik iparmu mau melahirkan!” teriak Bu Retno tanpa memedulikan wajah Siska cemberut dengan mulutnya manyun seperti ikan mujair.“Suratman masih diam dalam kebingungan antara istrinya dan Bu Retno, tetapi karena berpikir pencitraan yang harus dijunjung tinggi akhirnya mau tidak mau, dia pun membawa Susi dan Suratmin ke Bidan Wati yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.“Mas, aku nggak kuat, sakit Mas!” teriaknya sepanjang perjalanan.“Sabar Sayang, perbanyaklah berdoa’a yakin ke dalam hatimu kalau kamu adalah wanita tangguh, sebentar lagi kita sampai di rumah bu Bidan, tenang ya, berselawat saja!” ucap Suratmin mencoba menenangkan istrinya sembari tak
“Wah, selamat ya Sus, Ratmin, kalian sudah menjadi orang tua, duh gemas banget lihatnya,” ucap Bu Retno bahagia.“Terima kasih, Bu Retno,” jawabnya dengan tersenyum bahagia.“Aku juga ngucapin selamat deh buat kalian, tetapi kok hidungnya pesek gitu dan kulitnya ... duh makanya Sus, kalau lagi hamil itu perawatan juga dong kasihan banget bayi kamu, bukan memperbaiki keturunan malah lebih parah lagi,” hina Siska tanpa koma.“Iya, kamu juga Min, sebagai suami itu harus memanjakan istrinya seperti aku ini, masa kamu biarkan Susi nggak terawat banget, lihat bayimu saja aku malas gendong deh!” rutuknya sewot.“Aduh, sudah deh Mbak, Mas, kalau kalian di sini hanya untuk berkomentar nggak jelas, lebih baik kalian pulang deh, aku mau menikmati menjadi Ibu dulu,” ucapnya tanpa melihat ke arah mereka.“Kalian pulang saja sana, tuh lihat kasihan istrimu sudah seharian di luar,” sahut Bu Retno yang geram juga melihat tingkah laku sepasang suami istri itu.“Ya sudah, kami pulang dulu nggak betah j
Suratmin sangat bahagia walaupun pemilik warung itu tidak pernah ke rumah, tetapi sosok beliau itu sangat bersahaja dan baik.“Assalamu’alaikum!” sapanya sembari melontarkan sebuah senyuman ramah.“Wa ’alaikumsalam, Pak Dirga, silakan masuk, Pak, Buk!” sahut Suratmin terkejut saat di datangi oleh mereka. “Terima kasih!” ucap Pak Dirga bersama Bu Sari.“Iya, Sama-sama, Pak Dirga, Bu Sari, silakan duduk!” “Siapa itu , Sayang?” tanya Suratman kepada istrinya Siska saat ingin mau ke luar dari kamar.“Sepertinya itu bosnya Suratmin, Mas!”“Ayuk pulang pegal nih berdiri terus, ngapain juga kita di sini, sumpek tahu,” gerutunya dan hendak pergi dari sana.“Tunggu dulu, Sayang!” cegah Suratman kepada istrinya.“Mau ngapain lagi kita di sini. Kita kan sudah dapat uang dari Suratmin lumayan buat makan malam kita,” sahut Siska yang mulai gerah karena merasa kepanasan. “Kamu ini, Sayang, kamu mau uang tambahan nggak?” tanya Suratman dengan tersenyum licik.“Ya maulah, tetapi maksudnya bagaiman
“Ya, setidaknya dapat pujian gitu, saya kan juga kaya seperti sampean, toh,” sahutnya yang memuji dirinya sendiri.Pak Dirga hanya menanggapnya dengan sebuah senyuman tipis.“Mas, jangan buat malu toh, situ kan nggak kenal bos ku, jangan buat masalah!” ancam Suratmin sedikit berbisik di telinga Suratman.“Ya suka-sukaku lah, ini mulutku sendiri kok kamu yang repot, dia saja nggak marah tuh buktinya bosmu tersenyum gitu,”sahutnya tanpa ada rasa malu.Suratmin merasa tidak enak hati kepada Pak Dirga dan Bu Sekar yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.“Pak Min, ini betul saudara kamu?” tanya Bu Sekar bingung.“Lah piye toh, Bu? Wong wajah saya sama dengan Suratmin bagai pinang di belah dua, cuma yang membedakan itu saya berkulit putih sedangkan Suratmin berkulit ya gitu deh dan yang sangat berbeda adalah nasib kita saja,” jelasnya melirik saudara kembarnya itu dengan menyunggingkan sebuah senyuman sinis.“Oh kirain cuma mengaku-ngaku saudaraan gitu, seperti acara di TV,” sa
“Begini Pak Min, seperti yang kamu dengar kalau saya ingin membantu kamu, tidak banyak memang tetapi kami harap bisa meringankan beban kalian.”“Saya sebenarnya sudah tahu siapa saudara kamu sebenarnya bahkan para tetangga kalian sangat mengenal kamu dan saudara kembar kamu itu yang kepedeannya itu.”“Saya salut dengan kerja keras kamu selama tujuh tahun ini Pak Min, dan sebagai hadiah atas kinerjamu, walaupun kamu hanya sebagai cleaning servis tetapi kamu mempunyai jiwa sosial yang tinggi, tidak pernah saya lihat kamu berat sebelah, tetap kamu kerjakan meskipun itu bukan tugasmu.”“Bahkan saya tahu kamu diam-diam sering membantu teman-temanmu di karyawan walaupun dalam artian kamu hanya memberikan lima ribu saja, bagi mereka sangat berarti buat mereka.”“Saya dengar teman-teman akan datang ke rumahmu setelah pulang dari sini. Memang bukan wilayah saya untuk mengomentari keluarga kalian, sebelumnya saya tidak ada maksud untuk sok menggurui siapa-siapa!”“Begini Pak Min, saya tahu kala